Kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatera, terulang. Analisis Greenpeace berdasarkan data modis, dalam sepekan, 11-18 Juni 2013, terpantau 1.210 titik api dan 1.180 atau 98 persen berada di Riau. Parahnya, sebagian besar atau 603 titik api berada di wilayah moratorium.
Kiki Taufik, Kepala Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia mengatakan, titik api (hotspot) bukan cerita baru di negeri ini, sudah menjadi ‘penyakit’ tahunan. “Saat ini, kita ingin melihat efeknya di wilayah moratorium. Ternyata, setelah dianalisis selama sepekan hotspot di Sumatera, terbesar di kawasan moratorium,” katanya di Jakarta, Kamis(20/6/13).
Dia menjabarkan, dari 603 titik api di wilayah moratorium, antara lain di Taman Nasional Tesso Nillo. Kondisi ini, menunjukkan, tak ada proteksi apapun dari pemerintah di lapangan pada wilayah moratorium. Untuk Riau, titik api menyebar antara lain di 10 wilayah kabupaten dan kota, antara lain, Rokan Hilir, Rokan Hulu, Siak, Pelalawan, Indragiri Hilir, Bengkalis, Indragiri Hulu, dan Kampar, serta Kuantan Singingi dan Kota Dumai.
Dari analisis Greenpeace itu, titik api, lebih 50 persen berada di lahan gambut dan sebagian terjadi di area yang dikuasai perusahaan, baik HTI maupun perkebunan sawit. Untuk memastikan di perusahaan mana saja titik api itu berada, dalam pekan ini tim Greenpeace akan turun mengecek ke lapangan. “Namun, dipastikan di antara perusahaan-perusahaan skala besar itu, ada dari investasi Malaysia dan Singapura.”
Zulfahmi, Forest Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia mengatakan, penegakan hukum yang lemah menyebabkan kasus kebakaran kerap terulang. Banyak kasus kebakaran lahan diselesaikan di luar pengadilan. Di Riau, ada beberapa kasus sudah diproses hukum, tetapi penyelesaian di luar sidang. “Jadi, ga jera.”
Satu contoh, PT Duta Palma, berturut-turut membakar tetapi proses di luar pengadilan. “Karena kalau dihitung-hitung secara ekonomi lebih untung bakar dan bayar kompensasi.” Untuk itu, jika ingin ada efek jera hukum harus tegas.
Kasus kebakaran terulang, kata Zulfahmi, juga menunjukkan tak ada perencanaan jelas dari pemerintah. Di Rokan Hilir, bahkan ada proyek kerja sama Malaysia dan Indonesia, untuk penanggulangan kebakaran. “Kalau dilihat sekarang, titik api besar di Rokan Hilir. Tak ada upaya serius.”
Menurut dia, berbicara kebakaran hutan dan lahan ini bukan hanya masalah asap. Bila, lokasi kebakaran di lahan gambut dalam, dan dekat laut maka dalam jangka panjang akan terjadi interusi air laut.
Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengungkapkan, kasus kabut asap ini sudah berkali-kali jadi sangat memprihatinkan. “Artinya, seperti tak ada pelajaran yang dipetik dari kejadian berulang kali ini. Ini menunjukkan law enforcement lemah.” Terlebih, saat ini sudah ada kebijakan moratorium hutan dan lahan, tapi masih kebakaran juga. “Mestinya ini jadi prioritas.”
Zenzi Suhadi, pengkampanye hutan dan perkebunan besar Walhi Nasional menyoroti protes Singapura karena kabut asap dampak kebakaran hutan dan lahan di Sumatera itu. Menurut dia, seharusnya, sebelum protes Singapura harus sadar, asap itu tak lepas dari aktivitas keuangan dari negeri mereka. “Jangan rakus sama bakso tapi tak mau minum kuahnya.” Jadi, Singapura, jangan hanya mau menikmati hasil dari investasi tanpa mau menerima dampaknya.
Selama ini, katanya, warga Indonesia, sudah banyak menanggung dampak buruk investasi dalam bentuk banjir, kekeringan, kebakaran, asap sampai kemiskinan. Seharusnya, sebelum protes ke Indonesia, Singapura harus mengevaluasi transaksi keuangan dan perusahaan yang berbasis di sana, yang memiliki investasi di sektor HTI, perkebunan dan tambang di Indonesia.
Ratusan Ribu Hektar Gambut Keluar PIPIB IV
Greepeace juga menganalisis peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPIB) IV yang ternyata mengeluarkan ratusan ribu hektar lahan gambut dari peta ‘perlindungan.
Kiki mencontohkan, di Riau, ada kawasan gambut dengan kondisi bagus sekitar 22.442 hektar, tetapi dikeluarkan dari peta. Lalu sekitar 14 ribuan hektar gambut keluar dari peta berada di perkebunan. Ada juga di Kalimantan Tengah (Kalteng), 203.270 -an hektar hutan gambut dikeluarkan dari peta. Lahan gambut juga dalam, bahkan ada dome 2-8 meter. “Sepetahuan kita, kawasan ini tak ada konsesi, tapi mengapa dikeluarkan dari PIPIB?”
Tak hanya ratusan ribu hektar lahan gambut yang dikeluarkan dari PIPIB IV, data tumpang tindih dengan perizinan juga meningkat. Perhitungan Greenpeace, masih membandingkan data konsesi logging 2010 karena tak mendapatkan informasi terbaru.
Jika dibandingkan dengan konsesi HPH 2010, malah over lapping di PIPIB IV naik menjadi 3,04 juta hektar. Tumpang tindih di HTI ada 600 ribu hektar. Begitu juga dengan kebun sawit, masih terjadi over lapping, sekitar 860 ribu hektar dan tambang batubara masih, sekitar 1,2 juta hektar. Jadi, total over lapping konsesi sekitar 5,53 juta hektar.
Yuyun mengatakan, dari fakta itu, Greenpeace merekomendasikan agar semua perizinan dikaji ulang. “Ini harus jadi prioritas pemerintah.” Greenpeace juga meminta pemerintah lebih transparan dan memberikan kemudahan bagi publik untuk mengakses data hutan dan foto-foto satelit. “Ini informasi publik dan negara dimandatkan untuk mengelola.
Lembaga ini juga mendesak pemerintah memberikan penjelasan gamblang atas wilayah-wilayah moratorium, yang tak dibebankan hak pengusahaan baik logging, pertambangan maupun perkebunan, tetapi dikeluarkan dari PIPIB. “Apalagi hotspot sebagian besar di wilayah gambut. Gambut yang harus dilindungi, malah dikeluarkan.” Seharusnya, sektor kehutanan bisa memberikan prioritas perlindungan hutan alam dan lahan gambut.
Greenpeace juga mendorong pemerintah segera mengharmonisasikan segala bentuk peraturan terkait sumber daya alam (SDA) dan membuat sentralisasi data (data base) yang baik dan bisa diakses. “Saya kira data yang ada tersebar di berbagai instansi saat ini tak terekam dengan baik.” Bukan itu saja, data dari lapangan pun setor ke pusat tak lancar.
Pemerintah, kata Yuyun, juga harus memiliki data base lahan karbon rendah. Jadi dalam memanfaatkan wilayah bisa mendahulukan kawasan-kawasan berkarbon rendah ini.