Pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) Bitung berpotensi merusak lingkungan dan menimbulkan masalah bagi warga. Terlebih, pembangunan ini bagian dari masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).
Afif Kaumbo, staf bidang riset perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (Kelola) mengatakan, mereka melakukan kajian awal tentang pembangunan ekonomi Indonesia dan menemukan konsep ambisius bernama MP3EI. Ia muncul lewat Peraturan Presiden nomor 32 tahun 2011.
Konsep pembangunan dalam Perpres ini cenderung berpihak pada investor, dan berpotensi membatasi publik mengakses sumber daya alam. MP3EI, memberikan peluang besar bagi investor menguasai lahan yang selama ini dimanfaatkan bagi kepentingan umum.
“Dalam MP3EI, pemerintah memberi banyak kemudahan bagi investor di berbagai tempat di Indonesia. Sejumlah peraturan yang mempersulit penanaman modal akan dihapus atau digantikan peraturan baru,” katanya akhir Juli 2013.
Sulut, sebagai kawasan yang masuk koridor ekonomi Sulawesi, wajib mendukung MP3EI dengan KEK Bitung sebagai prioritas. Hal ini, yang menyebabkan pemerintah Sulut mengupayakan infrastruktur memadai, seperti jalan tol dan reklamasi kawasan Tanjung Merah.“Pembuatan jalan tol akan berdampak pada pembebasan lahan publik.”
Dia mengatakan, reklamasi di Tanjung Merah, akan berdampak pada pelanggaran hak hidup masyarakat, khusus yang tinggal di daerah pesisir. Dia mencontohkan, reklamasi di Kota Manado. Nelayan yang tinggal di daerah pesisir digusur dari tempat tinggal semula diganti pusat perbelanjaan.
Reklamasi ini, tak ubahnya pembangunan berbasis privatisasi SDA. Laut dan tanah yang bisa diakses publik diperuntukkan bagi sekelompok orang berduit. Konsep yang terfokus pada pembangunan ekonomi makro ini, akan menggusur industri kecil-menengah.
“Ibaratnya, siapa yang punya uang, siapa yang tidak. Selama ini kemajuan pembangunan ekonomi Indonesia selalu dinilai dari bangunan-bangunan besar,” ucap Afif.
Saat ini, pemerintah Sulawesi Utara (Sulut) gencar mengupayakan penyediaan infrastruktur mendukung KEK Bitung, seperti pembebasan lahan untuk jalan tol Manado-Minahasa Utara-Bitung, sampai penyediaan 1.000 hektar lahan untuk reklamasi di Tanjung Merah.
Pemprov Sulut, sudah mengadakan rapat evaluasi merespon keputusan pemerintah pusat, pada 29 Juli 2013. Rapat di ruang Huyula kantor Gubernur Sulut itu, dihadiri enam kepala daerah. Hasilnya, upaya mempercepat realisasi KEK Bitung, dengan mengurangi permasalahan terkait infrastruktur.
Bappeda Sulut pun memastikan pembangunan KEK Bitung sudah melalui berbagai kajian. Herman Koessoy, Kepala Perencanaan Wilayah Bappeda Sulut mengatakan, pembangunan KEK Bitung pemerintah daerah telah melakukan analisis baik sosial, ekonomi hingga lingkungan. Hingga, tak akan menimbulkan dampak negatif bagi publik.
Menurut dia, rencana mereklamasi Tanjung Merah sudah sesuai disain. Dalam disain itu, sejumlah fasilitas pendukung pelabuhan internasional akan dibangun di atas daratan baru. Setidaknya, ada beberapa pembangunan di sana, seperti Main Line Operator (MLO) atau kantor pengelola pelabuhan internasional, fasilitas pendukung MLO, fasilitas tambahan untuk KEK hingga maintanance, misal, instalasi pengolahan limbah.
Herman menambahkan, sejumlah studi kelayakan yang dibuat menunjukkan tidak ada masalah serius dengan reklamasi di daerah itu.“Reklamasi di Bitung sesuai Perpres 122 tahun 2012. Kawasan Tanjung Merah tidak memiliki biota laut bagus karena arus air di daerah ini kuat,” katanya kepada Mongabay 27 Agustus 2013.
Sampai kini, pembebasan lahan sudah 760 ribu meter dari total kebutuhan lahan 1.000.000. Pemerintah Sulut menargetkan hingga Oktober pembebasan lahan ini bisa rampung. Lahan ini akan dibangun jalan tol sebagai fasilitas penunjang di luar KEK. “Jalan itu sebagai jalur lintas container dari dan menuju KEK.”
Pada 22 Agustus 2013, Pemerintah Sulut membahas rencana aksi bersama Dewan KEK Nasional. “Akhir Oktober akan lelang tender internasional. Begitu tender selesai, kami harapkan Januari 2014 sudah groundbreaking.”