, ,

Warga Samosir Tuntut Pemerintah Cabut Izin TPL

Penolakan terhadap kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara (Sumut) tak hanya dari masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas). Protes juga datang dari masyarakat Kabupaten Samosir.

Pada Rabu(16/10/13), ratusan warga Kabupaten Samosir, mendatangi Kantor Dinas Kehutanan Sumut, menuntut Kementerian Kehutanan mencabut izin operasi TPL. Perusahaan milik Sukanto Tanoto ini dinilai merusak hutan di daerah mereka.

Gabungan mahasiswa, pelajar, dan pemuda dari Kabupaten Samosir ini, menuntut TPL bertanggungjawab atas ribuan hektar kerusakan hutan. Warga khawatir banjir dan bencana alam menimpa mereka.

Charles Butar-butar, pemuda asal Kabupaten Samosir, mengatakan, TPL menggunakan preman dan oknum aparat penegak hukum, kala merambah dan menebang hutan.

Hasil investigasi dan penelitian mereka, sejak kembali beroperasi pada 2005, setidaknya perusahaan ini telah menebangi lebih dari 8.500 hektar hutan di Kabupaten Samosir. Hutan itupun lalu ditanami ekaliptus demi kepentingan produksi perusahaan, tanpa memperhatikan kondisi alam, dan kehilangan flora fauna asli di hutan itu.

Tak hanya itu. Berbekal izin konsesi, perusahaan masuk ke hutan kemenyan masyarakat, seperti di Kabupaten Humbahas. Protes warga sempat berujung bentrokan antara petani dengan aparat yang dibayar perusahaan. Belasan warga sempat ditahan, dengan alasan perusakan alat berat perusahaan.

“Kita hidup diantara ancaman bencana alam yang marah karena hutan dirusak. Belum lagi ancaman fisik akibat protes atas penebangan hutan. Kemana keadilan itu?”  katanya.

Pohon-pohon di hutan kemenyan warga Pandumaan Sipituhuta, yang ditebang perusahaan untuk ditanami kayu putih. Aksi perusakan hutan yang menjadi penghidupan masyarakat ini ‘legal’ karena mendapatkan izin dari pemerintah. Meskipun belum lama ini Kementerian Kehutanan melarang TPL menebang kemenyan di hutan adat Pandumaan Sipituhuta. Namun, kerusakan hutan kemenyan sudah terjadi. Kebanggaan sebagai kemenyan terbaik di dunia pun tinggal kenangan. Foto: Bakumsu.or.id
Pohon-pohon di hutan kemenyan warga Pandumaan Sipituhuta, yang ditebang perusahaan untuk ditanami kayu putih. Aksi perusakan hutan yang menjadi penghidupan masyarakat ini ‘legal’ karena mendapatkan izin dari pemerintah. Meskipun belum lama ini Kementerian Kehutanan melarang TPL menebang kemenyan di hutan adat Pandumaan Sipituhuta. Namun, kerusakan hutan kemenyan sudah terjadi. Kebanggaan sebagai kemenyan terbaik di dunia pun tinggal kenangan. Foto: Bakumsu.or.id

Budiman Ritonga, aktivis lingkungan asal Samosir, mengungkapkan, ada indikasi keterlibatan oknum pejabat di Dinas Kehutanan Sumut, yang dengan sengaja membiarkan penebangan dan perusakan hutan demi alasan ekonomi.

Berdasarkan data yang mereka peroleh, izin konsesi TPL sebesar 269 ribu hektar. Dari luas itu, 60 ribu hektar HTI. Di Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, kerusakan hutan oleh TPL sudah 22 ribu hektar. Belum lagi penebangan hutan untuk perkebunan inti rakyat (PIR), atau hutan tanaman rakyat, mencapai sekitar 10 ribu hektar.

Usai berunjukrasa di Dinas Kehutanan, mereka melanjutkan aksi ke Kantor Gubernur, di Jalan Diponegoro. Mereka berorasi, dan menuntut Pemerintah Sumut mengganti oknum pejabat di Dinas Kehutanan, karena diduga menerima upeti dari tutup mata kerusakan hutan di Samosir.

Mereka juga mendesak Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho, meminta pemerintah pusat merekomendasikan dan meninjau ulang operasi TPL.

Sedangkan Charuddin Pasaribu, Humas TPL ketika dikonfirmasi mengatakan,  sampai saat ini mereka tak pernah melanggar ketentuan berlaku di Indonesia, termasuk aturan penebangan hutan.

Soal ada kerusakan hutan di Kecamatan Sitonggi Tonggi, yang dituntut masyarakat, sejauh yang dia ketahui, di Kabupaten Samosir,  secara administratif tak pernah ada Kecamatan Sitonggi Tonggi. “Tak pernah ada perusakan di kecamatan itu.”

TPL, katanya memiliki izin usaha pemanfatan hasil hutan kayu hutan tanaman yang berada di kawasan hutan register dengan fungsi hutan produksi tetap. Perusahaan masuk pada 1992, dan tak ada merusak hutan karena penebangan memiliki izin dari pemerintah. “Jadi kami tegaskan, tidak ada penebangan hutan diluar izin yang kami peroleh.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,