Seekor gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) berjenis kelamin betina berusia sekitar 20 tahun ditemukan telah mati di Desa Suo Suo Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo, Jambi yang berjarak sekitar 2 kilometer dari kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).
Kejadian ini diketahui oleh pihak BKSDA tim dan mitigasi konflik gajah Frankfurt Zoological Society (FZS) ketika mendapat laporan dari warga pada tanggal 28 Desember 2013 silam. Tim mitigasi konflik gajah FZS dan BKSDA Jambi segera melakukan pemeriksaan terhadap bangkai gajah tersebut. “Dari hasil otopsi awal yang dilakukan di lokasi kami menemukan kemasan pupuk dan pestisida didalam lambung gajah. Kami juga telah mengirimkan sampel ke Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Bogor untuk memastikan penyebab kematian gajah ini” jelas Albert, koordinator tim mitigasi konflik gajah FZS.
“Kami menduga gajah ini memakan pupuk serta pestisida yang ditemukannya di pondok yang telah dibangun warga di dalam kawasan itu” ungkap Albert. Adapun lokasi ditemukannya bangkai gajah ini adalah kawasan hutan produksi yang berada dalam ekosistem Bukit Tigapuluh yang dulunya merupakan kawasan konsesi perusahaan HPH PT. Dalek Hutani Esa yang telah dikuasai oleh masyarakat.
Beberapa waktu yang lalu BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Jambi bekerja sama dengan pihak kepolisian setempat telah melakukan operasi untuk mengeluarkan warga yang menempati kawasan hutan produksi disekitar kawasan TNBT. “Terkait dengan kematian gajah ini kami telah menetapkan 4 orang tersangka yaitu 4 pekerja lahan yang terjaring operasi kemarin serta tengah mencari orang yang mendanai mereka” kata Krismanko, koordinator polisi hutan BKSDA Jambi. Berdasarkan keterangan yang didapat dari 4 orang pekerja ini pemilik lahan bernama H. Rohadi dan lahan seluas kurang lebih 40 hektar ini telah ditanami padi dan rencananya akan dijadikan kebun kelapa sawit.
Merujuk pada data yang dimiliki KKI Warsi saat ini di Jambi setidaknya terdapat 329.000 hektar kawasan hutan produksi yang telah tidak aktif atau telah habis izin pemanfataannya seperti kawasan konsesi PT. Dalek Hutani Esa ini. Dengan status kawasan yang tidak jelas banyak pihak yang ingin menguasai kawasan tersebut. “Banyak orang yang mengklaim bahwa kawasan tersebut adalah milik mereka dan menjualnya pada orang lain” ujar Albert.
Ia juga mengatakan bahwa pola pembukaan lahannya pun terorganisir dan didalangi oleh para pemodal besar atau bahkan oleh perusahaan yang mengatasnamakan atau menggunakan jasa warga disekitar kawasan. Lebih lanjut Albert berharap agar pemerintah segera menetapkan status kawasan tersebut. Meskipun kawasan ex HPH kawasan yang berupa hutan sekunder ini memiliki tutupan hutan yang masih cukup baik dan diperkirakan terdapat sekitar 30 ekor gajah yang hidup dalamnya.
“Alangkah baiknya jika pemerintah tidak lagi memberikan izin pemanfaatan kawasan bagi perusahaan yang melakukan kegiatan ekstraktif dan menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi karena kawasan tersebut merupakan wilayah jelajah gajah, harimau dan satwa lain di kawasan ekosistem Bukit Tigapuluh” jelas Albert.
Tidak hanya kawasan disekitar TNBT yang mengalami kerusakan kawasan dalam taman nasional pun mengalami kondisi yang sama. Berdasarkan pemantauan FZS selama 6 bulan terakhir sekitar 40 hektar kawasan TNTB juga telah dirambah.
Selama tahun 2013 telah terjadi 3 kasus kematian gajah Sumatera dalam kawasan ekosistem Bukit Tigapuluh. Hingga saat ini hanya pada kasus kematian gajah pada bulan Desember BKSDA Jambi dan kepolisian setempat berhasil menetapkan tersangkanya sedangkan dua kasus terdahulu masih belum dapat diselesaikan.
Gajah sumatera adalah adalah spesies mamalia terbesar yang hidup di Sumatera dan seperti kerabatnya yang hidup di bagian lain di benua Asia gajah Sumatera juga terancam punah sehingga International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan spesies ini kedalam kategori kritis (critically endangered). Pada tahun 2007 populasi gajah Sumatera diperkirakan berjumlah 2400 hingga 2800 ekor.
Dari hasil survey populasi gajah yang dilakukan oleh FZS pada tahun 2008 diperkirakan terdapat 150 ekor gajah sumatera yang hidup di kawasan ekosistem Bukit Tigapuluh baik di kawasan yang masuk dalam otoritas provinsi Jambi maupun kawasan yang berada di provinsi Riau. FZS juga mencatat dari tahun 2008 hingga 2013 18 ekor gajah penghuni kawasan ini mati.
Penyebab utama menurun drastisnya populasi gajah Sumatera adalah konflik dengan manusia yang terjadi akibat beralihfungsinya habitat gajah menjadi pemukiman dan kawasan konsesi. Hanya dalam kurun waktu 25 tahun 69% kawasan potensial habitat gajah Sumatera telah hilang dan hingga hari ini pemusnahan habitat masih terus berlangsung.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh tim mitigasi konflik gajah hampir seluruh kawanan gajah hidup diluar kawasan TNBT dan terkonsentrasi di dua kawasan yang telah terfragmentasi akibat beralihfungsinya kawasan menjadi pemukiman masyarakat dan kawasan konsesi milik perusahaan. Menurut Albert kondisi ini terjadi karena kawasan tersebut berupa dataran dan gajah lebih menyukai kawasan yang datar sementara kawasan TNBT cenderung terjal dan berbukit bukit. Pada tahun 2010 FZS kembali melakukan survey populasi dengan menggunakan metode analisis genetik (DNA). Survey yang telah memasuki tahap akhir ini berhasil mengidentifikasi 70 ekor gajah yang hidup dalam kawasan ekosistem Bukit Tigapuluh.