Kematian singa jantan berusia 1,5 tahun koleksi Kebun Binatang Surabaya, Selas (7/1) ditanggapi pakar parasitologi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Setiawan Koesdarto sebagai bukti masih kurangnya manajemen satwa di Kebun Binatang Surabaya.
Setiawan Koesdarto mengatakan, meski telah ada perubahan dalam perbaikan Kebun Binatang Surabaya (KBS) secara signifikan, namun perubahan itu masih belum optimal.
“Perubahan secara umum sudah terjadi, tapi ini perlu suatu proses, dan menurut saya sudah cukup on the track. Sekarang tinggal bagaimana manajemen satwa harus dioptimalkan,” kata Setiawan Koesdarto, kepada Mongabay-Indonesia.
Manajemen satwa menurut Setiawan Koesdarto seperti perbaikan kondisi kandang satwa, yang perlu dilakukan pembenahan dan perbaikan.
“Seperti kandang kondisinya masih belum baik semuanya. Memang sudah dilakukan perbaikan, tapi belum semuanya. Masih sekitar 70 persen lagi yang harus diperbaiki,” ujar guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya ini.
Selain kandang, Setiawan Koesdarto juga menyebut persoalan air minum satwa memegang peranan penting terhadap kesejahteraan satwa. Penggunaan air minum untuk satwa dari sumber yang tidak bersih dan sehat menjadi faktor penting penyebab sakitnya satwa.
“Masalah air nomor satu, karena kita tidak hanya bicara air bersih tapi juga air sehat, sebagai sumber untuk minumnya satwa. Kalau masih pada tataran air bersih, air bersih itu belum tentu sehat, kalau air sehat pasti bersih,” terangnya.
Setiawan Koesdarto menambahkan, sudah saatnya air minum untuk satwa dicarikan sumber baru yang tidak hanya bersih, melainkan juga terjamin kesehatannya sehingga layak dikonsumsi satwa.
Selanjutnya Setiawan Koesdarto juga menyebut persoalan pakan juga menjadi penentu kesehatan satwa di Kebun Binatang Surabaya. Tidak hanya kuantitas atau jumlah, kualitas pakan juga harus menjadi perhatian serius pengelola kebun binatang tertua di Indonesia ini.
“Kalau dari indikasinya, kebanyakan kalau di hepar itu adanya suatu perlemakan, yang ada hubungannya dengan masalah pakan. Jadi tidak harus hewan itu gemuk badannya dan diberi daging berlemak banyak, tapi tetap harus ada takarannya dan rasio harus dicermati betul,” lanjut Setiawan yang mengamini bahwa manajemen satwa di Kebun Binatang Surabaya masih belum bagus.
Beberapa kasus yang menunjukan manajemen satwa kurang berjalan baik, terlihat dari masih mudahnya pengunjung atau masyarakat umum memberi pakan kepada satwa, yang itu seharusnya tidak diperbolehkan.
“Publik juga seharusnya membantu dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak memberi makanan dari luar kepada satwa. Hal itu yang juga menjadi masalah bagi pengelola,” tandas Setiawan.
Selain persoalan kesehatan atau penyakit, Setiawan mengatakan bahwa faktor usia diakui menjadi penyebab kematian satwa dimana pun berada. Sehingga dalam hal manajemen satwa, pengelola harus memperhatikan secara keseluruhan kebutuhan satwa maupun keberadaan manusia di sekitarnya.
Sementara itu terkait matinya singa jantan bernama Michael dengan cara tergantung kawat seling, Setiawan mengusulkan adanya pengawasan secara lebih rutin diluar tanggungjawab keeper atau perawat satwa.
“Harusnya selain keeper atau perawat, ini juga harus ada supervisor yang mengecek. Semacam inspektur yang selalu keliling, kalau misalnya satwa sudah waktunya ditutup atau dibuka itu sudah dalam keadaan oke dengan segala pirantinya. Cek dan ricek perlu sekali, tidak cukup hanya memberikan tugas pada seorang saja,” pungkasnya.
Kasus kematian di Kebun Binatang Surabaya terus terjadi secara beruntun. Dalam Sepekan pertama tahun 2014, dua ekor satwa mati di kebun binatang tertua di Indonesia ini. Salah satunya adalah singa Afrika yang mati tergantung.