,

Pemkab Musi Banyuasin Berencana Bikin Perda Masyarakat Adat

Pemerintah Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan (Sumsel) merespon positif putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai  hutan adat bukan hutan negara. Kabupaten ini berencana membuat  peraturan daerah guna melindungi hak-hak masyarakat adat. “Kita akan mengupayakan peraturan daerah mengenai tanah adat ini. Kita berharap bupati, DPRD, memiliki keinginan sama,” kata Beni Hernendi, Wakil Bupati Kabupaten Muba, Jumat malam (14/3/14).

Dia mengatakan, secara pribadi menyambut keputusan MK No.35 tentang hutan adat ini. Sebab, pada dasarnya tanah di negeri ini, termasuk di Kabupaten Muba, merupakan tanah adat. “Kalau di sini disebut tanah marga. Pemerintahan Orde Baru menghapuskan hukum adat, menyebabkan masyarakat kehilangan tanah. Jadi, keputusan MK No. sebuah kemajuan yang harus disambut baik. Itu akan mengatasi persoalan kemiskinan masyarakat desa.”

Namun, katanya, mengembalikan tanah adat itu tidak mudah karena sebagian tanah ini sudah dikuasai negara, yang mayoritas diberi izin kepada perkebunan dan pertambangan.

Beni mengharapkan,  pemerintah pusat dan DPR mengeluarkan UU untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. UU Kehutanan, pun harus direvisi.  “Kalau tidak direvisi maupun diganti dengan yang baru, akan menjadi batu sandungan.”

Untuk itu, dalam waktu dekat, dia akan mengumpulkan para pemuka adat. Dari pertemuan dan diskusi ini, diharapkan melahirkan rekomendasi terkait keputusan MK No.35. “Juga menyusun tim untuk menginventarisasi tanah adat di Muba.”

Hasil kerja tim, ucap Beni, akan menjadi dasar perda. “Saya bekerjasama dengan AMAN Sumsel,” katanya.

Berapa luas hutan adat di Muba? “Saya belum tahu. Maka perlu mendata ulang. Saat ini, tercatat lebih kurang 700 ribu kawasan hutan. Mungkin itulah hutan adat. Sebab hutan negara di Muba kan dari hutan adat.”

Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel, ada sembilan marga atau masyarakat adat di Muba berkonflik dengan perusahaan sawit. Yakni, Pinggap, Lawang Wetan, Babat, Sanga Desa, Tanah Abang, Lalan, Tungkal, Dawas, dan Bayat.

Mereka berkonflik lantaran tanah adat mereka diambil negara dan dijadikan perkebunan sawit. Akibatnya, sebagian masyarakat masuk ke hutan lindung atau hutan suaka alam.

Buka Akses Hutan

Selaku Ketua DPC PDI Perjuangan Muba, Beni sudah mendorong fraksi di dewan melahirkan kebijakan menghentikan investor ke Muba.“Kuncinya di investor. Kalau pintu Muba selalu terbuka bagi perkebunan dan pertambangan, habislah tanah Muba ini. Kawan-kawan di dewan tengah memperjuangkan ini.”

Mereka juga berjanji memperjuangkan jaminan masyarakat agar bebas mengakses hutan. “Masyarakat harus diberi akses seluasnya ke hutan. Jangan ditangkap dan dipenjara.”

Ketika masyarakat dilarang masuk ke hutan, justru hutan kian rusak. “Ini namanya rugi dua kali. Hutan rusak, rakyat miskin. Akses masyarakat ke hutan harus diperjuangkan. Kabupaten Muba akan mengajukan ini ke Menteri Kehutanan,” katanya.

Pada masa Orde Baru, Kabupaten Muba,  dikenal sebagai kabupaten paling miskin di Sumsel. Akses jalan menuju Sekayu, ibukota kabupaten, sangatlah jelek. Setelah reformasi, Muba berkembang pesat. Namun, bersamaan dengan itu, Muba yang kaya dengan sumber daya alam, khusus minyak bumi, gas, dan batubara, ramai-ramai didatangi investor.

Tak pelak, kabupaten dengan luas 14.265.96 kilometer persegi, dipenuhi perkebunan dan pertambangan. Mereka tersebar di 11 kecamatan di Muba, yakni Sanga Desa, Babat Toman, Batanghari Leko, Plakat Tinggi, Sungai Keruh, Sekayu, Lais, Sungai Lilin, Keluang, Bayung Lencir dan Lalan.

Menurut Beni, tutupan lahan hutan di Muba terdiri hutan primer, hutan sejenis, lebat dan konversi. Tutupan belukar seluas 535.421,57 hektar atau 37,53% dari wilayah kabupaten, hutan sejenis 114,710,03 hektar, lebat 53.792,41 hektar, serta konversi 124.549 hektar. Total luas hutan di Muba 714.440 hektar atau 50,43% dari seluruh kabupaten.

Fungsi hutan di Muba yakni hutan suaka alam, lindung, produksi terbatas, dan produksi. Berdasarkan fungsi, hutan produksi paling luas 423.515 hektar (29,69%) dari luas Muba. Luas hutan produksi terbatas 93.569 hektar, lindung hanya 19.229 hektar (1,35%) dari luas Muba.  Hutan suaka alam 58.578 hektar, serta konversi 124.549 hektar.

Dengan lahan hutan seluas itu, hanya 561.458 jiwa menetap di Muba. “Masak hutan seluas itu masyarakat Muba tidak dapat mengakses atau tidak ada lahan bagi masyarakat adat,” kata Beni.

Respon pemerintah terhadap putusan MK mengenai hutan adat masih minim. Baru beberapa daerah yang memiliki perda pengakuan masyarakat adat, seperti Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur dan masih proses Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Kini, di Kabupaten Pak-pak Barat, Sumatera Utara (Sumut), organisasi masyarakat sipil seperti Walhi dan AMAN tengah membangun komunikasi dengan pemerintah daerah dalam penyusunan perda perlindungan masyarakat adat. “Kami lagi pendekatan, bangun komunikasi agar pemerintah daerah bikin gerak cepat,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,