Akhirnya setelah tiga jam perjalanan darat dari ibukota Sulteng, Palu tibalah kami di Namo, sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan. Namo sendiri merupakan pemekaran dari Desa Bolapapu yang berpisah sebelas tahun yang lalu dari desa induknya ini. Desa ini secara administratif bagian dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi.
“Silakan masuk, jangan sungkan, para tokoh sudah menunggu,” sembari menyalami kami, Basri Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LTHD) mempersilakan kami untuk masuk ke lobo, atau nama setempat untuk rumah adat, tempat dimana masyarakat membicarakan seluruh permasalahan adat dan desa. Lobo di Namo memiliki ukuran 4 x 6 meter, beratap rumbia, berlantai papan, dengan setengah bagian dindingnya tertutup papan yang berfungsi sebagai sandaran.
Desa Namo, merupakan desa yang telah berhasil memperoleh pengakuan pengelolaan hutan desa. Berdasarkan keputusan Menhut nomor 64/2011, desa ini mengelola wilayah Hutan Desa seluas 490 hektar, yang merupakan bagian dari sistem daerah aliran sungai (DAS) Palu, sub DAS Miu. Dari 490 hektar, 400 hektar dialokasikan sebagai zona lindung dan sisanya 90 hektar diperuntukkan untuk fungsi pemanfaatan.
Fungsi kawasan lindung di area ini menjadi penting, jika hutan lindung di Namo dan desa-desa sekitarnya rusak, maka dapat dipastikan Palu dan daerah di wilayah hilir akan mendapatkan ancaman banjir limpasan saat musim penghujan.
“Secara turun temurun sebenarnya masyarakat menganggap hutan yang ada diwilayah Namo adalah hutan adat, saat itu kami belum mengetahui bahwa secara status kawasan itu adalah hutan lindung,” tutur Tau Hamid, Mantan Kades Namo.
Menurutnya persoalan mulai muncul saat itu, ketika masyarakat tidak bisa lagi meluaskan area garapan. “Masyarakat ketika itu bingung tidak tahu harus kemana lagi memperluas lahan untuk bertahan hidup. Wilayah kami terhimpit, Taman Nasional Lore Lindu di timur dan hutan lindung di barat,” kenangnya. “Meskipun dalam pemahaman masyarakat kawasan tersebut adalah wilayah hutan adat.”
Langkah pertama yang dilakukan oleh Kades Namo adalah melakukan negosiasi dengan desa tetangga, Tangkolowi, untuk menjadikan sebagian kapling wilayah desa tetangga untuk dijadikan bagian hutan Namo. Saat itu tahun 2007.
“Proses negosiasi berjalan lebih kurang tiga bulan. Mereka setuju, tapi syaratnya kami harus buatkan pesta adat untuk memasuki rumah adat yang mereka buat. Jadi semua kebutuhan yang diperlukan untuk ritual pesta adat tersebut harus disiapkan masyarakat Namo,” terangnya. “Saat serah terima hutan adat, acara dihadiri wakil pemerintah Kulawi, aparat desa dan lembaga adat serta tokoh-tokoh masyarakat, mereka semua menyaksikan dan ikut menandatangani persetujuan itu.”
Langkah kedua yang dilakukan oleh Desa Namo adalah meminta hak pengelolaan hutan di hutan lindung, lewat program Hutan Desa. Hamid mengaku pihaknya banyak dibantu oleh Yayasan Jambata (Jagalah Alam Maka Bumi Akan Tetap Abadi), sebuah LSM yang bergerak dalam pendampingan masyarakat. “Tidak saja lewat bantuan konsep, bahkan hingga menyediakan kerbau untuk pesta adat pun dibantu Jambata,” tuturnya.
Menurut Zarlif, Direktur Jambata, kawasan Hutan Desa penting bagi masyarakat, karena merupakan aset masyarakat Namo untuk mengelola hutan dari produk bukan kayu. Tantangan terbesar dalam proses yang tersebut adalah ketika masih sedikit warga yang paham dengan berbagai macam aturan dan terbatasnya sumber daya finansial.
“Pada tahun 2010, kami mengajukan proposal ke Kemenhut melalui Dishut Kabupaten Sigi untuk mendapatkan Hutan Desa. Pada tanggal 21 Maret 2011, Kemenhut menerbitkan SK areal kerja hutan desa di kawasan hutan lindung,” jelas Zarlif.
“Hal yang paling sulit adalah memberikan pemahaman terhadap masyakat dalam mengelola area Hutan Desa agar masyarakat mampu memperoleh kehidupan yang layak dari sana,” jelas Basri menambahkan. “Untunglah ada Jambata yang setia mendampingi, sehingga semua tercapai,” tukasnya.
“Saat ini kami belum bisa bicara langkah kedepan tentang hasil putusan MK nomor 35/2013. Belum ada peraturan pendukungnya. Harusnya kan ada PP, setelah PP akan muncul Perda dan turunannya. Kami disini tidak mau melanggar aturan karena masyarakat disini adalah masyarakat adat, kami sangat menghargai aturan,” tambah Basri saat ditanya langkah kedepan setelah proses legalitas Hutan Desa disetujui oleh pemerintah di Desa Namo.
Kearifan Lokal Pengelolaan Lahan Masyarakat Namo
Tau Hamid menjelaskan hutan bagi masyarakat Namo tidak sembarang diperlakukan, bahkan jauh sebelum Kemenhut pada tahun 1999 menetapkan kawasan di area tersebut sebagai Hutan Lindung yang mendukung fungsi daerah aliran sungai. “Hutan primer tidak boleh diganggu gugat oleh masyarakat adat, sedangkan yang kami katakan hutan sekunder itulah milik adat menurut pemahaman masyarakat adat,” terangnya.
Menurutnya, sejak dahulu masyarakat telah mengenal praktek gilir lahan dalam sebuah siklus antara lima hingga sepuluh tahun. “Kalau tahun pertama kami kerja buka kebun di utara, tahun ke dua kami mengelola ditengah, dan tahun ketiga kami mengelola di selatan. Lima sampai 10 tahun kembali lagi ketempat semula. Kearifan semacam inilah yang dilakukan orang tua kita dulu.”
Karena lahan sudah semakin terbatas, intensifikasi lahan-lahan pekarangan menjadi pilihan masyarakat, termasuk menanami pekarangan dengan kacang tanah dan pohon coklat.
Sedangkan dari dalam hutan, masyarakat mengolah hasil non kayu seperti rotan, damar, aren, bambu, madu hutan serta berbagai tumbuhan obat. “Untuk rotan kami dapat hasilkan dan jual 40 ton setiap tahunnya,” tutur Rusdin, Sekdes Namo menjelaskan. Setidak-tidaknya terdapat delapan nomenklatur jenis rotan hutan yang dia sebutkan. Rusdin menambahkan pula bahwa masyarakat Namo telah mulai memproduksi kursi bambu yang bahannya diperoleh dari lahan kebun dan hutan.
Di kawasan hutan yang ada di wilayah Namo pun masih terdapat satwa endemik yang dijumpai. “Anoa, babirusa, burung alo, tarsius, maleo, musang dan masih banyak lagi satwa yang hidup di kawasan itu,” tutur Rusdin mengakhiri keterangan.