Namanya Ahamin. Usia sudah beranjak 60 tahun. Dia, salah satu warga yang menyaksikan kedasyatan tsunami kala menghantam desa mereka di Salur, Kecamatan Tepah Barat, Kabupaten Simeulue, 10 tahun lalu.
Daerah ini, satu dari tiga kecamatan yang rata dengan tanah. Semua di desa itu hancur. Bersyukur, tak ada korban jiwa manusia, bahkan satwa maupun ternak mereka selamat. Kerbau, sapi, kambing dan ayam, berduyun-duyun lari menuju hutan. Masyarakat desa yang menyaksikan, turut menyelamatkan diri.
Ahamin menarik nafas dalam. Perlahan dia mulai bercerita pengalaman kala itu. Goncangan gempa kuat, disusul air laut menghantam desa, meluluhlantakkan semua. Itu hari pertama. Hari kedua, air laut mulai surut.
Kala itu, dia bersama keluarga lari ke gunung bersama ratusan masyarakat lain di desa itu. Mereka membawa bekal seadanya. Gempa kuat, rumah langsung roboh.
Sekitar 30 menit kemudian, masyarakat saling bersahutan dan berteriak smong datang. Dia berlari ke pantai di belakang rumah. Saat itu, air surut cukup jauh. Melihat itu, dia langsung membawa anak istri dan keluarga berlari menjauhi pantai, menuju ke bukit.
Rumah hancur ketika air laut menghantam kali kedua. Hamtaman pertama, dia masih di bawah gunung. Ombak kedua dan ketiga disertai gempa cukup kuat sebanyak dua kali, barulah gedung dan bangunan hancur dihantam smong. Beruntung, dia bersama keluarga dan ratusan masyarakat di Salur, sudah menyelamatkan diri ke gunung. Dari atas, mereka menyaksikan bagaimana smong menghantam apa saja yang ada di sana.
“Selama tiga hari di atas gunung, gempa masih terus terjadi, kekuatan smong mulai berkurang. Kami ada 200 orang lebih diatas gunung. Semua ditelan hingga habis dan rata.”
“Allahu akbar….Allahu akbar…” Teriakan warga tiada henti, sambil diselingi membaca ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Mereka terus berdoa.
Ahamin menyatakan, desa mereka, pada 1907 salah satu yang hancur dihantam smong. Banyak korban jiwa saat itu, ratusan orang meninggal dunia. Sejak peristiwa itu, cerita bencana alam terdahsyat, terus berlanjut, baik di mesjid, kedai, warung kopi, sampai di meja makan keluarga.
Ketika hal serupa terjadi pada Desember 2004, dia dan warga lain sudah menduga smong datang lagi, hingga berhasil menyelamatkan diri.
Setelah situasi aman, dia bersama ratusan warga turun gunung. Dia bersyukur, cemara dan hutan mangrove yang mereka jaga, mampu menekan kedahsyatan ombak laut ke desa. Itu juga yang menyebabkan mereka bersiap dan berhasil melarikan diri ke gunung berjarak hampir tiga kilometer dari desa. Di gunung, selama tiga hari mereka makan sayuran, dan buah-buahan di kebun.
“Kami lihat banyak kali ikan berseleweran di tepi pantai karena air laut surut jauh. Pesan leluhur kami jangan ambil, kami hanya tinggalkan desa karena itu tanda smong akan datang. Ketika smong datang, air laut sampai berwarna hitam. Rumah hancur kami perbaiki gotong royong,” katanya.
Pasca kejadian, mereka berbenah, memperbaiki rumah dan bangunan di desa. Ada kesedihan di hati, karena 200 bangunan hancur lebur, namun yang mendapat bantuan rumah hanya 15 unit. Itupun baru satu tahun terakhir baru selesai. Selebihnya, membangun kembali swadaya. Ada juga bantuan dermawan asal Simeulue yang merantau ke Jawa, Sumatera, dan sejumlah daerah lain di Indonesia.
Lantas, bagaimana penanganan bencana oleh Pemerintah Simeulue?
Naskah Bin Kamar, Sekretaris Daerah Kabupaten Simeulue menceritakan, warga sudah memiliki kearifan lokal tetapi pemahaman mengenai kawasan rawan bencana juga diberikan Pemerintah Simeulue. Saat smong 2004, tidak sampai satu jam logistik dan evakuasi kepada para korban perlahan dilakukan.
“Saat kejadian SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) sempat menangis karena tidak mendapatkan kabar soal status Pulau Siemelue. Setelah hari ketiga dapat jalur keluar Pulau Simeulue, barulah semua pihak tenang. Pemerintah Pusat langsung menerjunkan tim memberikan bantuan.
Dia mengatakan, tindakan saat itu, adalah evakuasi dan pendataan serta pembuatan posko. Terparah, di Kecamatan Alafan, di Tepah Barat, Tepah Selatan, Simeulue Tengah, dan Simeulue Timur.
Letak Alafan, dari tofografi hanya 40 mil dari lokasi gempa dan sentral terdekat dari patahan gempa. Ia berdekatan dengan air laut berujung pada smong. Daerah ini paling parah saat musibah 2004. Saat Smong datang, setelah menghancurkan Kecamatan Alafan, lanjut ke Utara Simeulu, hingga Utara. Namun hanya satu korban jiwa.
Naskah mengatakan, dampak gempa dan smong, kerusakan cukup parah sampai 40%, terutama perumahan, infrastruktur, dan jembatan. Jembatan patah, dan jalan ambruk.
Pasca musibah, tindakan pembangunan darurat, setelah itu barulah bantuan datang dari pusat melalui Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR).
Berbenah
Setelah 10 tahun berlalu, wajah Simeulue, berbenah indah. Bahkan, Kecamatan Alapan, daerah paling terisolir saat gempa dan smong, berubah status dari tertinggal menjadi berkembang pada 2014. Kementerian Desa Tertinggal, mengeluarkan surat keputusan melalui PP Nomor 141 2014. Kabupaten ini satu dari 10 kabupaten di Aceh telah dicabut status dari daerah tertinggal, pasca gempa dan smong. “Pembangunan dan perbaikan infratsruktur terus dilakukan,” kata Naskah.
Pasca bencana gempa dan tsunami di Pulau Simeulue, Pemerintah Simeulue bangkit dan memperbaiki kerusakan. Di Kota Sinabang, Pemerintah Simeulue, membangun lagi dermaga baru buat kapal-kapal baik ukuran besar, sedang maupun kecil. Kapan-kapal ini, kata Naskah, membawa berbagai kebutuhan di Simeulue. Ada juga yang singgah lalu melanjutkan perjalanan ke Sibolga, maupun ke Banda Aceh.
Infrastruktur jalan dan bangunan juga diperbaiki, seperti daerah-daerah di Keupah Selatan, Keupah Utara dan sekitar. Jembatan penghubung di Keupah Barat juga dibangun.
Praktis, pasca 10 tahun tsunami, pembangunan kabupaten pemekaran Aceh Barat ini jauh lebih baik.
Pemkab Simeulue, kata Naskah, merancang pembangunan cukup cermat dan anti gempa. Gedung-gedung dan infrastruktur lain, dibangun tahan gempa. Mereka sadar betul hal itu perlu, mengingat Simeulue itu lokasi pecahan lempeng gempa.
“Kami terus berbenah. Pembangunan harus jalan, kami tidak mau terpuruk dalam kesedihan. Alhamdulillah, setelah 10 tahun gempa dan smong, perbaikan jalan rusak, dan pembangunan infrasturtur, sudah dilakukan.”
Menurut dia, warga sudah dipindahkan ke daerah lebih aman. Hanya sisa beberapa masih ada. “Selebihnya sudah lebih baik.”
Naskah mengungkapkan, dunia internasional menyaksikan langsung bagaimana status Simeulue yang diperkirakan hancur dihantam gempa dan tsunami. Namun, keariban lokal dan pengalaman seabad lalu hingga masyarakat bisa mengantisipasi dan bersahabat dengan alam.
Naskah mengatakan, pada 2006-2007, di Bangkok, Thailand, International Strategy for Disaster Reduction, lembaga PBB, memberikan penghargaan Sasakawa Award kepada masyarakat Simeulue, atas kearifan lokal yang mampu menekan korban jiwa.
“Ini akan kami jaga terus. Daerah kami di kelilingi laut, jadi semua harus waspada dan menghormati alam agar bisa damai dalam kehidupan.” (Bersambung)