,

Catatan Akhir Tahun : Kisah Perjuangan Hidup Spesies Dilindungi Di Negara Megabiodiversity (Bagian 2)

Indonesia sebagai negara tropis dengan ribuan pulau menjadi surga bagi flora dan fauna di dalamnya. Dengan 74 tipe ekosistem yang khas dan membentuk biosfir megabiodiversity, menjadi tempat hidup sekitar 1500 spesies algae, tumbuhan 80.000 spesies jamur, 595 spesies lumut, 2.197 spesies paku‐pakuan, dan 30.000 – 40.000 spesies tumbuhan berbiji. Dan juga tempat hidup 8157 spesies vertebrata, 270 spesies mamalia, 386 spesies burung, 328 spesies reptile, 204 spesies amphibia, 280 spesies ikan yang endemik. Semua itu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi dunia.

Akan tetapi ancaman terhadap keanekaragaman hayati itu semakin nyata. Oleh karena itu, salah satu upaya pemerintah melindungi spesies dilindungi adalah dengan menetapkan 14 spesies terancam punah yang menjadi spesies prioritas utama peningkatan populasi sebesar 3 persen pada tahun 2010-2014 melalui SK Dirjen PHKA No. SK.132/IV-KKH/2011. Langkah strategis pelaksanaan diperkuat dengan peta jalan peningkatan populasi 14 spesies dengan SK Dirjen PHKA No. 109/IV-KKH/2012.

Peta jalan tersebut menjadi panduan seluruh UPT dibawah Kementerian Kehutanan (yang sekarang menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk melaksanakan program, rencana aksi arahan/panduan pencapaian target, sampai degan  ketersediaan anggaran; dan ketersediaan SDM yang terampil dan peralatan yang memadai untuk meningkatkan populasi 14 spesies tersebut.

Beberapa spesies langka yang menjadi prioritas tersebut terdapat di wilayah Indonesia Tengah dan Timur meliputi orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), maleo (Macrocephalon maleo), bekantan (Nasalis lavartus), anoa (Bubalus quarlesi dan Bubalus depressicornis), dan komodo (Varanus komodoensis).

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan tahun 2012, telah terjadi peningkatan beberapa spesies tersebut. Berikut ini gambaran pencapaiannya :

No.

Nama Spesies Target

Tahun 2011 (%)

Tahun 2012 (%)

1

Anoa

0.38

19.51

2

Orangutan kalimantan

1.08

1.81

3

Bekantan

105.48

126.19

4

Komodo

34.15

39.10

5

Maleo

4.54

72.02

Sumber : Renja Tahun 2014/Ditjen PHKA

Walaupun berdasarkan  data yang telah ditampilkan menyatakan adanya peningkatan populasi spesies-spesies tersebut, namun kondisi di lapangan juga perlu menjadi perhatian. Permasalahan bagi keberlangsungan hidup spesies tersebut masih saja terjadi. Beberapa spesies tersebut makin nyata mendapatkan ancaman, baik dari aktivitas manusia maupun kerusakan hutan sebagai habitatnya.

Orangutan Kalimantan

Orangutan Kalimantan telah ditetapkan oleh lembaga konservasi internasional IUCN  sebagai hewan terancam punah (endangered). Ada tiga subspesies orangutan yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus yang mendiami bagian Barat Kalimantan (Utara Sungai Kapuas hingga ke bagian Timur Serawak), Pongo pygmaeus wurmbii dibagian Barat Daya dan Selatan Kalimantan, dan Pongo pygmaeus morio mendiami wilayah Sabah hingga di Kalimantan Timur.

orangutan

Orangutan tergantung dengan kondisi hutan dimana tempat mereka tinggal, dan saat ini populasi orangutan mengalami gangguan akibat perubahan fungsi hutan yang dikonversi menjadi industri kehutanan maupun perkebunan, ataupun pertanian sehingga habitat orangutan banyak yang hilang. Selain karena hilangnya habitat, orangutan mendapat tekanan yang tidak ringan dari manusia yaitu perburuan serta perdagangan orangutan.  Mongabay 2014 menyampaikan bahwa berdasarkan laporan CITES, orangutan Borneo (Pongo pygmaues) adalah spesies terancam punah (Appendix I). Populasi terancam karena habitat terfragmentasi lebih 55% dalam 20 tahun, antara lain akibat konversi hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman. Mereka juga terancam kebakaran hutan dan perdagangan untuk peliharaan.

Komodo

Kadal purba endemik  Indonesia, mempunyai penyebaran terbatas, yaitu di wilayah kepulauan Sunda kecil di bagian Timur Indonesia yaitu di 4 pulau wilayah kawasan Taman Nasional Komodo.

Data Kemenhut tahun 2011 menyebutkan beberapa lokasi komodo yaitu Loh Liang, Loh Sebita, Loh Wau, Loh Lawi, Sok Keka, Loh Gong, Tanjung Kuning, dan Loh Serao di P. Komodo, Loh Buaya, Loh Baru, Loh Tongker, Loh Dasami, Loh Ginggo, Tanjung Nggikok, dan Tanjung Tambora di P. Rinca, dan di pulau-pulau kecil, Gili Montag dan Nusa Kode.

Komodo menjadi salah satu dari 14 speses terancam punah prioritas peningkatan populasinya. Foto : Agustinus Wijayanto
Komodo menjadi salah satu dari 14 speses terancam punah prioritas peningkatan populasinya. Foto : Agustinus Wijayanto

Komodo menghuni lima pulau di kawasan timur Indonesia, dengan empat populasi pulau yang terletak di dalam Taman Nasional Komodo (TNK) dan beberapa populasi terfragmentasi bertahan di pulau yang lebih besar dari Flores.

Komodo telah dilindungi oleh undang-udang Indonesia dan IUCN menetapkananya status rentan alias vulnerable . Komodo walaupun menjadi satwa kharismatik juga tidak lepas dari ancaman.  Ancaman tersebut berupa hilangnya sumber pakan alami seperti kerbau dan rusa akibat adanya perburuan kedua satwa tersebut.

Catatan menarik pada tahun 2002 terhadap satwa mangsa komodo adalah di salah satu lokasi yaitu di Padar, pulau ketiga terbesar di TNK, menjadi punah secara lokal pada tahun 1980-an, kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya kepadatan rusa karena perburuan liar.

Selain itu, kondisi cuaca yang ekstrim mengakibatkan kebakaran hutan yang mengakibatkan mangsa komodo juga terancam.  Populasi cenderung menurun di Nusa Kode karena keberadaan mangsa berukuran besar seperti kerbau dan rusa sulit didapatkan (Kemenhut, 2012)

Bekantan

Primata endemik Kalimantan khas dengan hidung panjang ini hidup dari menggantungkan kondisi hutan bakau (mangrove), sekitar sungai dan rawa gambut.  IUCN menetapkan Bekantan (Nasalis larvatus) sebagai hewan terancamp punah (endangered) karena ancaman terbesarnya yaitu pembukaan hutan untuk tambak, dan pembukaan daerah aliran sungai tempat hidup bekantan untuk perumahan.

Bekantan di Teluk Balikpapan. Foto: Hendar
Bekantan di Teluk Balikpapan. Foto: Hendar

Bekantan dianggap sebagai hama yang mengganggu ladang. Faktanya, 95 persen habitat bekantan berada di luar kawasan konservasi, maka sangat rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas manusia.  Penelitian Atmoko dkk (2011) di Teluk Balikpapan menyampaikan Pembukaan dan penimbunan areal mangrove juga terjadi untuk keperluan eksplorasi batubara yaitu untuk membuat loading area, penempatan konveyor batubara, dan jalan pengangkutan batubara.  Selain itu juga pembukaan mangrove untuk pembangunan dermaga oleh perusahaan CPO (crude palm oil) karena Teluk Balikpapan adalah lokasi yang strategis yang terhubung langsung dengan laut lepas untuk sarana transportasi pengangkutan batubara.

Anoa

satwa endemik Pulau Sulawesi ini mempunyai ada dua sub spesies yang dikenal saat ini yaitu Bubalus depressicornis (jenis anoa yang habitatnya di dataran rendah) dan Bubalus quarlesi (anoa yang habitatnya di gunung). IUCN menempatkan status dua jenis anoa itu pada endangered alias terancam punah.

Seperti satwa lain, anoa mengalami penurunan populasi karena aktivitas manusia seperti perburuan (untuk daging) dan hilangnya habitat, dua ancaman paling signifikan terhadap anoa.

Anoa dataran rendah, satwa khas Sulawesi yang makin terancam. Foto: Wikipedia
Anoa dataran rendah, satwa khas Sulawesi yang makin terancam. Foto: Wikipedia

Banyak populasi anoa makin terisolasi karena hutan di sekitar kawasan lindung dihapus atau diubah menjadi perkebunan (Burton et al 2005).  Kemenhut (2012) juga melansir bahwa keberlangsungan hidup anoa terancam karena perburuan liar, fragmentasi, dan berkurangnya luas habitat.

Anoa pernah ditemukan di wilayah Sulawesi Utara namun saat ini sulit untuk dlihat lagi.  Kontributor Mongabay Sulawesi pada tahun 2012 melaporkan bahwa populasi anoa makin berkurang. Hal ini diperkuat oleh peneliti anoa, Abul Haris.  ”Populasi anoa makin berkurang dan khawatir mempercepat kepunahan satwa ini.  Ini akibat perburuan liar, juga luas hutan berkurang karena alih fungsi menjadi keperluan pertambangan juga perkebunan,” ungkapnya.

Meski masih ada populasi anoa ditemui di beberapa titik, seperti di Cagar Alam Tangkoko, kawasan hutan gunung Ambang dan di kawasan Taman Nasional di Bolaang Mongondow (Bolmong).  Namun karena adanya tradisi berburu, berdagang dan mengkonsumsi satwa liar turut berdampak pada menurunnya, bahkan punahnya populasi satwa jenis tertentu di Sulawesi Utara, termasuk babirusa (Babyrousa babyrussa).

Maleo

Burung endemik Sulawesi ini Maleo memiliki karakteristik yang unik pada telornya yang lebih besar dari telur ayam dan mengubur telurnya dalam pasir.  Maleo tidak luput dari ancaman kepunahan karena habitat termasuk tempat bertelur maleo berubah fungsi.  Belum lagi perburuan telurnya untuk dikonsumsi dan diperdagangkan.

Degradasi habitat terutama nesting ground menjadi lahan pertanian maupun peruntukan lain berkontribusi terhadap makin berkurangnya maleo. PHKA (2012) menambahkan bahwa untuk mempertahankan variasi genetic suatu spesies dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan lingkungan diperlukan suatu populasi yang cukup besar.  Populasi yang kecil memiliki resiko yang lebih besar akan hilangnya variasi genetic dan rentan kepunahan.

Berebut Wilayah Untuk Bertelur_Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo)_Luwuk Banggai_Rahmat Fadrikal
Berebut Wilayah Untuk Bertelur_Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo)_Luwuk Banggai_Rahmat Fadrikal

Iwan Hunowu dari WCS IP Sulawesi menyatakan bahwa perkiraan dari ahli burung untuk populasi maleo diperkirakan 4000-7000 breeding pairs.  “Per November 2014 saja kami sudah melepas lebih dari 9000 anak maleo ke hutan”, ungkap Iwan.  Namun demikian, belum dipastikan dari ribuan yang dilepas ke alam berapa jumlah yang hidup.  “Meskipun secara pasti, belum dapat memastikan berapa anak maleo yang hidup selamat hingga dewasa (survival rate), perlu penelitian lebih lanjut tentang ini” tambahnya.  Jika ditilik dari upaya yang dilakukan oleh mitra Kementerian Kehutanan, bisa dipastikan capaian peningkatan populasi mencapai target bahkan bisa melebihi.

Upaya yang harus dilakukan

Mengingat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh spesies prioritas utama tersebut berupa degradasi habitat, perburuan, maupun pemeliharaan sehingga pendekatan pendekatan terhadap peningkatan populasinya perlu diperhatikan.

Kembali kepada peta jalan yang telah dibuat, perlu dievaluasi secara menyeluruh secara berkala sebelum menyatakan bahwa peningkatan populasi telah berhasil per spesiesnya setiap tahunnya. Spesies-spesies dengan reproduksi terbatas, penyebaran terbatas, tekanan habitat dan spesies sangat tinggi, serta masih lemahnya penegakan hukum tentunya menjadi perhatian lebih serius.

Memperkuat kinerja UPT beserta SDM-nya, peningkatan kerjasama multipihak dengan mitra terkait, serta pelibatan masyatakat setempat dapat dilakukan sebagai upaya common agenda peningkatan populasi spesies tersebut. Tentunya sesuai kapasitas masing-masing pihak terkait tersebut.

Lebih melegakan lagi apabila moratorium konversi hutan alam tetap terlaksana, pengananan kebakaran hutan secara tepat, serta pemberian sanksi maksimal terhadap pelanggaran kasus kehutanan dan satwa liar sehingga dapat ikut berkontribusi terhadap peningkatan populasi spesies prioritas utama terancam punah tersebut agar tidak punah dikemudian hari.

Semoga….

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,