Warga Kota Batu Tuntut Pengadilan Tinggi Jatim Hentikan Kriminalisasi Pejuang Lingkungan

Seorang berpakaian hakim dengan kepala badut, nampak membawa payung dan uang ratusan ribu rupiah. Uang itu diperoleh dari seorang berpakaian necis yang berperan sebagai pengusaha. Usai menerima uang, hakim berkepala badut itu mengikat seorang warga yang membawa tulisan tolak pembangunan hotel The Rayja, dan menariknya hingga jatuh ke tanah.

Itulah sepenggal teaterikal yang menggambarkan bahwa hukum masih berpihak pada pemilik modal, dan tidak berpihak pada rakyat kecil yang menjadi pelestari lingkungan.

Aksi ini merupakan bagian dari unjuk rasa yang dilakukan ratusan warga dari 3 desa yaitu Bulukerto dan Bumiaji di Kecamatan Bumiaji, serta Desa Sidomulyo di Kecamatan Batu, Kota Batu, di depan kantor Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Surabaya, pada Senin (190/1/2014) kemarin.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesua (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika mengatakan unjuk rasa tersebut mendesak aparat penegak hukum di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, untuk menghentikan proses hukum banding yang dilakukan pihak Hotel The Rayja yang mengkriminalkan warga penolak pendirian hotel diatas sumber mata air Umbul Gemulo.

“Aksi ini merupakan kelanjutan perjuangan masyarakat selama 4 tahun, dalam kasus kriminalisasi warga yang menolak pendirian The Rayja,” kata Ony.

Dalam aksi ini, warga yang tergabung dalam Aliansi Pembela Sumber Mata Air mendesak penghentian proses hukum banding di pengadilan Tinggi Jawa Timur, atas dasar Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) nomor 32 tahun 2009 yang melindungi masyarakat penjaga lingkungan.

“Pertama adalah menghentikan proses pengadilan ini, karena para pejuang lingkungan ini sebenarnya tidak bisa dipidanakan atau diperdatakan, menurut Undang-undang 32 pasal 66 menyebutkan bahwa masyarakat yang menyelamatkan lingkungan tidak bisa diproses,” ujar Ony Mahardika kepada Mongabay.

Rudi selaku warga desa yang digugat mengungkapkan, kriminalisasi yang dilaminya merupakan bentuk ketidakberpihakan hukum kepada rakyat kecil. Hukum seharusnya melindungi masyarakat yang menjaga serta melestarikan lingkungan, bukan malah memihak pada investor yang tidak peduli lingkungan.

“Sudah 2 kali kami dibohongi oleh pihak Pengadilan Tinggi, yaitu dengan memberikan hakim yang tidak ebrsertifikasi lingkungan. Makanya kami menuntut hukum berlaku adil kepada kami, termasuk dengan memberikan hakim yang bersertifikasi lingkungan,” ungkap Rudi yang berharap kasus ini dihentikan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur.

Mata Air Umbul Gemulo di Malang. Foto: Walhi Jawa Timur
Mata Air Umbul Gemulo di Malang. Foto: Walhi Jawa Timur

Persoalan mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur, sudah berlangsung sejak 2002 lalu, dimana sebelumnya sempat terjadi konflik terkait pipanisasi oleh pemerintah daerah maupun tukar guling dengan salah satu perusahaan air minum dalam kemasan.

Penolakan warga atas pendirian The Rayja karena pembangunan hotel itu berada di kawasan lindung sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, yang dikhawatirkan akan menghilangkan atau merusak sumber mata air yang menjadi sandaran hidup bagi warga.

Perlawanan dari warga kemudian direspon oleh pihak The Rayja dengan melakukan kriminalisasi terhadap warga, dengan melaporkan warga atas tuduhan melakukan perusakan dan mengambil material bangunan. Pihak The Rayja juga melakukan gugatan perdata senilai Rp30 miliar terhadap salah satu perwakilan Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) bernama Rudi, yang dituduh melakukan perbuatan melawan hukum dengan jalan melakukan provokasi dan intimidasi, serta melakukan aksi demonstrasi dan berkirim surat yang mengakibatkan terhentinya kegiatan pembangunan The Rayja.

Pada sidang di Pengadilan Negeri Malang tanggal 21 Juli 2014 lalu, majelis hakim memenangkan pihak warga yang tergabung dalam FMPMA atas gugatan PT Panggon Sarkarya Sukses Mandiri selaku pemilik The Rayja Batu Resort.

Ony mengatakan bila Pengadilan Tinggi Jawa Timur tetap membiarkan proses banding gugatan Hotel The Rayja terhadap warga terus berjalan, maka itu berarti pengadilan belum memiliki kepekaan terhadap kondisi lingkungan yag ada.

“Proses di Pengadilan Tinggi ini akan menjadi bukti apakah pengadilan punya sense of environmental protection. Masyarakat yang digugat oleh pihak hotel ini sedang berjuang untuk melestarikan sumber mata air di Kota Batu yang terus menurun kualitas dan kuantitasnya, membiarkan mereka menghadapi proses hukum sama dengan kita mempertaruhkan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup,” tutur Ony.

Data WALHI menunjukkan konfigurasi titik mata air dan kebutuhan mata air di Kota Batu cenderung kritis. Dari 57 titik sumber air yang berada di Kecamatan Bumiaji, saat ini menyisakan 28 titik. Bahkan di Kecamatan Batu saja, tinggal menyisakan 15 titik dari 32 sumber air. Sedangkan di Kecamatan Junrejo tersisa 15 titik dari 22 titik sumber mata air sebelumnya.

Pembangunan Hotel The Rayja diatas sumber mata air Umbul Gemolo Kota Batu, kata Rudi, hingga kini telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta ketakutan di tengah masyarakat yang merasa terintimidasi.

“Itu kan posisi hotel itu ada di atas sumber mata air kami. Jadi ketakutan kami, ketakutan warga masyarakat kami, itu akan bisa mencemari sumber mata air kami dan juga bisa menurunkan debit mata air,” tandas Rudi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,