,

Kesemat, Berawal dari Galau Akhirnya Menyabet Penghargaan Kehati

“Ini dari talas ya,” ujar seorang pria sepuh yang kemudian ikut mencicipi camilan criping dari toples yang disuguhkan oleh Kelompok KeSEMaT di lobi Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kamis (28/1/2015). Pria sepuh yang tak lain adalah Bondan Winarno, pembawa acara kuliner ini lalu manggut-manggut. “Saya kira tadinya talas, enak juga,” ujarnya ketika mendapat penjelasan camilan yang dicicipi itu terbuat dari mangrove. Seorang pengunjung lain lantas ikut-ikutan mencomot makanan itu. “Kalau sudah dicicipi Pak Bondan, pasti enak,” ujarnya.

Kelompok ini memang menyajikan beberapa toples camilan dari mangrove untuk dinikmati para undangan pada penganugerahan Kehati Award VIII. Makanan tersebut hasil kreasi dari anak-anak muda dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang dan beberapa alumninya. Mereka merintis penelitian, konservasi, industri kreatif sekaligus kampanye merimbunkan mangrove. Anak-anak muda ini tergabung dalam Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSEMaT).

Aktivitas KeSEMaT ini bermula dari penelitian namun kemudian berlanjut pada kegiatan yang jauh dari pemikiran awal mereka. Dari Mangrove yang mereka tumbuhkan, mereka membuat kreasi yang menghasilkan uang dan dijual melalui CV KeMANGI, lalu mendirikan Yaysaan Ikatan Alumni KeSEMAT  (IKAMaT) dan menggalang relawan melalui KeSEMaT Mangrove Volunteer (KeMANGTEER) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Dinuarca Endra Wasitha, Presiden KeSEMaT menceritakan perjalanan kelompoknya hingga akhirnya jerih perjuangan mereka diganjar Tunas Lestari KEHATI pada KEHATI Award VIII, 2015.  KeSEMaT didirikan oleh sembilan mahasiswa Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro pada 2001. Mereka resah dan khawatir dengan rusaknya ekosistem mangrove di Teluk Awur, Jepara. Di tempat ini, para mahasiswa melakukan praktek dan penelitian untuk mata kuliah mereka.

“Langkah pertama yang diambil untuk intervensi pada ekosistem mangrove segera dilakukan yakni konservasi,” ujar Dinu.

Mereka lantas mempraktekkan ilmu yang telah mereka peroleh di bangku kuliah tentang konservasi mangrove dan program organisasi yang meliputi pengajaran, penyuluhan, pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemberdayaan masyarakat pesisir.

Hasilnya sejak 2003-2012 ini   kurang lebih 100.000 bibit mangrove di berbagai pesisir di Jawa. Selain melakukan penanaman dan pembibitan, mereka pun mendorong usaha konservasi mangrove dengan edukasi dan kampanye. Mereka mengundang para narasumber dan pakar pengembangan mangrove dalam berbagai seminar untuk memperkaya pengetahuan.

Mereka juga mendirikan  Mangrove Education Center of Kesemat (MECoK).  Tempat ini, kata Dinu,  selalu ramai dikunjungi siswa atau masyarakat umum yang ingin mengetahui seluk beluk mangrove. Keberadaan MECoK ini telah mendorong keberhasilan menghijaukan kembali kurang lebih satu hektar lahan mangrove gundul di pesisir pantai Teluk Awur,  dengan tingkat kelulus hidupan mencapai 90 persen.
“Bahkan, Pemerintah kabupaten Jepara telah menetapkan kawasan tersebut menjadi hutan kota.”

Sedangkan untuk kampanye, mereka aktif menyasar anak-anak muda yang dikemas dalam kegiatan tahunan yang bervariasi. Tentu saja, kegiatan mereka selalu berhubungan dengan mangrove seperti seperti Kesematjurnal, kesematonline, Kesematours, kesemat movie, kesematmag, kesematkuistik. Dinu berharap berbagai kegiatan ini mampu menambah kecintaan anak muda pada mangrove. “Semoga  makin banyak yang peduli dengan mangrove dan tidak gengsi untuk menggunakan produk-produk dari mangrove,” kata Dinu. “Kami ingin menjadikan mangrove sebagai gaya hidup.”

Para penerima Kehati Award VIII yaitu (kiri ke kanan) Prof. Achmad Subagio, Januminro Bunsal, Agustinus Sasundu, Ambarnawati Hernawan, Ketua KeSEMaT (Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur) dan Aziil Anwar. Foto : Jay Fajar
Para penerima Kehati Award VIII yaitu (kiri ke kanan) Prof. Achmad Subagio, Januminro Bunsal, Agustinus Sasundu, Ambarnawati Hernawan, Ketua KeSEMaT (Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur) dan Aziil Anwar. Foto : Jay Fajar

Tak hanya itu, mereka pun mencoba membangun jaringan relawan di berbagai wilayah melalui KeMANGTEER. Saat ini sudah terbentuk relawan di delapan wilayah seperti di Semarang, Jakarta, Malang, Yogyakarta, Serang, Tangerang, Medan dan Langsa. Kegiatan utamanya yakni konservasi dan kampanye mangrove.

Dinu dan kelompoknya juga mengembangkan industri kreatif berbasis mangrove dengan memberdayakan masyarakat pesisir. Mereka menularkan pengetahuan mangrove untuk bahan batik yang produknya disebut Batik Bakau dan pengolahan makanan berbahan baku mangrove. Hasilnya, ya aneka makanan camilan yang disajikan dan sempat dinikmati Pak Bondan yang terkenal dengan ungkapan ‘maknyusss’nya.

Tak hanya berhenti sampai disana, mereka menginginkan program-program mereka terus berkelanjutan bahkan terus berkembang. Selain itu mereka juga akan mengembangkan konsep sertifikasi keahlian untuk tenaga ahli dan pelaksana proyek mangrove dalam kampanye kampanye Sertifikasi Mangrove Safe KeSEMat. Sertifikasi ini nantinya bisa  digunakan sebagai jaminan bagi perusahaan pertambakan terutama tambak udang. Rencana jangka pendek yang akan dilakukan adalah membuat Website khusus  KeSEMaT.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,