,

Pemerintahan di Sumatera Selatan Masih Tertutup dengan Informasi Pengelolaan Kehutanan. Adakah yang Dirahasiakan?

Sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, sangat tertutup dengan semua informasi publik. Misalnya Dinas Pertambangan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Kehutanan. Ada apa?

“Ini berdasarkan pengalaman FITRA Sumatera Selatan (Sumsel), melalui uji akses informasi. SKPD atau dinas yang sangat tertutup memberikan informasi sampai saat ini, terkait kasus di Kabupaten Musi Banyuasin dan di Pemerintah Provinsi Sumsel, yakni Dinas Pertambangan, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH), “ kata Nunik Handayani, dari FITRA Sumsel, dalam FGD mengenai informasi pengelolaan hutan dan lahan gambut di Sumsel yang digelar Mongabay Indonesia, Kamis (26/02/2015).

“Hanya Bappeda yang terbuka,” jelas Nunik.

Sementara, pengalaman PINUS yang melakukan uji akses informasi publik pada 14 SKPD di Kabupaten Muara Enim, hanya empat SKPD yang memberikan data dan informasi yang dibutuhkan. Yakni, Bappeda, Dinas Pertambangan, Dinas PU Cipta Marga dan Dinas Kehutanan.

“Lainnya sampai saat ini belum memberikan informasi yang diminta,” kata Syamy Syamsul Huda dari PINUS.

Hadi Jatmiko dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel mengatakan masih ada pejabat pemerintah di Sumsel yang menyatakan informasi terkait pengelolaan kehutanan dan sumber daya alam merupakan data rahasia negara. “Ini kan aneh. Jelas sekali pejabat ini melawan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” kata Hadi.

Minta ke perusahaan

Meskipun sudah dijelaskan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, namun hampir semua pejabat di Dinas Pertambangan, Kehutanan atau Perkebunan yang dimintakan informasinya – dalam hal ini FITRA, PINUS, Walhi Sumsel dan WBH – selain tidak mau mengeluarkan data, juga menyarankan meminta langsung kepada pihak perusahaan.

“Ini kan aneh, data yang seharusnya menjadi hak publik dikatakan rahasia negara, sementara pihak yang tidak dapat diakses datanya oleh publik, justru disarankan diminta datanya,” kata Ismail dari Wahana Bumi Hijau (WBH).

“Jelas saja kami tidak menjalankan apa yang disarankan pejabat pemerintah tersebut,” katanya.

Saat ini, semua informasi dan data yang belum diberikan SKPD di kabupaten, kota serta provinsi tengah disengketakan di KID (Komisi Informasi Daerah). “Hasilnya masih menunggu,” kata Ismail.

Kenapa tertutup?

Organisasi non-pemerintah yang melakukan uji akses informasi publik di Sumatera Selatan menilai macetnya informasi publik di Sumatera Selatan, bukan karena para pejabat tidak paham dengan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun, seperti hanya sekadar dibentuk saja.

“Sebab, hampir semua kabupaten dan kota di Sumsel sudah membentuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi). Namun, lembaga ini semacam kamuflase saja. Mereka hanya ingin menunjukkan peduli dengan informasi publik, tapi praktiknya tidak,” kata Hadi.

Hadi pun menjelaskan jika informasi terkait dengan pengelolaan kehutanan dan sumber daya alam tersebut memang sengaja ditutupi, “Dugaan kami banyak aset dikuasai perusahaan milik pejabat pemerintah atau politisi. Jika hal ini dibuka, jelas akan menimbulkan kekhawatiran mereka,” kata Hadi.

Cara ini, kata Hadi, justru menimbulkan banyak kecurigaan dari masyarakat dan penegak hukum. “Seharusnya dibuka saja. Jika apa yang dilakukan itu benar secara hukum, buat apa takut dibukakan kepada publik. Apalagi itu hak publik yang diperintahkan UU,” ujarnya.

Pernyataan Hadi dibenarkan oleh Anwar Sadat dari Serikat Petani Sriwijaya (SPS). “Banyak informasi yang ditutupi, yang pada akhirnya menimbulkan konflik lahan antara masyarakat dengan pemerintah maupun perusahaan. Jika informasi itu terbuka mungkin konflik dapat dihindari atau dapat terselesaikan,” katanya.

Sadat mencontohkan kasus di Desa Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). “Ada informasi hasil keputusan tim penanganan konflik perkebunan sawit tersebut, yakni mengembalikan lahan sengketa seluas 400-an hektar kepada masyarakat. Tapi, informasi ini tidak sampai ke masyarakat, sehingga masyarakat melakukan perlawanan karena tidak mengetahui informasi ini,” ujarnya.

Najib Asmani, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Lingkungan Hidup, mengatakan Gubernur Sumsel Alex Noerdin sangat mendukung kebebasan mendapatkan informasi publik. Sebab, hal ini sesuai dengan semangat demokrasi dan UU yang ada. “Jika ada hambatan informasi seperti itu, sebaiknya disampaikan kepada Pak Alex, lengkap dengan datanya, sehingga semuanya menjadi jelas. Hal ini untuk menghindari berbagai dugaan negatif terhadap pemerintahan di Sumsel. Gubernur Sumsel sangat berkomitmen memperbaiki tata pengelolaan kehutanan dan lahan gambut,” katanya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,