Para pegiat lingkungan hidup di Sumatera Selatan (Sumsel) mendesak pemerintah meneruskan moratorium perizinan di hutan dan lahan gambut oleh aktivitas perkebunan, pertambangan, dan hutan tanaman industri lantaran mengancam kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan Inpres No.6 Tahun 2013, moratorium akan berakhir pada 12 Mei 2015.
“Moratorium harus dilanjutkan. Tapi bukan berdasarkan waktu, melainkan hasil,” kata Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, dalam Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Menimbang Pelaksanaan Moratorium, di Palembang, Senin (23/03/2015).
Artinya, moratorium tersebut benar-benar dilakukan pada wilayah yang terancam lingkungannya. Bukan pada wilayah yang sudah dilindungi oleh undang-undang (UU) atau aturan yang berlaku.
Misalnya, kata Hadi, di Sumatera Selatan, ada perkampungan, lokasi transmigran, kawasan konservasi, kawasan gambut di atas tiga meter, yang dimoratorium. “Itu kan tidak perlu dimoratorium lagi, sebab sudah dilindungi UU.”
“Contoh dekatnya adalah Suaka Margasatwa Dangku di Kabupaten Musi Banyuasin yang dimoratorium. Itu kan sudah jelas merupakan wilayah dilindungi UU sebagai kawasan konservasi,” kata Hadi.
Selain itu, jika moratorium dilanjutkan, maka penegakan hukum harus benar-benar dijalankan. “Selama ini penegakan hukum, seperti yang dibebankan pada BP REDD+ serta lembaga-lembaga yang diberi tanggung jawab persoalan moratorium, tidak menjalankannya secara optimal,” kata Hadi.
Selanjutnya, wilayah yang akan dimoratorium harus dimasukan ke rencana tata ruang wilayah (RTRW), sehingga kebijakan ini benar-benar berjalan sampai tingkat daerah. “Percuma kalau dimoratorium, tapi tidak dimasukan RTRW. Sebab, perizinan dikeluarkan berdasarkan RTRW,” jelas Hadi.
Ekologi, korupsi, hingga konflik sosial
Nunik Handayani dari FITRA Sumsel, mengatakan moratorium penting dilanjutkan, sebab hingga saat ini, Indonesia khususnya Sumatera Selatan, masih terancam oleh bencana ekologis seperti air yang kering saat kemarau dan banjir kala penghujan serta kebakaran, yang diakibatkan oleh aktivitas perkebunan, pertambangan, dan HTI.
Faktor berikut, pentingnya moratorium adalah kemungkinan adanya tindak korupsi dalam pembuatan izin baru. “Indikasinya, sulitnya akses informasi atau tidak transparansnya pemerintah terkait perizinan perkebunan, pertambangan, dan HTI,” ujar Nunik.
Begitu juga dengan Muhammad Syarifuddin dari Yayasan SPORA. Menurutnya, moratorium harus dilanjutkan sebagai upaya mengurangi konflik sosial. “Eksplorasi sumber daya alam (SDA) telah menimbulkan sengketa tanah, perubahan perilaku masyarakat desa, yang sebelumnya arif terhadap lingkungan menjadi lebih merusak alam, konsumtif, dan menimbulkan banyak tindak kriminalitas,” katanya.
“Coba perhatikan kondisi masyarakat di sekitar perkebunan dan pertambangan. Semua itu akan terasa. Padahal sebelum adanya aktivitas perkebunan dan pertambangan, kehidupan mereka aman, sejahtera dan damai,” ujar Syarifuddin.
Lebih jauh Syarifuddin berpendapat, sebenarnya inti persoalan lingkungan hidup di Indonesia, dikarenakan pembangunan berbasis eksplorasi SDA. “Seharusnya, pembangunan berbasis jasa terhadap potensi SDA yang ada bukan eksplorasi,” ujarnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio