, ,

Pesan Penting buat Memperkuat Moratorium Izin Hutan

Pesan penting buat pemerintah: perpanjangan kebijakan moratorium hutan dan gambut dengan memperluas wilayah perlindungan, meningkatkan status hukum dan ada sanksi.

“Itu (moratorium) kita lanjutkan, tak boleh ada izin baru di hutan dan gambut.” Begitu kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akhir bulan lalu, menanggapi kebijakan moratorium izin hutan dan lahan gambut yang bakal berakhir pada Mei 2105. Awal bulan ini, Maryland University dan World Resources Institute (WRI) merilis deforestasi dunia, termasuk Indonesia periode 2011-2013. Untuk Indonesia, dalam rentang itu,  hutan hilang sebesar 1,6 juta hektar. Pada 2013, deforestasi di hutan alam primer terhitung terendah dalam 10 tahun terakhir. Namun, kondisi cukup mengkhawatirkan,  karena hampir 98% deforestasi berada di hutan alam terdegradasi (hutan alam sekunder) yang tak masuk kawasan moratorium.

Nirarta Samadhi, Direktur WRI Indonesia, mengatakan, kebijakan moratorium hanya mencakup hutan alam primer dengan dua persen terganggu, sedang deforestasi 98% ada di hutan alam sekunder. “Pesan penting, hutan terdegradasi tadi secara fisik masih hutan dan masih menampung karbon besar, keragaman hayati juga ada, ini justru 98% deforestasi,” katanya kepada Mongabay di Jakarta.

Kondisi ini, katanya,  mengkhawatirkan karena hutan alam sekunder tak masuk moratorium padahal memiliki kualitas perbaikan manakala dilindungi. Untuk itu, dia menyarankan dalam perpanjangan kebijakan ini, ada perluasan wilayah moratorium dengan memasukkan hutan alam sekunder.

“Perpanjangan moratorium hutan alam sekunder harus masuk.  Tentu ada proses memilih, tak semua hutan sekunder pas buat dimoratorium. Ada yang cocok buat dimanfaatkan karena perlu tambahan pangan, misal.”

Bukan itu saja, katanya, pijakan hukum moratorium juga harus diperkuat tak hanya instruksi presiden (inpres). “Kalau memang serius dan sungguh-sungguh ya dinaikinlah kekuatan hukumnya. Paling tidak peraturan presiden. Syukur kalau jadi peraturan pemerintah.”

Dengan penguatan pegangan hukum ini, katanya bisa menjadi sarana dalam memulai proses penegakan hukum lebih kuat.  Regulasi ini juga mesti mempunyai sanksi bagi pelanggar. “Buat saya, kalau regulasi dinaikkan satu atau dua tingkat, masyarakat sudah siap. Kita sudah melewati dua periode moratorium. Jadi, radar sudah jalan, sudah tahu betul harus ngapain. Masyarakat sudah tahu, pengusaha tahu, seperti apa moratorium. Kalau ada penegakan hukum semua pihak sudah siap. Jadi bisa lebih mudah.”

Klik pada gambar untuk memperbesar. Sumber: GFW/WRI

Senada diungkapkan Belinda Margono, peneliti WRI juga bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia mengusulkan, perluasan wilayah moratorium karena sebagian besar deforestasi terjadi di luar kawasan ‘lindung’ ini.

Hutan alam itu, katanya,  ada yang disebut hutan primer  (tidak ada indikasi kegiatan orang atau tak terganggu), lalu ada hutan terdegradasi (ada indikasi aktivitas manusia) baik, ada logging, dekat kampung atau sungai. “Nah, deforestasi 90% lebih masuk ke hutan-hutan terdegradasi itu.  Jadi kalau hutan tak ada aktivitas manusia sebetulnya stabil. Kalau sudah ada aktivitas manusia kita harus lebih hati-hati,” ujar dia.

Dia ingin menegaskan, perlindungan hutan yang sudah ada aktivitas manusia itu penting.  Karena keseimbangan hutan terdegradasi itu sudah terganggu, misal ada pengusahaan hutan. “Di HPH itu pakai selecting cutting. Tetapi kadang-kadang karena harga kayu jadi tak terawasi. Hutan-hutan model gitu deforestasi tinggi.”

Belinda menyadari, Indonesia masih negara berkembang hingga perlu pemanfaatan sumber daya alam. Kala perluasan moratorium sampai ke hutan sekunder kemungkinan bakal mematikan sektor usaha kehutanan. “Itu bukan berarti tak bisa dibicarakan. Misal, dengan meningkatkan proteksi.”

Dia mencontohkan, dengan penerapan kebijakan reduce impact logging (RIL). Pada blok tebangan diupayakan meminimal kerusakan hutan alam, bahkan melakukan pengayaan. “Misal, kalau pohon ditebang, anakan juga akan mati. Anakan ini ditanam lagi, lakukan pengayaan. Ini kebijakan konvensional tetapi masih relevan. Kalau pengusahaan hutan benar-benar diterapkan dan diawasi dengan sanksi akan bagus.”

Klik pada masing-masing gambar untuk memperbesar. Sumber: Mongabay.com

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,