Kami menyusuri kanal buatan warga Pungkat, Indragiri Hilir (Inhil), Riau. Ia digali menggunakan linggis pada 1970-an. Berukuran dua meter, kedalaman dua meter. Perahu kecil bergerak. Sesekali mati saat baling-baling tersangkut sesuatu. Kiri kanan tampak rumah kayu. Ada perahu sedang dibuat, hamparan pohon kelapa, pinang dan sebagian sawit.
Perjalanan lanjut menyusuri Sungai Rawa. Kiri kanan tegakan pohon alam tampak rapat. Pinggiran kanal penuhi bakung. Monyet-monyet berteriak. Melompat dari pohon satu ke pohon lain.
Setelah sejam lebih menikmati pemandangan hutan alam nan rawa gambut masih terjaga, tiba-tiba pemandangan berubah. Sebuah kanal baru dikeruk menggunakan alat berat. Alat-alat ini ada pinggiran kanal. Wilayah ini masuk konsesi PT Setia Agro Lestari (SAL).
Dalam surat perjanjian antara SAL dengan CV Andalan Makmur Sejati menyebutkan, pembuatan parit ukuran panjang tiga meter, lebar atas dua meter dan kedalaman dua meter. Lalu, dalam parit galian tak boleh ada sisa-sisa tanggul kayu. Semua tunggul kayu di parit harus dipotong menggunakan chain saw dan dibongkar dengan eksavator. Pembuatan parit menggunakan eksavator. Dalam perjanjian ini tak menyebutkan, tanah galian itu adalah gambut.
Sekitar 100-an hektar lebih hutan alam gambut ditebang menggunakan eksavator. Sekitar lima pohon tersisa. Ada tiga alat berat parkir.
“Sejak parit dibuka perusahaan, Sungai Rawa air menjadi keruh. Air ini sumber mata air Desa Pungkat kalau musim kemarau. Sungai juga menjadi sumber mata air desa sekitar Pungkat,” kata Asmar Bin Abdurrahman, tokoh masyarakat Pungkat.
Untuk minum warga bergantung pada air hujan. Mandi dan mencuci pakaian mereka menggunakan air Sungai Gaung, yang berwarna kecoklatan.
“Ada mata air di Sungai Rawa namun dirusak SAL. Masyarakat tinggal air mata. Kami geram SAL tiba-tiba masuk ke Pungkat,” katanya, di sela diskusi bersama puluhan warga.
Sejak awal, kehadiran SAL ditolak warga Desa Pungkat, hingga berujung pembakaran alat berat perusahaan pada Juni 2014.
Kehadiran perusahaan
Hamdailis, warga Pungkat, menceritakan, pengalaman mengerikan kala polisi ke kampung mereka. “Saya ditendang Brimob malam hari waktu Brimob mendatangi desa kami mencari pelaku pembakaran. Saya dituduh membakar alat berat SAL. Saya tak menjawab,” kata pria yang baru bebas bersyarat ini.
Di PN Bengkalis, dia bersama 20 warga Pungkat lain dihukum enam bulan penjara, di Pengadilan Tinggi dihukum sembilan bulan.
”Cabut izin SAL agar kami sejahtera,” kata Masniar, warga lain.
Saya mendapatkan dokumen perizinan SAL, laporan kronologis warga Desa Pungkat, dan tuntutan JPU hingga BAP Keterangan Saksi.
Dari sana disebutkan, 30 Mei 2012, Sulaidy Direktur SAL mengajukan permohonan izin lokasi untuk perkebunan sawit seluas 20.000 hektar meliputi Desa Simpang Gaung, Belantaraya, Pungkat, Teluk Kabung, Lahang Hulu di Kecamatan Gaung kepada Kepala Badan Perizinan, Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BP2MPD) Kabupaten Inhil.
Pada 2012, SAL sosialisasi di rumah Imran Awang Kepala Desa Pungkat dihadiri lima ketua RT dan perusahaan. Lalu, 23 Juli 2012 Imran menerbitkan surat tentang rekomendasi pembangunan lahan sawit SAL. Camat Gaung memberikan rekomendasi 30 Juli 2012. Kepala Dinas Kehutanan memberi pertimbangan tekhnis 31 Mei 2012. B2MPD mengurangi luasa SAL dari 20.000 hektar menjadi 17.059 hektar.
Yuspik Kepala B2MPD atas nama Bupati Inhil, pada 1 Agustus 2012, menerbitkan pemberian izin lokasi perusahaan untuk perkebunan sawit di Kecamatan Gaung. SAL juga wajib mengajukan pelepasan kawasan hutan ke Kementerian Kehutanan.
SAL mengajukan surat kepada Kementerian Kehutanan pada November 2012, tentang laporan identifikasi lahan areal SAL. Balasan Direktur Jenderal Planologi 17 Desember 2012, bahwa hasil telaahan SAL masuk PIPIB revisi III pada lahan gambut dengan fungsi HPK dan APL. Anehnya, hasil identifikasi tim Balai Besar dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian menyebut areal SAL merupakan tanah mineral berdasarkan klasifikasi menurut soil taxnomy. Faktanya, lahan itu gambut dalam!
SAL kembali sosialisasi dengan warga Pungkat pada 23 Mei 2013. Ratusan warga menolak. Namun, 13 November 2013, BP2MPD Inhil menerbitkan izin usaha perkebunan perusahaan ini.
Imran Awang mengatakan, penduduk Pungkat 3.000-an tersebar di empat dusun dengan mayoritas mata pencarian sebagai pertukangan kapal. Kepala desa pun punya usaha galangan perkapalan. Ia ada persis di samping rumah.
Perusahaan pertemuan di Kantor Desa Pungkat dihadiri Camat Gaung, Danramil Gaung, Kapolsek Gaung, kepala desa dan warga, pada 14 April 2014. “Masyarakat tetap menolak SAL.”
Sepanjang April 2014, ratusan warga Pungkat mengadu ke bupati, DPRD dan Dandramil. Hasilnya, ketiga lembaga ini memenuhi tuntutan warga agar SAL menghentikan kegiatan sementara waktu.
Thomas Bin Ridwan Taufik, Humas SAL Regional Inhil mengaku menerima surat Saripek, Kepala Badan Perizinan Penanaman Modal dan Promosi Inhil pada 22 Mei 2014. Isinya, mengimbau perusahaan menghentikan sementara kegiatan di Pungkat. “SAL belum aktivitas di Pungkat,” kata Thomas, saat menjadi saksi untuk Efendi.
SAL, katanya, baru melakukan usaha di Desa Lahang Hulu dan Desa Belantaraya. “Artinya imbauan itu hanya untuk Desa Pungkat, tidak untuk desa lain dalam izin lokasi perusahaan.”
Namun, Asmar dan Zaki mengklaim bahwa Parit 9 dan 10—yang sudah ditebangi dan lokasi pembakaran alat berat perusahaan–masuk Desa Pungkat, bukan Desa Belantaraya.
Menurut Imran, parit 9 dan 10 masuk Desa Belantaraya berdasarkan SK Pengesahan 23 desa persiapan dalam Kabupaten Inhil yang diterbitkan Gubernur Riau 1998. “Tetapi tapal batas hingga kini belum ditetapkan.”
Susi Hartati staf Kepala Desa Pungkat, mengatakan, Parit Karnai (Parit 9 dan 10) masuk Pungkat. Memang, hingga kini batas antara Desa Belantaraya dan Pungkat belum ada penetapan tapal batas pemerintah.
Pada 6 Juni 2014, ratusan warga melihat SAL membabat hutan Desa Pungkat dan memasang patok merah pada perkebunan masyarakat. “Itulah membuat warga marah,” kata Zaki dan Asmar.
Bolak-balik warga Pungkat melarang SAL menebang hutan desa tetapi tak dihiraukan SAL. Pada 17 Juni 2014, sekitar 400 warga Pungkat menggunakan perahu kecil menyusuri sungai rawa mendatangi Parit 9 dan Parit 10, lantas membakar sembilan eksavator, dua pondokan kayu dan satu mesin genset.
“Serangan” polisi
Enambelas Agustus 2014. Di parit tampak bekas tapak ban beko atau alat berat. Sekitar tiga hektar hutan ditebang SAL. Di Parit 10, ada empat alat berat bekas terbakar teronggok. Dua pondokan rumah hangus, rata dengan tanah, dan satu mesin las.
Beberapa perempuan menceritakan, masa kelam kala penangkapan sanak keluarga mereka. “Kata polisi suami saya hanya dimintai keterangan, sampai saat ini belum balik ke rumah,” kata Kasmawati, honorer SD di Desa Pungkat.
Dia mengatakan, tiap malam sang anak bernama Fira, enam tahun, menanyakan bapaknya. “Setiap mau makan, tidur, dia tanya bapak. Saya tak mau anak saya tahu bapaknya di penjara. Karena Fira merasa orang yang dibawa polisi adalah penjahat. Saya tidak mau Fira menganggap bapaknya penjahat.” Kasmawati mengucurkan air mata.
“Kalau suami saya ditangkap. Saya juga mau ikut. Tak semangat lagi hidup tanpa suami. Biasa saya masak ada suami, lalu kami makan bersama dengan anak-anak,” kata Nursiah. Dia punya dua anak.
Mereka menjelaskan kronologi saat itu. Rabu (6/8/14), sekitar pukul 06.00, sekitar 200 polisi dari Polres Inhil memarkir speedboat di Desa Pungkat. Bersenjata laras panjang, memakai helm, pentungan dan perisai, polisi itu menapak kaki desa.
Seorang polisi menerima telepon warga. Polisi bergegas menuju lapangan bola. Ratusan warga berkumpul di sana. Di tengah lapangan itu, satu persatu warga ditangkap setelah salah seorang polisi membacakan daftar nama-nama dari ponsel.
Bila nama-nama dalam daftar tak ditemukan, polisi langsung mendatangi rumah. Menggeledah, masuk paksa, merusak rumah bahkan menodongkan senjata ke muka warga.
Ermawati mengatakan, waktu polisi mencari suaminya, mereka sedang di kebun. Anaknya mengirim pesan singkat berisi polisi mencari bapak, naik ke rumah sampai dalam kamar tidur. Polisi bawa senjata. “Anak saya yang kecil Nurfadila (6,5 tahun) lihat polisi bawa senjata naik ke rumah. Dia ketakutan. Dia takut polisi, katanya tak pernah lihat polisi sebanyak itu.”
Rubiah, melihat suami ditangkap dari jauh. Dia mendekat dan memegang kaki sang suami yang sudah dipegang polisi. Rubiah menangis lantas pingsan. “Kalo suami saya ditangkap, siapa beri kami makan? Kami tak punya apa-apa,” kata perempuan 35 tahun. Mereka punya tiga anak perempuan.
Humaisarah, bersama suami Bustari, menceritakan, polisi masuk ke rumah mereka. Waktu itu mereka mengungsi karena ketakutan. “Polisi paksa masuk. Dobrak pintu kamar kami. Bekas rusak pintu sudah diperbaiki suruhan kades, katanya disuruh polisi.”
“Tak ada polisi minta maaf pada kami. Barang hilang alat pertukangan bor, ketam, kikir, parang di dalam kamar. Hanya parang dikembalikan.”
Asmar mengatakan, ada 30 warga Desa Pungkat yang ikut saat pembakaran belum pulang ke desa sejak peristiwa.
Menurut Mayasusanti, warga Pungkat, polisi mengetuk pintu rumah saat dia dan anak tidur. “Pas saya buka pintu, tiga polisi langsung menodongkan senjata ke muka dan kaki saya.” Polisi langsung masuk rumah memakai sepatu, masuk ke kamar dan dapur. “Kalau sampai besok pagi tak ada kabar dari suami ibu, terpaksa ibu saya bawa sebagai ganti. Susu anak ibu saya belikan.”
Polisi menginap di Desa Pungkat. Mereka terus memburu tersangka yang kabur. Polisi keluar dari Desa Pungkat Sabtu (9/8/14).
Suasana kampung sepi dan mencekam. Warga ketakutan melihat polisi hilir mudik di depan rumah sambil membawa senjata.
Warga trauma. Aksi polisi merusak, menggeledah rumah hingga menodongkan senjata menyebabkan dua warga mengalami gangguan jiwa. NH, perempuan, 18 tahun tak bisa mengenali kedua orangtuanya dan kerap berteriak dari dalam rumah. SH, lelaki 27 tahun, hanya mengurung diri di kamar.
Akhirnya, polisi menetapkan 21 tersangka, yaitu Amronsyah, Zumarli, Ari Susanto, Dedi, Pauwadi, Wardan Ibrahim, Arisman Dianto, Usman, Samsuri, dan Muhammad Aini. Lalu, Hamdalis, Ahmad Zunaidi, Rasidi, Mistar, Yusrizal, Sahrun, Zol Azmi, Amril, Anasri, M Idris dan Efendi. Pada 15 Oktober 2014, mereka didakwa membakar alat berat. Pada Desember 2014, memvonis mereka enam bulan penjara.
Hasil analisa Walhi Riau dan Jikalahari menemukan, saat mengambil titik GPS di tempat kejadian perkara pembakaran alat berat, menemukan penebangan hutan dan lokasi alat berat SAL di luar izin lokasi seluas 17.095 hektar.
“SAL belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan tetapi sudah menebang kayu hutan di Parit 9 dan 10,” kata Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau.
Tak hanya itu. Ada beberapa temuan lain. Pertama, izin lokasi SAL pada 2012 tentang pemberian izin lokasi untuk perkebunan sawit di Kecamatan Gaung, Inhil. Ini terasa janggal. Awalnya, lokasi di Kecamatan Tempuling, lantas menjadi Kecamatan Gaung, saat warga mengadukan ke DPRD Inhil.
Kedua, areal seluas 17.095 hektar milik SAL di lahan gambut dan hutan alam. Pemberian izin ini bertentangan dengan Inpres Moratorium. Lokasi ini masuk revisi PIPIB I-VI.
Ketiga, areal SAL seluas 17.095 hektar juga tumpang tindih dengan dua perusahaan HTI, PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa dan PT Bina Keluarga. Mutiara, pemasok kayu APP, grup Sinarmas.
Bagaimana tindakan pemerintah atas pembukaan lahan di gambut teranyar oleh SAL ini? Akhir Mei 2015, Sony Pratono, kala itu masih Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, pada pertengahan Mei 2015, KHLK sudah menurunkan tim SPORC KSDA Riau ke konsesi SAL, ke Pungkat.
Tim, katanya, menemukan pembukaan lahan buat sawit di gambut. Sebagian sudah ditanami sebagian belum. “Operasi legal karena ada izin Pemerintah Indragiri Hilir. Status lahan hutan produksi konservsi. Masalahnya, mereka beroperasi di gambut. Sekarang sudah dihentikan dan proses lebih lanjut,” kata Sony.