Tak biasanya barisan blokade polisi berjaga di setiap pintu masuk kawasan Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat. Tidak sembarangan orang bisa memasuki area tersebut. Dari mulai pagi buta sampai embun pagi hilang pengamanan masih tetap berlaku.
Warga masyarakat menyemut dan berkumpul seantero wilayah dekat kawasan waduk. Mereka mengajak sanak sodara dan membawa bekal nasi bersama temannya yang dibungkus dengan rapih, seperti sedang mengikuti piknik yang bisa bikin hidup asyik. Adapula warga yang masih melakukan aksi pembatalan penggenangan waduk. Namun, tak berlangsung lama karena jumlah massa tak sebanding dengan banyaknya aparat dari TNI, Polri dan Satpol PP.
Rupanya Senin (31/08/2015) itu adalah hari pertama peresmian penggenangan air yang sudah sering meleset dari jadwal yang ditentukan. Banyak poster yang bertuliskan “Selamat datang Presiden Jokowi” bertebaran sepanjang jalan menuju pintu air Waduk Jatigede.
Sayang, Presiden tak hadir hanya di hadiri Aher, sapaan Gubernur Jabar Ahmad Heriawan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Eki Setiawan, Wabup Sumedang. Dalam acara seremonial itu, kerumunan manusia mengalahkan banyaknya air yang akan menggenangi kawasan tersebut. Pasukan pengamanan terus disiagakan untuk kelancaran acara yang dibuka tepat pukul 10.00 WIB.
“Pembebasan lahan secara tuntas sudah diputus, yang sudah sepakat pun pemerintah sudah sangat berbuat baik lebih banyak lagi. Karena sesungguhnya sebagian masyarakat itu sudah tidak mempunyai hak apa – apa lagi, karena mereka sudah dibeli tuntas oleh pemerintah saat tahun 2000. Tapi setalah beberapa lama masyarakat mengaku masih sulit mencari tempat tinggal baru, pemerintah kasih lagi santunan per orang Rp29 juta. Kalau masyarakat bisa merencanakan dengan baik, ketika ada uang penggantian pasti mereka sudah membeli lahan ditempat lain,” kata Aher dalam pidatonya sebelum melakukan penekanan tombol tanda mulainya penggenangan.
Cerita Rohanah
Mentari mulai menampakan wujudnya dari timur kota tahu, Sumedang, Senin (01/09/15). Kali ini sinarnya lebih menghangatkan suasana hati pribumi kawasan Jatigede yang nantinya akan menjadi waduk terbesar kedua di Indonesia setelah Waduk Jatiluhur, Purwakarta. Namun, tak begitu dengan Rohanah (57) warga Desa Cipaku, Cisitu, Sumedang. Perempuan yang mamasuki usia senja mengaku sudah pasrah dan letih, terlihat dari rambut yang memutih serta kulit keriput yang tidak bisa ia tutupi.
Setiap hari ia membuka warung sederhana, menjajakan barang pokok serta masakan khas sunda yang disajikan di depan rumahnya. Para pelanggannya kini berkurang drastis yang takala Jatigede sudah mulai digenangi. Padahal menurut pengakuanya ketika pagi datang tetangga selalu berkumpul berbelanja keperluan dapur disambung dengan bercengkerama ramah ala tetangga dan telah menjadi pemandangan yang khas dari masyarakat pedesaan. Tetapi kini, satu persatu dari warga di Kampung Cipaku kian sepi ditinggalkan penghuni dusun.
Ingatan masih belum hilang dari benak Rohanah yang lahir tahun 1958 silam. Ia membawa kami mamasuki lorong waktu lewat untaian kata yang keluar dari mulutnya meskipun giginya tak secantik saat gadis dulu. Ia tak menyangka akan terjadi seperti sekarang ini, raut mukanya seketika menyimpul menandakan kesedihan mendalam di hati.
“Grubug.. jeglug.. jeglug..,” suara mobil ranger polisi melawati jalanan berbatu persis di depan rumah Rohanah, kami menanyakan kepadanya, (manarik nafas) “Itu mobil yang mengerikan bagi saya, mobil itu membawa perabotan warga agar segera pindah dari sini,” katanya pelan.
Suasana pun kembali hening, dan tak ada orang yang singgah ke warungnya lagi hanya ada orang yang lalu – lalang menggunakan sepeda motor saja. Ketika kami menanyakan rencana pindah rumah, ia mengatakan Cipaku bukan hanya sekedar kampung baginya, tetapi Cipaku merupakan tempat kelahiran orang tua dan leluhurnya.
Dengan mata yang mulai berkaca – kaca ia melanjutkan, untuk pindah pun ia masih belum tahu kemana dan akan menetap dimana, uang konpensai tunggul orang tuanya (ganti rugi pada tahun 1984) sebesar Rp. 122juta pun belum diproses oleh pengadilan dan untuk biaya pindah dari pemerintah sebesar Rp. 29 juta per kartu keluarga (KK) pun belum juga ada digenggamannya. Rohinah adalah salah satu dari warga Cipaku dari jumlah 1200 KK yang belum terselesaikan sejumlah 700 KK.
Sekolah Tenggelam
Ganti rugi yang belum terselesaikan antara lain bangunan 22 SD, 3 SLTP, 40 mesjid, 45 mushola dan 33 posyandu. 26 desa dari 4 kecamatan di kabupaten Sumedang yang akan tenggelam dan belum jelas konpensasinya, dua diantaranya di desa Cipaku yaitu SDN Cipaku dan SDN Sadang.
Tisah Nursaidah (55) seorang guru yang sudah mengabdikan seluruh hidupnya dengan mengajar di SDN Sadang selama 32 tahun. Pengabdiannya sebagai guru justru terganjal perencanaan pembangunan yang sudah lama dirancang pada tahun 1964 oleh pemerintah. Nasib Tisah sama dengan 5 PNS dan 3 tenaga pengajar pembantu yang mengabdikan hidupnya untuk mendidik anak – anak yang akan menjadi penerus bangsa tersebut.
“Cangkul – cangkul yang dalam menanam jagung di kebun kita,” petikan lirik lagu menanam jagung karya Bu Sud itu terdengar menggema di SDN Sadang yang berjarak 300 meter dari aliran sungai Cimanuk yang kami temui Selasa ,(02/09/15). Terdapat 96 siswa yang masih bersekolah disana ,dengan wajah lugu dan polos tak tahu apa – apa. Mereka hanya tahu soal uang jajan untuk berangkat ke sekolah kemudian belajar dan bermain sampai bahagia itu menjadi rutinitas mereka.
Kami mengintip dari balik jendela , memposisikan diri hanya sebagai penonton saja. Terlihat tindak – tanduk mereka seakan tak miliki beban berarti, padahal mereka adalah korban dari pembangunan yang suatu saat nanti diharapkan akan memberi manfaat untuk orang banyak.
Tisah tak kuasa menahan harunya, dari balik kaca matanya dengan sigap tanganya mengambil tisu dalam saku seakan sudah disiapkannya jauh – jauh sebelumnya. Ia menuturkan untuk relokasi SD saja pemerintah tidak menyediakan tempat relokasi. Adapun berkas dan aset sekolah akan di serahkan kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kab. Sumedang. Ia dan sebagian warga yang belum memiliki rumah baru terpaksa masih menetap di desa Cipaku.
“Anak-anak masih seperti biasa berangkat ke sekolah setiap pagi, belajar mengajar pun masih seperti biasa. Cuma, ada yang membuat gelisah kami para guru dan murid semenjak Jatigede diresmikan,” keluhnya
Setiap hari semua murid SDN di Desa Cipaku harus merasakan rasanya kehilangan sahabat yang telah menggoreskan kenagan indah bersama, lalu pergi dibawa orang tuanya ke tempat lain yang lebih nyaman untuk melanjutkan hidup. Hidup memang sebuah pilihan, kami harap mereka memilih benar. Memilih untuk terus bersekolah meski bukan di tanah kelahiran mereka, tanah sejarah kejayaan Sumedang larang.
Keluhan Petani
Sudah hampir 4 bulan para petani di desa Cipaku menganggur. Akhir- akhir ini petani tidak pergi ke sawah seperti yang dilakukan petani pada umumnya. Wahya (55) pria paruh baya yang berprofesi sebagai petani membenarkan hal tersebut. Para petani lebih disibukkan dengan rutinitas mengurusi urusan ganti rugi yang tak kunjung usai sampai saat ini. Padahal pihak pengelola Jatigede sudah melakukan initial inpounding (pengisian awal) mulai Senin, (31/08/15).
Menurut Wahya, uang ganti rugi belum digenggamannya sementara pemeritah buru – buru dalam peresmian waduk. Ia merasa kecewa kepada pemangku kebijakan yang tidak meninjau langsung ke lapangan. “Lihatlah dan dengarlah keluh kesah kami sebagai petani,” katanya dengan nada rendah sambil bersidekap.
Wahya memiliki sawah garapan seluas 300 bata atau 300 dikali 14 meter persegi dengan penghasilan panen sekitar 1,7 ton gabah padi dalam sekali panen. Ia menjelaskan siklus panen di Desa Cipaku terbilang subur yaitu 3x setahun, dengan harga jual gabah berkisar Rp3.700 per kilogram. Belum ditambah komuditi tanaman seperti palawija dan tembakau yang tumbuh subur dengan kualitas baik dan menjadi andalan petani setempat. Pasokan air dari aliran sungai mencukupi untuk mengairi ladang perkebunan dan pesawahan.
Hembusan angin kala itu terasa panas karena tak ada yang hijau disana, sejauh mata memandang hanya hamparan rumput – rumput liar dan ilalang serta kondisi tanah nampak kering seperti merindukan basahnya air hujan. Tak ada kupu – kupu yang terbang bersama angin hanya ada kawanan belalang yang balapan loncat menghindari terik matahari yang sedang galak – galaknya.
Kami berteduh di saung milik Wahya yang berjarak 100 meter dari jalan raya Desa Cipaku. Ia menuturkan akan pindah ke daerah kelahiran istrinya di Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang. Penghidupanya berasal dari tanah dan juga mengandalkan hasil tanah, ia kebingungan jika harus pindah kesana ke daerah yang baru. Pasalnya sawah yang puluhan tahun ia garap adalah tanah milik Perhutani. Ia masih belum tahu mengenai masa depan setelah pindah di kampung barunya mengingat dana santunan pindah dari pemerintah tidak bisa digunakan untuk membeli lahan baru yang nantinya ia garap kembali.
Harga tanah yang semakin mahal menyulitkannya untuk memperoleh lahan, hal yang penting baginya adalah tempat berteduh untuk keluarga. Dalam bahasa sunda ia menyampaikan , “ Bapak mah hirup tina hasil tani oge atos cekap tur bagja jeng saderhana, nu penting mah barudak luhur sakolana sing jadi jelma anu sukses tur bener. (Bapak hidup dari hasil menjadi petani juga sudah cukup tercukupi walaupun sederhana, yang terpenting anak – anak bisa bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan jadi manusia bermartabat dan sukses),” katanya.
Amdal Waduk
Sementara itu, Direktur WALHI Jawa Barat, Dadan Ramdan berpendapat mekanisme pembuatan Amdal belum mengikuti dokumen kajian lingkungan hidup strategis yang memuat lima aspek sesuai dengan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kelima aspek tersebut adalah daya dukung dan daya tampung baik setempat maupun secara kawasan wilayah, kerentangan dan dampak perubahan iklim, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam yang terkena dampak pebangunan daerah sekitar, kerusakanan ekosistem dan potensi rusaknya keaneka ragaman hayati.
“Kami melihat dari lima aspek itu tidak semua ada pada dokumen dokumen perencanaan pembangunan dari Waduk Jatigede. Ini bukan soal AMDAL lagi tapi sudah menyangkut bentang alam yang melintasi desa, sungai, lintas ekosistem berupa hamparan kecamatan bahkan kabupaten” katanya .
Ia juga menyanggah apa yang disampiakan pemerintah terkait dampak positif dari waduk Jatigede yaitu 90 ribu Hektar akan teririgasi, namun sebaliknya akan terjadi hampir 90 hektar lahan pertanian di Majalengka, Cirebon, Kota Cirebon, Indramayu terancam beralih fungsi menjadi industri dan properti.
“Waduk ini akan menghilangkan 1389 hektar kawasan hutan lindung dan produksi” katanya. Dadan juga meminta agar janji 10 megawatt listrik dan sejuta air kubik untuk irigasi agar diuji publik.
Sedangkan dalam peresmian waduk, Menteri PU, Basuki Haldimuljono mengatakan berkomitmen menyelesaikan semua masalah yang masih tertinggal. Dipredisikan butuh waktu 220 hari untuk bisa menenggelamkan semuanya. Namun menurut pihak pengelola, dalam kurun waktu 55 hari sudah bisa digunakan untuk irigasi dengan kawasan terdekat terlebih dahulu. Ketinggian air per hari di pintu air mencapai 20 – 25 meter.
Pembangunan Waduk Jatigede diprioritaskan untuk irigasi seluas 90 ribu hektar yang berada di hulu bendungan Jatigede dengan daerah irigasi rentang, mencakup wilayah Kabupaten Majalengka, Cirebon, Cirebon Kota dan Indramayu, dan sebagian Sumedang.
Membangun dan dibangun adalah sebuah cara pemerintah memecahkan masalah seperti meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Salah satu tujuan pemerintah yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu meningkatkan kesejahteraan umum. Akan selalu ada yang dikorbankan adalah proses perubahan. Semoga pemerintah tidak hanya memikirkan tentang keuntungan oriented tetapi memikirkan juga kesejahteraan rakyat dan bertanggung jawab terhadap alam ibu pertiwi.