,

Terkait Pembunuhan Petani Tolak Tambang, Pemprov Jatim akan Evaluasi Seluruh IUP di Lumajang

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Timur menegaskan tidak ada yang salah dalam usaha pertambangan pasir besi di wilayah pantai selatan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Kepala Dinas ESDM Jawa Timur, Dewi Putriatni mengatakan, usaha pertambangan pasir besi yang dilakukan PT. Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS), tidak menyalahi aturan yang dikeluarkan Bupati Lumajang serta penetapan oleh Menteri ESDM pada Februari 2014. Karena, peruntukannya memang untuk pertambangan. “Lumajang sudah menetapkan pantai selatan sebagai wilayah usaha pertambangan mineral logam. Tidak ada yang salah dalam tata ruang,” jelasnya di Surabaya, Rabu (30/9/15).

PT. IMMS sendiri mengantongi izin penambangan pasir besi yang berlaku sejak 8 Agustus 2012 hingga 8 Agustus 2022, dengan nomor izin usaha pertambangan (IUP) PP: 188.45/247/427.12/2012. Namun, sejak 13 Juni 2014, PT. IMMS tidak lagi melakukan penambangan, karena perusahaan itu tidak memiliki smelter untuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang. Ketentuan ini sesuai Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 102 dan pasal 103. “Menjadi salah kalau ada pihak lain yang melakukan penambangan di wilayah itu, karena IUP-nya milik PT. IMMS.”

Persoalan penambangan pasir besi ilegal inilah menjadi pemicu pembunuhan Salim Kancil, tokoh masyarakat yang menolak adanya penambangan pasir besi di wilayah Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, yang menolak kegiatan merusak lingkungan tersebut.

Menurut Dewi, Dinas ESDM bersama Pemerintah Kabupaten Lumajang telah menerjunkan tim untuk melihat fakta di lapangan, terkait kemungkinan adanya pelanggaran yang dilakukan perusahaan pemegang izin. “Kami sedang mendalami kasus ini. Secara khusus, kami juga akan melakukan evaluasi izin penambangan di Lumajang serta seluruh kabupaten-kota di Jawa Timur.”

Terkait penambangan liar yang dilakukan oleh warga, Dewi memastikan kegiatan itu adalah ilegal. “Namun sulit dideteksi karena mereka datang dan pergi meski Satpol PP telah merazia berkali,” tuturnya.

Sumber: Facebook Walhi
Sumber: Facebook Walhi

Potensi terulang

Pembunuhan Salim Kancil, yang merupakan aktivis lingkungan, terjadi pada 26 September 2015. Peristiwa itu berawal dari penolakan warga terhadap penambangan pasir besi yang berkedok pariwisata sejak Januari 2015.

Warga yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-awar, telah menyampaikan penolakan kegiatan penambangan pasir kepada aparat desa hingga Bupati Lumajang. Namun, tidak pernah ada tanggapan dari pemerintah daerah. Bahkan ketika warga mendapat ancaman pembunuhan dari sekelompok preman, aparat Kepolisian Lumajang tidak juga memberikan respon.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Ony Mahardika, menyebut, pembunuhan terhadap Salim Kancil dan penganiayaan terhadap Tosan, bukan tindakan kriminal biasa. Ony menganggap ada pihak-pihak lain yang ikut berperan atas terjadinya peristiwa ini. “Ini pembunuhan berencana yang dipicu oleh penolakan warga, karena sebelumnya ada ancaman.”

Walhi Jawa Timur menduga ada keterlibatan oknum aparat desa, terkait upaya menjadikan kawasan itu sebagai lokasi tambang liar dengan kedok kawasan wisata. Pembiaran ancaman dan pembunuhan yang dilakukan preman kepada warga, memperkuat dugaan keterlibatan aparat desa dalam kasus ini. “Waktu ancaman terjadi, warga sudah melaporkan kepada kepala desa dan polisi, tapi tidak ada tanggapan.”

Ony meminta Mabes Polri mengambil alih kasus ini, serta meminta LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) memberikan perlindungan kepada warga serta keluarganya yang menolak aktivitas penambangan. Selain itu Komnas HAM juga turun untuk menyelidiki kasus ini. “Sebanyak 12 warga desa mendapat ancaman pembunuhan. Salim Kancil tewas setelah mendapat siksaan, sedangkan Tosan kritis.”

Menurut Ony, kejadian ini berpotensi terulang di Lumajang karena penambangan pasir telah menimbulkan keresahan dan penolakan di berbagai tempat seperti di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun hingga Desa Pandanarum dan Pandanwangi, Kecamatan Tempeh. “Pemerintah harus menghentikan dan menutup penambangan itu.”

Walhi Jawa Timur juga mempertanyakan dugaan keterlibatan Perhutani terkait alih fungsi lahan, karena wilayah konflik sebenarnya ada di wilayah Perhutani. Selain itu, salah satu pelaku yang berhasil ditangkap merupakan Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan yang merupakan lembaga binaan Perhutani. “Kami akan pertajam, ada skenario besar apa sebenarnya di sana,” tandas Ony.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,