Bisa jadi, Anda belum pernah mendengar nama ikan buntingi paruh-bebek dan udang kardinal matano. Sebab, kedua jenis satwa air tawar ini memang hanya hidup di satu danau saja. Dimanakah?
Buntingi paruh-bebek hanya ada di Danau Poso, Sulawesi Tengah, sementara udang kardinal matano hanya hidup (endemis) di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Tidak ada di tempat lain di dunia ini kecuali di tempat tersebut.
Kedua tempat ini memang surganya biota air tawar endemis dunia. Danau Poso, misalnya, terdapat 16 jenis ikan, udang, serta moluska air tawar endemis. Selain buntingi paruh-bebek (Adrianichthys kruyti), ada juga bungu poso (Weberogobius amadi) dan buntingi popta (Xenopoecilus poptae). Sayang, ketiga jenis ikan unik ini statusnya Kritis. Artinya, jika habitatnya di Danau Poso rusak maka ketiganya akan punah dari muka bumi. Atau, selangkah lagi benar-benar hilang.
Demikian juga Danau Matano yang merupakan bagian dari Kompleks Danau Malili. Kompleks Malili ini terdiri dari lima danau yang saling terhubung satu sama lain. Tiga danau utamanya adalah Matano, Mahalona, dan Towuti yang satu sama lain saling terhubung.
Danau-danau ini terletak pada ketinggian yang berbeda, sehingga air dari Matano mengalir ke Mahalona dan dari Mahalona mengalir ke Towuti. Selanjutnya air dari Towuti mengalir ke Sungai Larona dan Sungai Malili yang berujung di Teluk Bone.
Uniknya, meski danau-danau tersebut saling terhubung, namun satwa yang hidup di tiap danau justru berbeda. “Bahkan, banyak di antaranya yang merupakan jenis endemis satu lokasi,” ujar Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia, di Bogor, belum lama ini.
Ikan padi (ricefish) Oryzias matanensis, misalnya, endemis Danau Matano. Kerabatnya, O. profundicola hanya hidup di Danau Towuti, sementara O. hadiatyae endemis Danau Masapi—salah satu danau kecil di Kompleks Malili.
Dengan tingginya tingkat endemisitas di Kompleks Malili, beragam spesies baru pun terus ditemukan para ilmuwan. Pada 2006, Kristina Zitzler dari Museum of Natural History, Berlin, Jerman, menemukan jenis udang air tawar Caridina spongicola di Danau Towuti.
Bahkan, masih ada sejumlah spesies udang air tawar endemis di Kompleks Malili yang belum diberi nama dan ditelaah secara ilmiah. “Padahal, beberapa jenis udang endemis Malili tersebut sudah melanglang jagat sebagai udang hias yang diburu para penggemar akuarium tawar. Akibatnya, jenis-jenis endemis tersebut terancam punah jika tidak dikelola secara lestari,” ujar Adi Widyanto, Regional Implementation Team Leader Dana Kemitraan Ekosistem Kritis (CEPF) Wallacea dari Burung Indonesia.
Selain perburuan untuk hobi, keragaman hayati di Kompleks Malili juga menghadapi sejumlah ancaman lain. Salah satunya oleh program pelepasan ikan air tawar introduksi seperti nila, louhan dan sapu-sapu yang ternyata justru menjadi pemangsa atau kompetitor yang mengancam kelestarian jenis hayati lokal Malili.
Menurut Adi, bukan tanpa alasan bila Dana Kemitraan Ekosistem Kritis menjadikan Danau Poso dan Kompleks Danau Malili sebagai salah satu area prioritas pendanaan untuk pelestarian keragaman hayati. Upaya konservasi spesies dan ekosistem secara menyeluruh harus dilakukan untuk menyelamatkan kawasan penting seperti Poso dan Malili ini.
Adi menuturkan, November 2015 ini, Burung Indonesia selaku tim pelaksana regional CEPF membuka proposal pengajuan hibah kecil dari organisasi masyarakat sipil lokal maupun nasional untuk upaya konservasi di area ini. “Program ini diharapkan dapat menggerakkan masyarakat untuk melestarikan keragaman hayati terancam punah di Wallacea.”
Wilayah kaya
Wallacea merupakan kawasan di Indonesia timur yang mencakup kepulauan Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara—termasuk Timor-Leste. Kawasan ini termasuk salah satu pusat keragaman hayati dunia.
Sulawesi sendiri tercatat sebagai daerah dalam kawasan Wallacea yang kaya akan keragaman faunanya. Ada anoa (Bubalus Spp.), babirusa (Babyrousa babirussa), dan maleo senkawor (Macrochepalon maleo).
Ria Saryanthi, ahli keragaman hayati dari Burung Indonesia menuturkan Wallacea memiliki 560 jenis keragaman hayati yang terancam punah dan 391 daerah penting bagi keragaman hayati darat maupun laut.
Berdasarkan data Burung Indonesia, di Wallacea terdapat 307 jenis burung sebaran terbatas yang hanya ada di wilayah ini. Atau sekitar 40 persen dari total 767 jenis burung yang terdata di Wallacea. “Bahkan, sekitar 273 jenis (64%) burung endemis Indonesia hanya ada di Wallacea,” ujarnya.
Wallacea memang dikenal sebagai sepenggal surga di dunia, namun ancaman kepunahannya juga tinggi. Penemuan jenis baru sangat mungkin ditemukan di Wallacea mengingat wilayah ini memiliki spesies khas yang tidak mungkin dilihat di tempat lain. Burung sikatan sulawesi (Sulawesi streaked-flycatcher) yang dinobatkan sebagai jenis baru pada penghujung November 2014 adalah buktinya.