,

Penjual Bayi Orangutan di Facebook Divonis 2 Tahun Penjara

Pengadilan Negeri Langsa, Aceh, Kamis (19/11/2015) memvonis Rahmadani 2 tahun penjara, subsidair 3 bulan, dan denda Rp50 juta, atas kasus perdagangan 3 bayi orangutan sumatera, 2 elang bondol, 1 individu burung kuau raja, dan 1 awetan macan dahan yang ditawarkan melalui jejaring sosial Facebook. Ini adalah kasus perdagangan orangutan pertama di Aceh yang diproses secara hukum.

Rahmadani ditangkap 1 Agustus 2015 oleh Polda Aceh dan BKSDA Aceh di Jalan PDAM Tirta Desa Pondok Kemuning, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa. Pemuda ini telah dipantau oleh LSM Orangutan Information Centre (OIC) dan Centre Orangutan Protection (COP) karena menjual satwa yang dilindungi melalui akun Facebook miliknya. Sejak ditangkap, Rahmadani ditahan di Polda Aceh dan Kejaksaan Negeri Langsa.

Proses persidangan berlangsung empat kali sejak awal Oktober. Persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua Ismail Hidayat, SH bersama hakim anggota Sulaiman M, SH, MH dan Fadhil SH. Vonis hakim sesuai dengan  tuntutan Jaksa Penuntut Umum Zulham Pardamean Pane, SH.

Kepala BKSDA Aceh, Genman Suhefti Hasibuan menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan perdagangan orangutan secara online. Pelaku dijerat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.

Baik terpidana dan jaksa penuntut umum menerima vonis tersebut. “Dengan hukuman 2 tahun dan denda 50 juta ini mudah-mudahan putusan tersebut memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan lingkungan hidup. Termasuk, perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa dilindungi,” kata Genman.

Direktur OIC Panut Hadisiswoyo mengapresiasi kerja Polda Aceh dan BKSDA Aceh atas proses hukum yang pertama kalinya menjerat pedagang orangutan di Aceh itu. “Vonis ini vonis pertama di Aceh. Ini menjadi catatan penting bagi upaya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup di Aceh.”

Namun, Panut tidak puas atas tuntutan jaksa dan putusan hakim yang dianggap tidak menghukum pelaku dengan hukuman maksimal. OIC memantau kasus ini sejak awal. Menurutnya, hukuman terhadap Rahmadani cukup ringan karena pelaku terbukti menjual tiga bayi orangutan dan satwa-satwa dilindungi lainnya. Panut membandingkan kasus penjualan satu individu bayi orangutan di Medan Juli 2015. Pengadilan Negeri Medan menghukum pelaku 2 tahun dan denda 10 juta rupiah.

“Ini membuktikan, kasus perdagangan satwa liar dilindungi tidak dianggap serius oleh pengadilan. Padahal, satwa tersebut aset negara yang nilainya tidak terukur. Negara pun rugi dengan praktik ilegal ini karena satwa-satwa tersebut penting untuk menjaga kelangsungan dan keseimbangan ekosistem alam.”

Barang bukti hasil kejahatan yang disita dari Rahmadani. Tidak hanya bayi orangutan, ada juga burung elang bondol dan kuau raja, serta satu awetan macan dahan yang siap dijual. Foto: Junaidi Hanafiah

Kurang agresif

Sejak awal kasus ini diproses oleh Kejaksaan Negeri Langsa, OIC menilai jaksa tidak begitu agresif menanganinya. Diperlukan waktu 60 hari untuk melengkapi proses dakwaan menjadi P21.

“Polda Aceh sangat intens membawa kasus ini cepat tuntas tapi kejaksaan kurang agresif. Bahkan, hari ke-60 kami ditekan harus mendatangkan barangbukti bayi orangutan ke Kejaksaan Negeri Langsa. Mendadak. Karena jika barang bukti tidak dihadirkan kasus bisa dihentikan. Jaksa juga menanyakan ke tim ahli informatika untuk memastikan apakah halaman Facebook yang memperdagangkan orangutan itu benar milik tersangka. Padahal, bukti-bukti screen shoot sudah dilampirkan.”

Oktober lalu, OIC  berinisiatif menyurati Kejaksaan Agung, meminta kasus ini jangan berhenti di tengah jalan karena ada indikasi meringankan pelaku. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum merespon surat OIC dengan memerintahkan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh mengawal proses hukumnya, karena perkara ini dianggap penting.

Data OIC menunjukkan banyak orangutan sumatera diselundupkan dari Aceh dan dijual ke penampung di Sumatera Utara untuk selanjutkan diperdagangkan ke kota besar Indonesia. Bahkan, hingga ke luar negeri. Dari sekian banyak kasus, baru kali ini kasus perdagangannya bisa dijerat hukum. Rahmadani juga terindikasi sebagai penyuplai satwa yang hendak dijual ke Sumatera Utara.

Hutan Leuser di Aceh merupakan habitat utama orangutan sumatera. Jumlah perdagangannya diduga sangat tinggi meski belum ada angka pastinya. Namun, bisa dilihat dari tingginya jumlah orangutan yang disita dari peliharaan warga yang mencapai 30 individu per tahun.

“Yang memelihara itu kebanyakan orang-orang berpendidikan tinggi seperti oknum polisi, oknum TNI, anggota dewan, staf ahli hukum sebuah kabupaten di Aceh, hingga masyarakat biasa. Mereka membeli dari pemburu,” kata Panut.

Kantong perburuan orangutan sumatera sendiri ada di Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur yang merupakan kabupaten yang masuk dalam kawasan Ekosistem Leuser. Enam puluh persen orangutan yang disita berasal dari Aceh Tenggara. “Ini terkait permainan sindikat yang terorganisir rapi,” papar Panut.

Screen shoot penawaran bayi orangutan yang diunggah Rahmadani melalui media sosial dengan akun Habitat Aceh
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,