Perahu cepat yang dikemudikan Jhon menerabas gelombang Laut Pasifik di pagi yang mendung, akhir November 2015. Jhon cekatan melewati ombak yang menghadang, menuju sebuah pulau yang menjadi tujuan perjalanan kami. Perlahan, pulau itu semakin dekat, semakin terlihat, seolah ingin mencium moncong speed boat.
Tidak berapa lama, suara mesin perahu cepat milik Jhon berhenti menderu, bersamaan dengan semakin jelasnya pulau itu. Garis pantai yang putih dengan gulungan ombaknya menyambut kedatangan kami.
“Selamat datang di Pulau Liki!”
Kalimat itu diucapkan Mama Beci Loisa Morsau, yang mendampingi kami selama perjalanan. Ia mengambil pasir putih, mengusapkannya dengan tangan ke kening saya.
“Ini tandanya kalian sudah ke sini dan menjadi bagian masyarakat di Pulau Liki,” katanya.
Ini adalah Liki, sebuah pulau di Papua yang terletak di perbatasan perairan Indonesia. Liki berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik di utara dan masuk gugusan kepulauan Kumamba yang terdiri tiga pulau: Liki, Armo, dan Kosong.
Pulau Liki berada di Distrik Sarmi, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Menuju pulau ini hanya bisa ditempuh menggunakan perahu cepat atau speed boat dengan membayar Rp 1,5 juta pulang-pergi. Jarak tempuh dari Distrik Sarmi ke Liki sekitar 45 menit.
Luas Liki 1.318,54 hektar atau 13,18 kilometer persegi. Jumlah masyarakatnya hanya 271 jiwa dengan 66 kepala keluarga. Penduduk yang mendiami berasal dari suku besar Sobey. Yang unik, dalam pengaturan kampung, mereka menggunakan istilah RT (Rukun Tetangga) yang pengaturannya berdasar suku yang melekat pada nama marga, seperti Teno, Kiman, Weirau, Esries, dan Morsau.
”Kalau di sini, yang tinggal semuanya Suku Teno. Di sebelahnya Suku Kiman, lalu Weirau, dan seterusnya,” kata Oktafianus Teno, Sekretaris Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) sambil menunjuk rumah penduduk.
Teno adalah sub suku yang menetap di Liki. Disusul Kiman, Weirau, Esries, dan Morsau. Karena Teno yang terbesar, maka Ondowafi atau kepala suku yang memimpin di sini berasal dari Teno.
Siang itu, Oktafianus mengajak kami menemui Ondowafi. Namanya Kalep Teno. Usianya 68 tahun. Rumahnya terbuat dari papan. Menurut Oktafianus, Ondowafi sudah sakit-sakitan. Benar saja, ketika sampai di rumahnya, Ondowafi kesulitan dalam penglihatan sehingga harus dituntun.
Ondowafi bercerita kearifan lokal masyarkat Liki dalam menjaga, memelihara, dan melestarikan sumber daya laut. Menurutnya, wilayah laut yang ada di Liki merupakan hak ulayat perairan laut orang Teno dan masyarakat secara umum. Dalam adat, masyarakat hanya diperbolehkan mengambil karang yang sudah mati jika ingin membangun rumah. Tidak satupun masyarakat yang berani merusak karang, apalagi melakukan ilegal fishing seperti pemboman ikan.
Kearifan lainnya adalah cara pemeliharaan hasil non-ikan, yaitu bia lola (Trocus niloticus). Pola konservasi tradisional tersebut dikenal dengan nama Abonfan Matilon yaitu kegiatan penutupan wilayah laut jangka waktu tertentu terhadap penangkapan bia lola. Tujuannya, memberikan kesempatan biota tersebut untuk berkembang biak.
Penutupan dan pembukaan kembali wilayah penangkapan bia lola dilakukan melalui ritual adat yang dipimpin Ondowafi. Hasil panen bia lola biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, seperti pembangunan gereja dan fasilitas umum lainnya.
Dengan proteksi yang kuat, potensi sumber daya ikan di Pulau Liki melimpah karena terumbu karangnya terjaga baik. Masyarakat tidak susah mendapatkan ikan, meski dengan perahu dan alat pencari ikan sederhana.
Jenis ikan yang ditangkap beraneka, namun yang paling banyak adalah tenggiri, tuna, dan kakap merah. Untuk tenggiri, ia menjadi maskot. Ikan segar ini dijual ke ibukota kabupaten di Distrik Sarmi. Selain itu, dijadikan pula ikan asin yang sebagian besar merupakn oleh-oleh pengunjung.
”Kami biasa menangkap tenggiri 150-200 kilogram per hari atau sekitar 50 ekor per hari. Untuk tuna, kami menangkap 20 ekor dengan berat yang berbeda sementara kakap merah hingga 40 ekor,” ungkap Oktifianus.
Sarana seadanya
Sebagai pulau terdepan, yang dulunya disebut pulau terluar, Liki menjadi perhatian pemerintah pusat di Jakarta. Berbagai fasilitas dibangun, seperti jaringan telekomunikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
”Sayang, semua infrasturktur itu kini tak lagi berfungsi,” kata Jeszy Patiri, pendamping dari Destructive Fishing Watch (DFW) di Liki, sebuah lembaga non- pemerintah yang konsen pada isu perikanan dan kelautan.
PLTS berdaya 30 kwp. Masyarakat bisa menikmati cahaya terang di malam hari hanya 2 bulan, yaitu February dan Maret 2015. April, PLTS rusak dan belum ada perbaikan hingga kini. Padahal, fasilitasnya dibangun dengan biaya mahal.
Sebelum ada listrik, warga di kampung Liki hanya menggunakan pelita sebagai penerangan. Masyarakat membeli genset sekitar 2012 dengan bantuan PNPM Mandiri.
Mesin generator berbahan bakar solar itu dibeli untuk penerangan satu kampung. Untuk mempertahankan mesin beroperasi, mereka sepakat iuran sebesar Rp 100.000. Namun, Juni 2015 generator itu rusak, sehingga masyarakat kembali menggunakan pelita sampai sekarang.
Selain generator, masyarakat juga menerima bantuan dari pemerintah kabupaten berupa lampu solar sel yang di pasang di tiap rumah dan sebagai penerang jalan. Lampu yang diberikan untuk dipasang di rumah berupa tiga bola lampu seperti senter dan dua buah modul surya.
Untuk sarana pendidikan, hanya ada Sekolah Dasar Inpres Liki yang memprihatinkan. Sekolah ini hanya memiliki 4 ruangan, 3 ruang belajar-mengajar dan 1 ruang guru dengan plafon rapuh.
Bagaimana dengan kegiatan ekonomi? Masyarakat hanya sebatas menjual hasil kebun, seperti pinang, sayur-mayur, dan juga buah. Mereka menjual ke pasar dekat pantai. Pasar yang hanya buka pagi hingga menjelang siang. Untuk tangkapan laut mereka langsung membawa ke pasar Distrik Sarmi. Biasanya, masyarakat menggunakan perahu bermesin 15 PK dan speed boat atau perahu cepat 2 mesin yaitu 25 dan 40 PK, sebagai alat transportasi.
Potensi pariwisata
Pulau Liki sangat menjanjikan untuk dikembangkan potensi kelautannya. Gelombang ombaknya cocok untuk surfing atau selancar. Ini didukung garis pantai dengan pasir putih yang halus. Juga terumbu karang yang terjaga. Wisata bawah laut seperti snorkeling dan diving sangat sesuai.
Di depan Pulau Liki, terdapat titik untuk wisata ikan lumba-lumba. Masyarakat setempat paham betul waktu keluar dan bermainnya ikan tersebut, pagi dan siang.
Seperti yang dilakukan Jhon. Ia membawa kami pada spot tempat ikan lumba-lumba bermain. Dari kejauhan, nampak rombongan ikan yang akrab dengan manusia itu bergerombol. Ketika perahu kami mendekat, lumba-lumba itu seolah sadar ada yang mereka melihat, lantas memamerkan atraksinya sembari meloncat. Sensasi melihat langsung atraksi lumba-lumba liar di Samudera Pasifik sungguh mengagumkan.
“Potensi besar dari jasa kelautan ini harus digenjot secara professional agar wilayah perairan di Pulau Liki dan Sarmi yang memiliki daya tarik tersendiri tidak hanya menarik wisatawan. Namun juga, bermanfaat bagi masyarakat sekitar,” kata Rahman Dako, konsultan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk pulau-pulau terluar.