3 Alasan Kenapa Indonesia Harus Dukung Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional tentang Laut Cina Selatan

Pemerintah Indonesia didesak untuk segera menyatakan dukungannya atas putusan Luat Cina Selatan antara Tiongkok dan Filipina yang dikeluarkan The Permanent Court of Arbitrase (PCA) atau Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda. Desakan tersebut diserukan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

Menurut Ketua KNTI Marthin Hadiwinata, dengan menyatakan dukungan, Indonesia memperlihatkan sikap tegas kepada dunia dan sekaligus menegaskan posisi Indonesia kepada Tiongkok atas tindakannya yang tidak mengakui keputusan PCA atas gugatan Filipina.

“Gugatan yang dilayangkan Filipina adalah tentang klaim Tiongkok atas wilayahnya di sekitar Laut Cina Selatan,” ungkap dia, Jumat (15/7/2016).

Marthin menjelaskan, wajibnya Indonesia menyatakan dukungan atas putusan PCA, setidaknya karena saat ini ada tiga alasan yang mendasari di baliknya. Ketiga alasan tersebut, menjadi penting dan penjelas bagi publik kenapa dukungan harus segera dikumandangkan.

Alasan pertama, kata Marthin, karena pernyataan sikap dan dukungan dari Indonesia akan memberikan keuntungan kepada Indonesia terkait dengan sengketa klaim batas-batas wilayah maritim di Laut Cina Selatan. Hal itu, tidak lepas dari sikap sewenang-wenang yang diperlihatkan Tiongkok di wilayah perairan Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau.

“Indonesia telah berulang kali menerima pelanggaran hukum laut internasional oleh Tiongkok dengan tindakan sewenang-wenang memasuki wilayah perairan Indonesia,” tutur dia.

Marthin mengatakan, tindakan kapal perikanan berbendera Tiongkok tanpa izin memasuki wilayah zona ekonomi Indonesia (ZEE) untuk menangkap ikan dan teriindikasi merupakan pelanggaran Illegal Unregulated Unreported(IUU) Fishing, menjelaskan bahwa Tiongkok melanggar batas wilayah Indonesia.

“Karena Tiongkok sudah memasuki perairan Natuna (WPP 711) yang merupakan wilayah hak berdaulat Indonesia,” tambah dia.

Alasan kedua kenapa Indonesia harus menyatakan dukungan, menurut Marthin, karena Tiongkok sebagai pihak yang telah meratifikasi UNCLOS 1982 sejak 7 Juni1992, termasuk pihak yang tunduk pada ketentuan UNCLOS 1982.

Akan tetapi, Marthin menyebutkan, pada kenyataannya, Tiongkok selama ini mengklaim wilayah Laut Cina Selatan dengan Sembilan Garis Putus (Nine Dash Lines) imajiner yang menjadi penanda batas wilayah maritim sebagai zona ekonomi ekslusif China.

Atas klaim tersebut,Tiongkok kemudian melakukan pembangunan pangkalan militer termasuk melakukan pembuatan pulau reklamasi (artificialis land) secara sepihak. Namun, karena ada putusan dari PCA, klaim sepihak dari Tiongkok tersebut otomatis hilang dan itu berdampak kepada negara Anggota ASEAN lain yang berhubungan dengan Tiongkok.

Alasan ketiga yang membuat Indonesia harus memberi dukungan, kata Marthin, tak lain karena dukungan tersebut akan membantu upaya Indonesia untuk menghapuskan IUU Fishing. Sebab selama ini, klaim Tiongkok sebagai negara penghasil produksi perikanan memperlihatkan fakta mencurigakan dimana luas lautnya tidak sebanding dengan sumber daya yang tersimpan.

“Akibatnya angka produksi perikanan sangat tidak jelas kepastian dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu terindikasi permasalahan IUU Fishing tidak hanya terkait dengan dekegiatan penangkapan ikan tetapi terkait dengan kegiatan lainnya seperti pengolahan,” papar dia.

Dengan tiga alasan tersebut, Marthin sangat yakin dunia internasional akan ikut memberikan dukungannya dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan.

Tak Ada Perjanjian dengan Tiongkok

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan bahwa setiap kapal asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia adalah kapal pencuri. Hal itu, karena kapal asing dari negara mana pun saat ini tidak diperbolehkan untuk menangkap ikan di perairan Nusantara.

Pernyataan tersebut diungkapkan Susi merespon tentang isu yang berkembang saat ini di perairan Natuna yang melibatkan Pemerintah Indonesia dan Tiongkok.

Susi menjelaskan, zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) yang ada di seluruh Indonesia, termasuk di perairan Natuna, adalah perairan milik bersama dengan negara lain. Namun, kata dia, perairan ZEEI itu tidak boleh dimanfataakan oleh negara lain untuk perikanan tangkap seperti mencari ikan.

“Kita tidak membeda-bedakan perlakuan antara satu negara dengan negara lain. Selama itu terlibat dalam perikanan tangkap ilegal, ya kita tindak dengan tegas. Kita minta negara lain untuk menghargaai ZEEI,” ucap dia.

Menurut Susi, ZEE dan segala isinya adalah wilayah kedaulatan sebuah negara. Bila pun ada perjanjian apa pun mengenai pengelolaan di ZEEI, kata dia, itu harus ditandatangani kedua negara. Dengaa demikian, jika ada negara yang mengaku bahwa ZEEI adalah traditionalfishing zone mereka, maka itu tidak benar.

“Hingga saat ini, tidak ada perjanjian apapun dengan Tiongkok terkait dengan wilayah penangkapan ikan tradiisional di ZEEI. Itu artinya, kapal dari negara tersebut jika masuk ke ZEEI dan menangkap ikan, ya ilegal mereka,” tutur dia.

Susi menambahkan, kalaupun ada perjanjian dengan negara lain untuk pemanfaatan di ZEEI, hingga saat ini hanya dijalin dengan negeri jiran Malaysia. Perjanjian itu pun hanya sebatas pemanfaatan perairan ZEEI di wilayah perbatasan di Selat Malaka.

“Masyarakat internasional seharusnya paham bahwa aturan laut internasional itu terikat dengan UNCLOS dan hampir seluruh negara sudah melakukan ratiffikasi perjanjian internasional tersebut,” sebut dia.

Berdasarkan perjanjian internasional mengenai laut UNCLOS 1982, semua negara termasuk Indonesia, berhak melakukan penegakan hukum di perairannya termasuk di lokasi ZEEI.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,