Empat band berpengaruh di Baliakan turun ke jalan lagi bersama puluhan ribu warga, Minggu (17/7) akhir pekan ini di Bali. Apa yang membuat superband Superman Is Dead (SID), Navicula, Johny Agung and Double T, serta Suicidal Sinatra bersuara?
Pekan ini, giliran tiga desa adat sekitar Sanur yakni Sanur, Intaran, Penyaringan yang deklarasi secara resmi sikap kolektifnya menolak rencana reklamasi di Teluk Benoa. Hampir tiap pecan ada aksi long march dan deklarasi penolakan desa-desa adat dan komunitas di Bali.
Tenggang izin lokasi rencana reklamasi Teluk Benoa akan berakhir pada tanggal 25 Agustus ini, dan investornya, PT. TWBI telah mengajukan permohonan perpanjangan izin lokasi ke Kementrian Perikanan dan Kelautan (KKP). Sebuah aksi besar akan menyambut putusan Susi Pudjiastuti.
“Aksi Sanur merupakan indikator jika gerakan Bali Tolak Reklamasi (BTR) makin valid dan makin menemukan legitimasi sosialnya di kalangan grass roots,” seru Jerinx, juru bicara SID yang akan manggung setelah lama rehat karena sakit.
Menurut pria asal Kuta ini tidak mudah bagi sebuah desa adat untuk menyatukan suara, diperlukan proses yang panjang. “Paling penting, sikap desa adat tidak bisa dibeli. Kami, sebagai band dan personal yang sejak dulu sering main ke Sanur tentu sangat mendukung deklarasi yang dilandasi kejujuran dan tujuan mulia ini,” ujarnya.
Sebanyak 38 desa adat Bali bergabung dalam Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi Teluk Benoa menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Gerakan masyarakat menolak rencana reklamasi itu tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI).
Sebanyak 13 perwakilan Pasubayan ke Jakarta pada Rabu (13/7) lalu untuk kesekian kalinya menyuarakan penolakan ke sejumlah pimpinan lembaga pemerintahan yang terkait dengan izin dan putusan reklamasi ini. Terakhir mereka bertemu Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi dan Teten Masduki, Kepala Staf Presiden (KSP).
ForBALI secara khusus meminta pihak KKP tak memberikan izin lokasi lagi pasca habisnya masa berlaku izin lokasi pertama. Izin tersebut diberikan berbasis Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) yang disahkan Susilo Bambang Yudhoyono dua bulan sebelum lengser.
Wayan “Gendo” Suardana, Koordinator ForBALI melalui akun media sosialnya menceritakan perjalanan pemimpin desa adat ini ke Jakarta yang melelahkan. Karena masih musim arus balik Lebaran, mereka baru mendapat tiket dari Surabaya. Jadi berangkat via darat dulu dengan bus. Rombongan ini diantaranya Koordinator Pasubayan adalah Bendesa Adat Kuta Wayan Swarsa didampingi Alit, Bendesa Adat Kelan Made Sugita, Bendesa adat Canggu, perwakilan Sanur, Sukawati, Serangan, dan lainnya.
“Saya sendiri sebenarnya letih tapi melihat semangat Para Bendesa, Saya memaksakan diri untuk ikut,” ujar Gendo. Perjalanan nonstop darat, laut, dan udara ini dalam agenda yang ketat di Jakarta.
“Sempat mampir ke warung makan Padang, sembari ganti pakaian. Hampir semua hanya cuci muka dan sikat gigi saja. Tidak ada yang mandi. Rapi sedikit, kami berangkat ke kantor kementerian,” lanjut Gendo.
Berlanjut ke kantor Kepala Staf Kepresidenan. Rombongan ini baru bisa tidur di kantor WALHI nasional pada sore hari.
Wayan Swarsa mengatakan kedatangan Pasubayan ke Jakarta adalah proses mesaduarep atau tatap muka langsung dengan pejabat terkait izin reklamasi. “Kami melihat sinar mata, raut muka, reflek bahasa tubuh mereka. Kami yakin presiden akan buat putusan yang bijaksana,” ujar pria yang selalu optimis ini.
Misalnya Teten Masduki Kepala KSP yang selalu di dekat presiden Jokowi, dinilainya memahami masalah dan ancaman yang dirasakan warga Bali. “Dia memahami jiwa adat Bali dan persoalan ini,” kata Swarsa.
Ia menyampaikan kondisi terakhir di Bali ketika desa Adat yang menolak reklamasi Teluk Benoa semakin membesar. Selain itu, desa adat juga akan mendukung upaya perbaikan Teluk Benoa dengan kewenangannya untuk membuat kebijakan-kebijakan adat yang mendukung pelestarian lingkungan. “Misalnya desa adat Kuta ikut membersihkan muara Tukad Mati agar tak menghambat alirannya ke Teluk Benoa,” tambahnya.
Swarsa memaparkan, ada dua sisi desa adat (pekraman) di Bali yakni sebagai lembaga desa adat dan kumpulan individu yang terdiri dari masyarakat adat. Inilah yang berpotensi jadi people power, jika dalam status quo ini pemerintah tak segera member putusan.
Berbagai argumentasi dan data-data yang dibutuhkan oleh pemerintah telah diserahkan kepada Presiden, Kantor Staf Presiden, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pasubayan Desa Adat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, ForBALI dan WALHI kembali menegaskan bahwa pasca pertemuan ini semakin menguatkan perjuangan masyarakat untuk terus menyuarakan dan memperbesar gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa. Puputan atau habis-habisan akan menjadi pilihan bagi masyarakat adat Bali, jika sikap pemerintah tidak tegas.
Pekan lalu (10/7) aksi besar lainnya dilakukan di Desa Adat Bualu, Nusa Dua. Kawasan resor wisata elit di Bali dan kawasan sekitar teluk Benoa. Dihadiri puluhan ribu massa dari berbagai desa adat berbagai kabupaten di Bali.
Massa mulai bergerak dari tempat berkumpul, yakni Lapangan Lagoon, Nusa Dua pada pukul 14.30 berjalan secara perlahan-lahan dengan membawa panji-panji dan juga meneriakkan yel-yel tolak reklamasi Teluk Benoa, Batalkan Perpres 51 tahun 2014.
Mereka berjalan kaki sekitar 700 meter sambil melakukan orasi. Selain melakukan aksi longmarch, penolakan reklamasi Teluk Benoa dilakukan dengan melakukan pengibaran bendera ForBALI yang berukuran 8 x 6 meter di tengah Teluk Benoa.
Pada saat dilakukan pengibaran bendera di tengah Teluk Benoa, ribuan massa aksi melakukan pemblokiran jalan tol dan menyaksikan pengibaran bendera tolak reklamasi di tengah-tengah teluk benoa dari atas jalan tol.
Bendesa Adat Bulau, I Wayan Wita mengajak masyarakat Bali untuk terus berjuang mempertahankan kawasan suci Teluk Benoa. “Mari kita lanjutkan perjuangan. Kemarin saja air laut sudah naik. Jangan sampai Desa Bualu tenggelam,” tegasnya dari atas mobil komando.
Seorang ahli tata ruang, Prof. Nyoman Gelebet yang sudah uzur juga berorasi. “Teluk Benoa merupakan Teluk yang bertemunya 5 mata air yang kami sebut campuhan Agung. Maka dari itu, Teluk Benoa dilarang untuk disentuh karena merupakan kawasan suci,” ujar pria dosen Fakultas Teknik Universitas Udayana ini.