Beginilah Nasib Masyarakat dan Hutan Adat Talang Mamak (Bagian 2)

Tak hanya Komunitas Anak Talang,  yang mengalami kesulitan dengan kehadiran investasi di sekitar wilayah adat mereka. Perampasan wilayah juga terjadi dalam sub Suku Talang Mamak, lain seperti di Kebatinan Ampang Delapan.

Wilayah adat Ampang Delapan, berada di hulu Batang (sungai) Ekok, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Populasi komunitas ini sekitar 100 orang.

Warga turun menurun terampil mengelola lahan, baik menanam padi, sampai karet. Setiap warga mendapatkan dua hektar atau lebih lahan di Ampang Delapan.

Luasan lahan disesuaikan kemampuan mengelola keluarga adat. Pemberian lahan ini juga lebih diutamakan kepada yang tak bersekolah.

Batin Gunduk mengatakan, 70% masyarakat punya ladang padi. Padi, katanya, salah satu komoditas yang tak boleh diperdagangkan dan sudah berlangsung turun menurun. ”Padi adalah saudara kami. Kami hidup bersama padi,” katanya.

Dalam setahun, mereka hanya panen setahun dan memenuhi tiga lumbung padi. Mereka pernah merasa kekurangan. Itu dulu…Kondisi sekarang telah berubah.

Saat ke lapangan, saya melihat satu lumbung padi yang tak lagi terurus milik Sagap. ”Sudah jarang terisi seperti dahulu….”
Ternyata bukan hanya panen padi yang meredup. Produk lain seperti karet juga mengalami hal sama. Lahan-lahan itu berganti sawit.

Wilayah adat komunitas ini bisa dikatakan berkeliling sawit, terutama milik perusahaan. Lahan adat merekapun menyempit terkena klaim perusahaan hingga terjadi konflik.

Salah satu, PT Selantai Agro Lestari, memasuki Dusun Ampang Delapan, Desa Durian Cacar, Kecamatan Rakit Kulim.

SAL masuk pada 2007, mendapatkan izin dari Bupati Indragiri Hulu (Inhu). Batin Gondoh, Kebatinan Ampang Delapan mengatakan, surat keputusan itu keluar 20 Februari 2007 seluas 1.000-an hektar.  Penetapan lokasi kebun ini didukung masyarakat Desa Selantai, Talang Perigi, dan Talang Durian Cacar.

Akhir 2007, awal 2008, SAL masuk ke Dusun Ampang Delapan. Perusahaan tak memiliki hak guna usaha (HGU) maupun izin pelepasan kawasan hutan. Kasus ini masuk dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM.

Monica Ndoen, tim advokasi AMAN heran dengan aksi perusahaan. Sebab, perusahaan beroperasi tanpa izin prinsip pelepasan, dan ada Surat Keputusan Bersama (SKB) pemerintah daerah dan DPRD soal pengakuan hutan adat Talang Mamak.

 Penanaman sawit baru di jalan menuju Kebatinan Ampang Delapan. Tepatnya, di Durian Cacar. Foto: Lusia Arumingtyas
Penanaman sawit baru di jalan menuju Kebatinan Ampang Delapan. Tepatnya, di Durian Cacar. Foto: Lusia Arumingtyas

Saat itu, Batin Gunduk, belum memimpin kebatinan ini. SAL sudah mendapatkan kesepakatan dari kepala desa.

”Akhirnya kami menggugat SAL pada 2008 karena menyerobot lahan kami. Masyarakat sudah menolak” katanya.

Kebatinan Ampang Delapan, secara administrasi masuk Desa Talang Durian Cacar, hingga perusahaan merasa cukup berkomunikasi dengan pemerintah desa.

”Mereka tak mengakui keberadaan dan aturan adat masyarakat Ampang Delapan,” kata Nurman, aktivis AMAN, warga Anak Talang Batang Cenaku.

Di masyarakatpun terjadi pro kontra hingga muncul oknum-oknum. Mereka ini berperan dalam melobi jual beli tanah. Upaya ini tak berhasil membujuk warga melepas lahan.

Perusahaan tak menyerah. Strategi pola kemitraan dipakai dengan sistem bagi hasil 40:60%. Kebatinan Ampang Delapan, kecolongan. Aksi perusahaan seakan tak terbendung.

Kami berusaha mengkonfirmasi kasus ini kepada Direktur SAL, H.Setiawan. Dia merasa tak beroperasi di kawasan hutan hingga tak perlu izin terkait.

Pria ini menantang, tak segan-segan kalau mau dilaporkan sampai ke pengadilan. Dia bilang, juga menawarkan pola kemitraan kepada warga yang memerlukan uang, berupa pinjaman Rp500.000 perhektar dengan syarat memberikan lahan buat sawit. Utang boleh dilunasi setelah panen.

Setiawan mengatakan, dari 1.000 hektar izin, baru 300 hektar ditanami. Dari 300 hektar, 112 hektar milik masyarakat dengan “pola kemitraan”.

Klaim perusahaan ini ditentang Abu Sanar. AMAN, katanya,  telah mengecek penanaman lebih 300 hektar. ”Sekitar 300 hektar itu hanya di Kebatinan Ampang Delapan.”

 

 

Sungai Tercemar

Batin Gunduk mengatakan, sungai di kampung mereka untuk keperluan sehari-hari, dari mandi, mencuci sampai pengairan pertanian.

Dulu, mereka tak pernah kesulitan air bersih. Musim hujan maupun kemarau, air tetap tersedia. Kini, kondisi berbeda.

Kala kemarau, warga Ampang Delapan, sulit mendapatkan air.

”Sungai Tunu sudah tercemar, terjadi endapan. Kalau hujan datang, mandi gatal-gatal,” kata Sagap, warga Kebatinan Ampang Delapan.

Air tercemar ini, katanya, sudah dilaporkan ke pemerintah daerah, tetapi tak ada tindak lanjut.

Setiawan mengakui, kalau perusahaan tak rutin melaporkan upaya kelola lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL/UPL) kepada pemerintah. Jadi, dia tak tahu baku mutu perairan di Sungai Tunu. Bahkan, dokumen itu hilang ataupun terselip. ”Soalnya kita pindah kantor.” (Habis)

 Sawit milik Komunitas Anak Talang, Talang Mamak, Indragiri Hulu, Riau. Foto: Lusia Arumingtyas
Sawit milik Komunitas Anak Talang, Talang Mamak, Indragiri Hulu, Riau. Foto: Lusia Arumingtyas
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,