Jauh sebelum hadirnya perusahaan perkebunan sawit di wilayah Pedamaran (Pedamaran dan Pedamaran Timur), Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, lahan gambut yang berada di wilayah tersebut dipergunakan secara arif oleh masyarakat. Pedamaran jauh dari peristiwa kebakaran.
Namun, sejak hadirnya puluhan perusahaan HPH dan perkebunan sawit, Pedamaran jadi sorotan dunia karena hampir setiap tahun gambutnya terbakar. Termasuk pada 2015 lalu.
Mengapa lahan gambut sebelum hadirnya perusahaan perkebunan sawit tidak terbakar? Dulu lahan gambut diberlakukan masyarakat secara arif. Pada lahan gambut yang dangkal, yang memiliki batas sungai, dimanfaatkan sebagai persawahan dan sumber purun yang digunakan sebagai bahan baku tikar.
“Sementara pada lahan gambut yang dalam hanya dimanfaatkan untuk mencari ikan atau kayu jika dibutuhkan,” kata Sudarto Marelo, Ketua Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Selatan (Sumsel), saat mendampingi sejumlah jurnalis pada peliputan di Pedamaran yang difasilitasi Yayasan Perspektif Baru (YPB) dan Kemitraan Partnership, awal September 2016 lalu.
Namun, lahan gambut di Pedamaran, baik di Kecamatan Pedamaran dan Pedamaran Timur, yang mencapai 120 ribu hektare, mengalami kerusakan sejak hadirnya sejumlah perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) pada 970-an. “Termasuk pula aktivitas perambahan,” katanya. Kerusakan tersebut mengalami puncaknya saat kebakaran akibat kemarau panjang pada 1997-1998.
Setelah itu, terus hadir perusahaan perkebunan sawit. Kerusakan lahan gambut kian bertambah karena perkebunan tersebut kian menurunkan kualitas lahan gambut. “Ini akibat kanalisasi yang dilakukan, termasuk pula karakter sawit yang memang rakus air sehingga pada musim kemarau lahan gambut cepat kering dan mudah terbakar,” katanya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Kehutanan, tercatat sejumlah puluhan perusahaan perkebunan sawit di Pedamaran. Antara lain PT. Tania Selatan (PIR Trans) dengan luas 4.205,68 hektare, PT. Sampoerna Agro Tbk (3.243,46 hektare), PT. Telaga Hikmah I (1.000 hektare), PT. Telaga Hikmah II (5.500 hektare), PT. Gading Cempaka Graha (10.000 hektare), dan PT. Chandra Agro Teluk Gelam dan Pedamaran (7.500 hektare).
Pada kebakaran lahan gambut 2015 lalu, sebagian besar konsesi perusahaan-perusahaan tersebut terbakar. Bahkan, Presiden Jokowi meminta, izin PT. Tempirai Palm Resources dicabut saat dia mengunjungi lokasi kebakaran di Pedamaran.
Berdasarkan data Hutan Kita Institute (HaKI) sejumlah perusahaan perkebunan sawit di Pedamaran yang ditemukan titik apinya di antaranya adalah PT. Tempirai Palm Resources, PT. Rambang Agro Jaya, PT. Sampoerna Agro Tbk, PT. Chandra Agro, dan PT. Nusantara Citra Jaya.
Dampak gambut terbakar
Bukan hanya kesehatan yang dirasakan masyarakat Pedamaran akibat kebakaran lahan gambut di konsesi perusahaan perkebunan sawit. “2015 lalu, kami tidak punya bahan baku purun. Lokasi purun kami terbakar. Kami terpaksa membelinya dari daerah lain. Misalnya dari Pangkalanlampan. Jumlahnya terbatas dan harganya lebih mahal,” kata Syarifudin Gusar, pegiat lingkungan hidup Pedamaran yang menjadi jaringan SHI Sumsel.
Lokasi purun milik masyarakat Pedamaran yang tersisa itu berada di Lebak Purun Arang Setambun yang luasnya sekitar 1.000 hektare. Lokasi ini di sekitar konsesi perkebunan sawit, yang 2015 lalu turut terbakar.
“Tuduhan ke warga yang menyebabkan kebakaran, tidak masuk diakal. Buktinya, kalau gambut terbakar masyarakat kehilangan mata pencarian, khususnya pengrajin tikar purun. Selain itu, jika aktivitas warga menyebabkan kebakaran, kenapa baru belakangan bencana ini terjadi, saat hadirnya perusahaan HPH dan perkebunan sawit,” kata Syarifuddin.
Selain habisnya purun, produksi ikan di Pedamaran pun mengalami penurunan. Dampaknya ikan asin, pekasem (ikan difermentasi) dan selai ikan, sulit diproduksi masyarakat Pedamaran. “Kalau dulu setiap kali kita bertandang ke rumah warga pasti dihidangkan pindang ikan. Sekarang jarang sekali, justru mi instan yang sering.”
Kami berharap, Lebak Purun Arang Setambun tidak dijadikan konsesi perusahaan oleh pemerintah. “Kami juga berharap, gambut lain yang menjadi sumber purun seperti di Pangkalanlampan terjaga,” ujar Syarifuddin.
Jaminan pasar
Sebenarnya, kesejahteraan masyarakat di Pedamaran dapat ditingkatkan melalui kerajinan tikar purun. “Hanya pemerintah perlu membuat standar harga untuk tikar purun yang dikerjakan dengan tangan dan bahan-bahan alami itu. Jauh lebih baik dari harga saat ini yang terlalu rendah,” kata Widya dari YPB.
Seharusnya, harga selembar tikar purun bukan berkisar Rp20-60 ribu dari tangan pengrajin, tapi Rp50-100 ribu per lembar. “Pemerintah OKI atau Sumsel harus membuat standar ini. Masyarakat pun harus menghargai tikar yang lebih sehat dan nyaman dibandingkan tikar berbahan plastik,” ujarnya.