State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan Food & Agriculture Organization (FAO), yang menyatakan bahwa angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi tersebut membuat Guiness Book of The Record memberikan penghargaan bagi Indonesia sebagai Negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.
Dari total luas hutan Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, Provinsi Jawa Barat memiliki kawasan hutan seluas kurang lebih 816.603 hektar. Terdiri dari hutan konservasi 132.180, hutan lindung 291.306, hutan produksi terbatas 190.152 serta hutan produksi tetap 202.965. Data tersebut berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No.195 tahun 2003.
Sedangkan menurut data terbaru dari Keputusan Gubernur tentang penetapan data dan peta lahan kritis di Jawa Barat tahun 2013. Luas lahan kritis berdasarkan kriteria kritis dan sangat kritis di Kabupaten/Kota dan wilayah daerah aliran sungai seluas 342.966 hektar sedangkan di fungsi kawasan lindung 216.770 hektar.
Dampak buruk akibat menciutnya luasan hutan mengancam kelestarian flora dan fauna endemik di Jabar. Satwa-satwa endemik yang semakin terancam di habitatnya antara lain lutung jawa (Trachypithecus auratus), owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus) dan elang jawa (Nisaetus bartelsi). Padahal peranan satwa diperlukan dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Tentu kerugian lain akibat dari rusaknya hutan yang memiliki fungsi hidrologis dan biosfer bagi manusia yaitu beresiko menimbulkan banyak terjadi bencana alam. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana kejadian bencana alam di Jabar tahun 2011 – 2015 didominasi oleh longsor serta banjir.
Menilik kondisi lingkungan yang kian memprihatinkan, penegakan hukum lingkungan di Jabar dinilai perlu komitmen yang kuat sebagai upaya pencegahan pelanggaran hukum lingkungan ke depan. Selama ini, Jabar terdepan dalam urusan regulasi atau kebijakan di ranah hukum lingkungan. Namun dalam prakteknya, produk dan penegakan hukumnya masih kurang efisien, bahkan terkesan kalah dengan pelaku kejahatan lingkungan.
Hal itu kemudian mencuat dalam kegiatan seminar dan diskusi lingkungan dengan tema “Bagaimanakah Arah Penegakan Hukum Lingkungan Di Jawa Barat?” yang digelar di Aula Barat Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa, (22/10/2016).
Pada pembukaan acara, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mengatakan, pemprov Jabar berkomitmen untuk menjaga lingkungan alam sekaligus menimbulkan efek jera terutama dalam bentuk penegakan hukum bagi para perusak lingkungan alam, baik individu maupun instansi bisnis.
Aher sapaan Ahmad Heryawan juga menegaskan, pihaknya terus berikhtiar untuk mewujudkan lingkungan yang asri dengan melakukan langkah persuasif maupun penindakan hukum. “Salah satu fokus kami adalah berupaya membenahi Sungai Citarum melalui Citarum Bestari (Bersih, Sehat, Indah, dan Lestari) melalui pendekatan budaya atau kultur, membentuk satuan tugas Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu (PHLT) dan pembentukan Samsat Hukum Lingkungan,” kata aher.
Melalui program ini, Pemprov Jabar mengajak berbagai pihak terkait terutama masyarakat dan kalangan pengusaha yang berada di bantaran sungai agar bisa berkontibusi menjaga Citarum. Aher menyebutkan, dari 377 perusahaan baik skala menengah maupub besar yang ada di DAS Citarum, mungkin hanya ada 5 perusahaan yang “nurut” menerapkan Instalasi Pengolahan Air Limbah (Ipal) sesuai dengan aturan.
“Untuk menjaga sungai caranya sederhana cukup tidak menebang pohon, tidak membuang limbah ternak, tidak membuang limbah rumah tangga, tidak membuang sampah, tidak membuang limbah industri ke sungai agar tidak mencemari lingkungan,” jelasnya
Kedepan, Aher berharap pentingnya menjaga lingkungan menjadi bagian kesadaran dari kehidupan, sebab lingkungan merupakan penentu keberlanjutan pembangunan. Bila tidak ada tindakan dini, prediksi beberapa tahun kedepan krisis air bersih akan semakin nyata.
Penegakan Hukum
Ditempat yang sama, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, Dadan Ramdan mengapresiasi, Jabar telah mengalami kemajuan dalam hal memproduksi regulasi. Itu tercermin ketika undang – undang No.32 tahun 2009 diterbitkan, Pemprov Jabar telah membuat Perda No.1 tahun 2012 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan lingkungan.
Kemudian ada aturan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) juga ada perda pengelolaan limbah B3 yang mengatur, pencegahan, pengendalian dan pengegakan hukum. terakhir 2014 kemarin, dikeluarkan Pergub No.85 dan SK Gubernur perlihal satuan tugas soal pedoman penegakan hukum lingkungan terpadu (PHLT).
Harus diakui, kata Dadan, regulasi hukumnya sudah cukup maju tetapi ada persoalan yang kurang diperhatikan ialah minimnya kerjasama antar satgas dalam proses penegakan kasus – kasus yang merugikan lingkungan.
“Yang terpenting adalah penegakan hukumnya, prinsipnya jangan sampai negara dikalahkan oleh para pengusaha. Negara harus kuat, jangan sampai negara kalah oleh putusan hakim. Kasus – kasus lingkungan mesti dipimpin oleh hakim yang bersertifikasi lingkungan agar putusannya berimbang,” papar dia.
Dia berujar, Walhi Jabar bersama masyarakat serta organisasi lainnya sudah pernah melakukan 4 kali gugatan terhadap anomali yang dilakukan oleh pihak pengusaha yang merugikan lingkungan dan menang di pengadilan.
Dia mencontohkan, pertambangan tanpa izin di kawasan hutan di Bogor yang melibatkan 12 perusahaan sudah dilaporkan dan dimenangkan oleh pihaknya . Kemudian pihak pengusaha melakukan banding dan dipraperadilankan lalu hasilnya masih menang tetapi sampai sekarang belum ada penyelesaian lanjutan.
“Nah ketika ada satgas, kami selaku organisasi lingkungan mendukung karena ini merupakan inovasi yang baik. Adanya satgas diharapkan jadi jawaban atas pencemaran serta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh penjahat lingkungan yang melakukan pembuangan limbah B3, tambang ilegal dan tindakan yang merugikan lainnya,” tegas Dadan.
Kasubdit IV Dirkrimsus Polda Jabar AKBP Andriansah mengatakan, terkait permasalahan lingkungan dari segi penegakan hukum bagi kepolisian merupakan cara yang mudah dilakukan karena sudah ada panduan – panduan Standar Operational Procedure (SOP). Hanya memang masalah lingkungan tidak bisa dilihat secara parsial dari si penjahatnya saja.
“Untuk persoalan penyidikan terus terang kami pihak kepolisian tidak memiliki hambatan apapun dan kami mampu melakukannya. Tapi yang terjadi di lapangan sudah susah – susah dilakukan penyidikan. Ketika sudah dibawa ke ranah pengadilan malah vonis yang dijatuhkan kepada si penjahat lingkungan di hukum ringan,” imbuh Andriansah.
Dia menerangkan, berbeda dengan kasus lainnya, kasus lingkungan kadang bersifat sosiologis. Andaikan,pihak kepolisian sudah melakukan P21 lalu dilakukan penindakan dan akan dilakukan vonis.
“Di Kejaksaan si tersangka ngomong ke hakim, misalnya kalo perusahaannya ditutup maka nasib ratusan karyawannya menjadi pengangguran akibat berhenti bekerja. Ke kepolisan pun si tersangka ngomong juga dan Ketika akan dipasang garis police line nasib karyawannya gimana? Meski si tersangka ini telah melakukan kejahatan lingkungan tetapi ketika akan ditindak akan ada dampak psikologis yang muncul. Keadaan ini kadang dimanfaatkan oleh mafia hukum yang masih ada di negara kita ini,” jelas dia.
Untuk itu, pihaknya meminta kepada institusi dan pihak yang bergerak dalam lingkungan agar bersinergi untuk sama – sama bergerak dan mencarikan solusi yang lebih kongkrit dalam mengatasi permasalahan lingkungan yang makin kronis.
Hadir sebagai juga dalam diskusi tersebut yakni Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Anang Sudharna, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan KLHK, Jasmin Ragil Utomo, Kasubdit II Ditreskrimsus Polda Jabar AKBP Ardiansyah, Ketua Umum Kadin Jabar Agung Suryamal Sutisno, serta Direktur Walhi Jabar, Dadan Ramdan.