Indonesia memiliki sekitar 1700 spesies burung. Angka tersebut masih memungkinkan bertambah mengingat beberapa tahun sebelumnya, jumlah spesies burung di Indonesia masih berkisar di angka 1600-an spesies. Dari sekian jenis baru yang terdata, di antaranya merupakan temuan baru ataupun karena kemajuan ilmu genetika, sehingga memudahkan para taksonom untuk melihat perbedaan antara spesies yang dahulunya dianggap satu jenis.
Namun, ada cerita sedih di balik kekayaan hayati Indonesia yang selama ini dibanggakan sebagai negara terkaya di dunia untuk keanekaragaman hayatinya. Ternyata banyak spesies burung menghilang tanpa sempat diketahui informasi tentang jenis tersebut. Contoh spesies burung yang menghilang di berbagai tempat akhir-akhir ini adalah burung kacamata (Zosterops sp.) atau yang lebih familiar disebut dengan burung pleci.
Popularitas burung yang lima tahun lalu masih sering kita jumpai di pekarangan rumah ini, secara masif dilaporkan menghilang di berbagai daerah. Penyebab menghilangnya keberadaan jenis burung pemangsa seranga ini sangat jelas, yaitu perburuan untuk burung kicauan. Kicauannya yang merdu telah menjadi incaran para pedagang dan pemelihara burung kicauan.
Sebastian van Balen, ornithologist senior asal Belanda yang sudah sangat berpengalaman dalam melakukan penelitian tentang burung di Indonesia menceritakan pengalamannya soal burung kacamata ini. Sebelum tahun 2000, dia sering menjumpai kelompok besar burung kacamata di kawasan hutan di Gunung Salak. Bahkan dia pernah mencatat hingga lebih dari 200 ekor dalam satu kelompok. Namun saat ini sulit sekali.
“Dulu burung ini begitu umum. Jika saya naik angkot di Bogor, saya sering mendengar kicaunya. Waktu saya lihat, burungnya bertengger di dahan sepanjang jalan. Namun sekarang, kalaupun saya dengar kicaunya, bisa dipastikan burung itu berkicau dalam sangkar yang digantung di pinggir jalan,” ungkapnya di sela-sela Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia (KPPBI) 3 di Denpasar Bali, 2-3 Februari 2017.
Bas van Balen, begitu dia lebih dikenal masyarakat pemerhati burung, malah menuturkan bahwa banyak spesies yang menghilang sebelum diketahui dengan baik persebarannya, seperti gelatik jawa (Lonchura oryzivora). Para pengamat burung terlambat menyadari bahwa gelatik jawa sempat berada diambang keterancaman.
Merugikan Ilmu Pengetahuan
Fenomena menghilangnya banyak spesies burung di berbagai tempat di Indonesia merupakan kerugian yang sangat besar bagi ilmu pengetahuan. Banyak hal yang seharusnya dapat dipelajari untuk dijadikan pedoman dalam pembangunan, namun kesempatan itu terlanjur hilang. Hal ini diungkapkan oleh Karyadi Baskoro, peneliti burung dari Universitas Diponegoro.
Dia menyebutkan contoh burung kacamata yang lima tahun lalu masih merupakan burung yang masih sangat umum dijumpai di berbagai tempat, mulai dari hutan hingga kawasan perkotaan. Namun tiba-tiba popularitas burung ini meningkat tajam dan menjadi komoditas yang diminati oleh pasar burung kicauan. Akhirnya terjadi perburuan secara masif dan membuat populasi burung kacamata punah di hampir semua daerah.
“Karena tadinya dianggap sebagai burung yang umum dan mudah dijumpai, akhirnya burung kacamata luput dari perhatian. Kita akhirnya tidak sempat mempelajari tentang ekologi, perilaku dan hal penting lainnya tentang burung ini,” jelas Baskoro.
Lebih lanjut, Baskoro mengungkapkan kejadian serupa beberapa spesies lain yang tadinya umum dijumpai di Jawa seperti gelatik jawa (Padda oryzivora), manyar (Ploceus sp.), betet biasa (Psittacula alexandri) hingga jalak putih (Sturnus melanopterus). Jenis-jenis tersebut di pertengahan dasawarsa 80-an tiba-tiba menghilang, setelah sebelumnya merupakan burung yang umum dijumpai di Jawa. Penyebab utama tetaplah perburuan dan perdagangan untuk burung kicauan.
Jenis betet jawa bahkan pernah menjadi souvenir khas di kawasan Cepu dan Bojonegoro di akhir dasawarsa 70-an. Saat itu, hampir dapat dijumpai para penjual asongan berkeliling gerbong kereta yang menawarkan burung betet jawa.
Akan tetapi, kasus menghilangnya burung manyar dinilai Baskoro agak misterius. Meskipun burung ini sempat populer di pasar burung di era 80-an, namun perburuan manyar tidak semasif perburuan terhadap betet jawa ataupun jalak putih. Penyebab kepunahan yang belum diketahui inilah yang sangat disesalkan, karena terlambat untuk mengungkapnya.
Beruntung masih ada populasi betet biasa yang masih lestari di habitat alaminya. Menurut catatan yang dihimpun oleh para pengamat burung, masih dijumpai populasi asli betet biasa di Jakarta dan Bandung. Informasi ini merupakan peluang yang sangat penting untuk segera menggali informasi sedalam-dalamnya tentang ekologi betet biasa melalui berbagai penelitian.
Mentalitas Aji Mumpung Ancam Kelestarian Populasi Burung Liar
Saat ditanya tentang fenomena kepunahan berbagai jenis burung di Indonesia dalam waktu yang relatif sangat singkat, Baskoro menyinggung tentang kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Seringkali masyarakat di Indonesia latah mengikuti tren yang sedang populer. Jika ada komoditas yang sedang naik popularitasnya, secara tak terduga mereka akan berusaha memiliki atau bahkan terlibat di dalam aktifitas ekonominya.
Hal tersebut juga terjadi di dunia perburungan. Jika ada jenis burung yang sedang naik popularitasnya, maka tiba-tiba semua penyuka burung kicauan ingin memelihara. Karena banyaknya peminat, jenis burung yang tadinya hampir tidak laku di pasaran, tiba-tiba memiliki harga yang fantastis. Hal ini yang menyebakan orang beramai-ramai memburu dan memperjualbelikannya.
“Mental masyarakat kita ini masih sering menganggap satwaliar kita masih banyak, mental aji mumpung. Setiap orang menganggap masih banyak, namun ketika semua berpikiran sama, mereka tidak menyadari akan terjadi penangkapan besar-besaran dan menyebabkan punahnya populasi di alam dalam waktu yang sangat singkat,” tegasnya.