Indonesia harus bisa bekerja sama dengan negara lain dalam menjaga keamanan dan kenyamanan di laut. Hal itu akan berdampak signifikan untuk kehidupan yang ada di laut, baik bagi manusia maupun biota laut yang ada di dalamnya. Untuk itu, harus ada konsep pembangunan berkelanjutan yang diterapkan 193 negara yang tergabung dalam keanggotan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim di Jakarta akhir pekan lalu. Menurut dia, pembangunan kelautan berkelanjutan harus dijadikan filosofi oleh negara-negara PBB tersebut, termasuk Indonesia di dalamnya.
Pernyataan Abdul Halim tersebut muncul untuk menyikapi Konferensi Kelautan 2017 yang baru saja digelar oleh Fiji dan Swedia di New York, Amerika Serikat. Konferensi tersebut dilaksanakan pada 5-9 Juni dan mengambil tajuk “Our Oceans, Our Future: partnering for the implementation of Sustainable Development Goal 14.”
Halim menjelaskan, dalam pelaksanaan pembangunan kelautan berkelanjutan, perlu diletakkan tiga dimensi dasar secara seimbang, yaitu lingkungan hidup, sosial dan ekonomi. Ketiga prinsip dasar tersebut, wajib dilaksanakan jika ingin mendapatkan laut terus ada dan sehat.
“Tanpa kesungguhan dan kolaborasi di tingkat regional dan global, mustahil laut mampu memberikan pasokan pangan perikanan dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia, khususnya masyarakat perikanan dan pergaraman skala kecil. Terlebih bagi perempuan nelayan di dalam rumah tangga nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam,” ungkap dia.
Mengingat pentingnya menjaga laut secara bersama, Halim mengungkapkan, Pemerintah harus bisa mendesak kepada negara anggota PBB untuk bisa memikirkan solusi dari permasalahan yang ada di laut sekarang, yaitu:
- Melaksanakan mandat IMO Convention on Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and other Matter;
- Melarang penggunaan bahan plastik di dalam kosmetik dan produk lainnya yang mencemari sungai dan lautan;
- Memberikan pengakuan dan mempromosikan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumber daya laut, serta mengadopsinya ke dalam legislasi nasional;
- Mengelola hutan mangrove berbasis masyarakat pesisir;
- Melarang penggunaan trawl;
- Meratifikasi Konvensi ILO terkait pekerjaan dalam penangkapan ikan;
- Memfokuskan pemberian subsidi kepada masyarakat perikanan skala kecil sebagai bentuk pertanggungjawaban negara; dan
- Menyinergikan implementasi mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dengan Voluntary Guidelines for Sustainable Small Scale Fisheries di tingkat nasional dan internasional.
Kejahatan Transnasional
Di tempat yang sama, Menteri Kelautan dan Perikan Susi Pudjiastuti juga mengeluarkan pernyataannya berkaitan dengan kondisi laut masa kini dan yang akan datang. Pernyataan tersebut diungkapkan di tengah berlangsungnya Konferensi Kelautan PBB bersama Norwegia, International Police Organization (Interpol), dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).
Menurut Susi, PBB harus segera menetapkan praktik illegal fishing yang masih marak terjadi di berbagai wilayah perairan laut dunia sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir (transnational organized crime).
“Kita harus mengakui bahwa Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing ini terkait dengan kejahatan transnasional yang terorganisir. Operasinya sering didukung oleh kelompok terorganisir,” ujar dia.
Sebagai kejahatan transnasional, Susi menyebut, Indonesia selama ini menjadi saksi pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari perdagangan manusia, perbudakan anak, hingga pelecehan fisik dan seksual yang terjadi di kapal penangkap ikan.
Selain itu, tak jarang juga terjadi penyelundupan mulai dari bahan makanan seperti beras, bawang, pakaian, hingga obat-obatan terlarang, alkohol, dan narkotika. Kemudian, ada juga penyelundupan satwa liar yang terancam punah, seperti burung beo, burung surga, dan armadillo.
“Oleh itu, negara anggota PBB jangan pernah membiarkan praktik illegal fishing terjadi secara bebas di masing-masing negara. Hal itu, karena praktik tersebut tak hanya berdampak pada berkurangnya stok ikan di lautan, tetapi juga telah mengancam punahnya beberapa spesies-spesies laut lainnya,” jelas dia.
Salah satu dampak yang akan dirasakan secara bersama akibat perikanan ilegal, kata Susi, adalah terjadinya kompetisi yang tidak sehat di dalam negeri akibat terjadinya penjualan barang atau spesies hasil selundupan dengan harga yang murah. Kondisi itu akan menekan kondisi ekonomi suatu negara hingga ke titik terendah.
Penurunan Stok
Akibat perikanan ilegal yang berlangsung bertahun-tahun, Susi mencontohkan, di Indonesia saja dampak negatifnya langsung terasa. Di antaranya, adalah terjadinya penurunan stok perikanan yang ada di laut.
Kata Susi, sebelum dirinya menjabat sebagai Menteri, dia sudah memiliki pengalaman selama 30 tahun berbisnis makanan laut di Pangandaran, Jawa Barat yang berdekatan dengan Samudera Hindia. Selama waktu tersebut, dia mengaku, penurunan hasil tangkapan secara perlahan terus terjadi akibat banyaknya kapal asing berukuran besar mencari ikan di perairan sekitarnya.
“Saya menyaksikannya sendiri saat di mana tangkapan lobster yang biasanya 2 ton per hari berkurang menjadi hanya 10-50 kg per hari,” tutur dia mengenang masa-masa tersebut.
Sadar dengan penurunan yang sedang terjadi, Susi kemudian langsung menetapkan perang melawan IUU Fishing begitu dirinya ditunjuk Presiden RI Joko Widodo sebagai Menteri pada paruh akhir 2014 lalu. Perang tersebut dikampanyekan, karena dia ingin membangun kembali sektor kelautan dan perikanan Indonesia.
“Membangun dengan tiga pilar yaitu kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan,” sebut dia.
Untuk bisa membangun dengan tiga pilar tersebut, Susi kemudian membuat kebijakan-kebijakan seperti moratorium kapal eks asing, penenggelaman kapal perikanan illegal, larangan transshipment atau bongkar muat di tengah lautan, larangan penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan, mempromosikan pengelolaan kelautan dan perikanan yang transparan dengan membuka akses kepada publik, dan membuat regulasi terkait hak asasi manusia untuk melindungi nelayan dari kejahatan perdagangan manusia dan perbudakan.
“Sekali lagi, saya meminta dukungan dan komitmen PBB untuk menetapkan IUU Fishing ini sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir. PBB diharapkan dapat memberikan pemahaman yang dapat kita sebarluaskan agar praktik IUU Fishing ini dapat diberantas secara luas, demi masa depan laut kita,” pungkasnya.
Presiden Sidang Majelis Umum PBB Peter Thompson mengatakan, mendukung apa yang dilakukan Indonesia dalam memerangi kejahatan perikanan transnasional. Namun, untuk menjadi ketetapan PBB, dia menyebut bahwa itu tergantung kepada masing-masing negara yang paham dengan kondisi dimaksud.
Sementara, Perwakilan Norwegia untuk PBB, Geir O Pedersen mengungkapkan, 40 persen tindakan kriminal sektor perikanan yang terjadi selama ini memang terbukti sudah menghabiskan sumber daya ikan. Oleh itu, ia mengharapkan sektor perikanan mulai memperhatikan keberlanjutan agar sumber daya laut yang dinikmati sekarang juga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.
“Saya rasa, sangat penting untuk memerangi illegal fishing sebagai transnational organized crime demi masa depan kita bersama,” tandas Geir.