“Smart Patrol”, Cara Masyarakat Mitra Polhut Jaga Cagar Alam Cyclops

Rombongan itu terhenti beberapa saat. Salah seorang dari mereka menunjuk ke pohon yang tumbang dan sudah mulai lapuk. Tampak jamur berwarna merah tumbuh mekar. Di sekitarnya pohon-pohon tumbuh dengan tutupan yang masih sangat rapat. Tim langsung merapat di sekitar lokasi jamur. Tak lupa GPS diaktifkan, untuk mendapat titik koordinat lokasi.

“Dalam bahasa Moy, ini namanya kerabut. Atau jamur penerang. Kalau malam dia menyala seperti mata anjing atau kucing. Orang tua kami dulu kumpul jamur ini, dipakai untuk menerangi jalan,” jelas Ronald Sato, ketua tim Masyarakat Mitra Polhut (MMP) Moy (12/07).

Ini adalah hari keenam rombongan itu ada di hutan, mereka adalah bagian dari patroli yang dilakukan di empat wilayah Dewan Adat Suku (DAS).

Karena tidak sekedar melakukan patroli biasa, patroli ini mencatat setiap temuan, sehingga tim ini lalu disebut sebagai “smart patrol”. Ronald Sato memimpin tim di wilayah DAS Moy. Anggotanya berjumlah 15 orang yang semuanya berasal dari setiap kampung yang ada di Distrik Moy.

“Kami mendokumentasikan semua hasil temuan, termasuk potensi yang ada. Misalnya bertemu dengan satwa jenis apa saja, tumbuhan, aktifitas masyarakat dalam kawasan, lokasinya dicatat dan dibuatkan laporannya,” ungkap Ronald.

Tak jarang tim MMP Moy menjumpai beragam aktifitas, termasuk yang mengganggu kawasan. Seperti perburuan satwa yang dilindungi, menemukan tumpukan potongan kayu sowang (Xanthosthemon novaguineense Valet) yang sudah ditebang, serta bertemu dengan orang-orang yang sedang membuka kebun dalam kawasan cagar alam.

“MMP Moy ini dibentuk berdasarkan wilayah hukum adat Moy. Jadi kami melakukan patroli di pegunungan Cyclops ini tidak hanya berdasarkan administrasi distrik saja. Wilayah kami sampai ke Distrik Depapre karena itu masih wilayah hukum adat orang Moy,” ungkap Ronald.

 

Jamur merah yang dijadikan sebagai penerang di malam hari oleh masyarakat adat Moy. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Kearifan Masyarakat Moy

Masyarakat adat Moy sama seperti masyarakat adat lainnya pada umumnya. Mereka memiliki kearifan alam. Bahkan oleh ketua adat, beberapa tempat di Cyclops sudah ditetapkan sebagai wilayah terlarang bagi mereka.

“Di dalam kawasan Cyclops ada sekitar 37 tempat yang terlarang oleh hukum adat Moy untuk dijamah. Ini merupakan situs budaya bagi masyarakat Moy,” kata Ronald.

Itu sejalan dengan upaya pemerintah yang menetapkan Cagar Alam Cyclops melalui Surat Keputusan nomor 56/Kpts/Um/I/1978 dan dikukuhkan pada tahun 1987 melalui Surat Keputusan nomor 365/Kpts-II/1987 yang mencakup wilayah seluas 22.500 hektar. Pada 2012 CA Cyclops bertambah luasan menjadi 31.479,89 hektar melalui SK nomor 782/Menhut-II/2012.

“Masyarakat kalau mengambil sesuatu dari hutan Cyclops, hanya seperlunya saja. Karena kami sadar hutan ini punya kaitan erat dengan adat leluhur.”

Hal itu terbukti. Dari kampung Maribu dan Sabron Sari, tidak ada temuan yang dianggap mengganggu kawasan hutan. Wilayah ini merupakan sisi bagian Cyclop yang masih aman dari aktifitas pembukaan lahan perkebunan, perburuan, atau aktifitas lain yang merusak kawasan.

Salah satu anggota MMP Moy yang ikut dalam patroli adalah Demianus Klimbiak. Ia adalah pemilik ulayat di Cyclops yang tersebar dari kampung Dormena hingga Kertosari. Orang lebih mengenal namanya dengan panggilan Tete Embun. Usianya sudah sepuh dan masih kuat berjalan kaki berjam-jam lamanya melakukan patroli ke dalam hutan.

“Sampai sekarang kami masih jaga kearifan yang ada di Cyclops ini. Ritual-ritualnya kami tetap pertahankan agar Cyclops terus terjaga,” kata Demianus. Saat masuk dalam hutan, Demianus menyanyikan salah satu syair tentang Cyclops.

Bahkan kayu sowang yang disebut-sebut mulai terancam punah karena penggunaannya untuk kayu arang, masih banyak terlihat di daerah ini.

“Ini yang disebut pohon sowang. Kalau yang di sana pohon sowang pucuk merah,” kata Ronald menunjuk ke salah satu pohon yang masih berupa anakan.

Purnama, Kepala Satuan Polisi Hutan dari BBKSDA Papua, dan juga ketua pendamping MMP Moy menyebut kayu sowang memang masih banyak ditemukan di daerah yang aman seperti di kampung Maribu.

“Kawasan Cyclops di sini aman. Di sini masih banyak kayu sowang dijumpai, karena masyarakat ikut menjaganya,” jelasnya.

 

Anakan pohon sowang pucuk merah di kampung Maribu. Kayu ini mulai langka dijumpai di Cyclops. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Bagian Kawasan Cyclops yang Rusak

Kamis 13 Juli 2017 adalah hari terakhir patroli. Hujan yang turun sejak semalam baru berhenti pukul 10.00 pagi. Namun tim MMP Moy tetap melanjutkan “Smart Patrol”. Kali ini pintu masuknya melalui kampung Kertosari. Satu kampung transmigrasi pertama di Kabupaten Jayapura.

“Kampung transmigrasi di Kertosari ini sudah ada sejak akhir tahun 1960-an,” jelas Purnama.

Selain mayoritas penduduk transmigrasi Jawa, Kertosari juga dihuni oleh pendatang dari gunung, yang merujuk pada wilayah dari berbagai kabupaten di pegunungan tengah. Seperti Wamena, Tolikara, Yahukimo, Lani Jaya, dan Kabupaten Nduga. Para pendatang membuka lahan untuk dijadikan tempat berkebun.

“Kami terus melakukan penyadaran kepada masyarakat agar tidak masuk lagi ke dalam kawasan, ” ungkap Purnama.  Menurutnya, dari kampung ini banyak orang yang membuat kebun.

Caranya lewat pendekatan persuasif, seperti berdiskusi, atau lewat ibadah di gereja tentang betapa pentingnya keberadaan Cyclops bagi masyarakat. Jelas Purnama, pendekatan dengan cara represif tidak akan menyelesaikan masalah.

“Perlahan warga mulai sadar. Ketika melihat kami melakukan patroli, ada dari mereka yang memberi makanan.”

Selain itu, dalam anggota MMP Moy, juga terdapat perwakilan warga dari Kertosari yang sering melakukan patroli rutin. Namanya Nus A. Waeya. Ia berasal dari Tolikara dan menetap di Kertosari sejak tahun 2007. Ketika melakukan patroli, Nus Waeya berada di depan dan menjadi penunjuk jalan.

Nus memperlihatkan perkebunan warga yang berada dalam kawasan cagar alam. Kebun tersebut ditanami berbagai macam tanaman, jagung, ubi jalar, pinang, dan buah merah. Nampak juga salah satu pohon yang baru ditebang dan tersisa rantai gergaji mesin chainsaw.

Selain itu, pada beberapa titik bisa terlihat keberadaan galian C yang masuk dalam kawasan. Beberapa dampaknya antara lain, sungai yang menjadi sumber air bersih tidak lagi mengalir.

Purnama berharap, dengan keterlibatan orang-orang seperti Nus, akan semakin membangun kesadaran masyarakat lainnya yang berada di pinggiran kawasan agar semakin terlibat sama-sama dalam upaya penyelamatan cagar alam Cyclop.

“Persoalan Cyclops ini tidak boleh sendiri-sendiri. Semua stakeholder harus turun gunung. Termasuk mencari jalan bagaimana mensejahterakan masyarakat yang berada di pinggiran kawasan Cyclops,” ucapnya.

Sore hari menjelang magrib, setelah melalui jalur hutan yang menurun dan licin, smart patrol MMP Moy berakhir.  Masing-masing anggotanya kembali ke rumah berkumpul bersama keluarga. Kegiatan serupa, kembali menanti mereka di bulan berikutnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,