Belasan warga Desa Mekarsari mewakili empat blok (dusun) mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jumat pekan lalu. Mereka melaporkan kriminalisasi Polsek Patrol dan Polres Indramayu terhadap beberapa petani penggarap lahan.
Kejadian bermula saat warga desa, yang mewakili Desa Mekarsari, memenangkan gugatan terhadap izin lingkungan pembangunan PLTU Indramayu II di PTUN Bandung.
Putusan hakim yang terbit 6 Desember 2016 ini menyatakan, izin lingkungan pembangkit listrik ini melanggar UU karena dikeluarkan Pemerintah Indramayu. Seharusnya, kata hakim, izin keluar dari Pemerintah Jawa Barat sesuai UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah.
Jadi, izin lingkungan PLTU berkapasitas 2×1.000 megawatt itu tak sah. Dengan landasan kemenangan ini warga kembali menggarap lahan tidur yang semula untuk PLTU.
Mengawal putusan ini, warga memasang spanduk aspirasi dan mengibarkan bendera merah putih 14 Desember 2017. Warga menyerukan jika PLTU jadi dibangun, akan menghilangkan mata pencaharian masyarakat yang selama ini bergantung pada lahan itu.
Tiga hari setelah itu, warga dikejutkan kedatangan dua mobil aparat Polsek Patrol, 17 Desember 2017, lewat tengah malam. Berbekal satu surat perintah penangkapan atas nama Sawin, polisi menangkap tiga petani penggarap.
“Pintu ditendang, mereka membawa senjata laras panjang,” kata Sawin. Petugas datang tanpa seragam.
“Kami dapat telepon, kami kira ada perampokan. Tidak santun sama sekali,” kata Ahmad Yani, warga lain.
Tengah malam itu juga Sawin, Nanto dan Sukma, dibawa ke Polsek Patrol untuk diinterogasi sebelum dibawa ke Polres Indramayu.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ketiganya dipaksa mengakui telah memasang bendera terbalik dalam kegiatan tiga hari sebelumnya.
“Saya tidak mau. Saya menolak. Saya selalu menolak (mengaku),” kata Sawin.
Keesokan hari, ketiga warga dipindah ke Polres Indramayu. Didampingi kuasa hukum dari LBH Bandung warga yang jadi tersangka, meminta penangguhan penahanan.
“BAP sengaja dibuat cepat tanpa didampingi kuasa hukum,” kata Muhammad Iwank, advokasi Walhi Jawa Barat, yang ikut mendampingi warga bersama LBH Bandung.
Ketiga warga, memang bisa lepas dari tahanan, namun tetap tersangka kasus penghinaan lambang negara. Hingga kini , mereka masih wajib lapor dua kali seminggu, Senin dan Kamis, di Polres Indramayu,
Dugaan kriminalisasi tak sampai di situ. Kasus kedua menimpa Dulmuin, petani penggarap lahan lain. Akhir Desember lalu, Dulmuin dipanggil Polsek Patrol memberikan keterangan atas pengeroyokan yang menurut dia, tak pernah dilakukan.
Menurut Dulmuin, peristiwa pengeroyokan tuduhan polisi justru penyerangan terhadap dirinya saat mengambil foto eskavator yang masuk ke lahan yang mereka pertahankan agar tak terbangun PLTU.
Saat itu, 29 November 2017, warga desa mendengar akan ada eskavator masuk ke lahan rencana pembangunan PLTU. Sontak warga datang melihat, dan duduk diam berbaris di depan alat berat. Eskavator masuk, dengan pengawalan tentara yang datang terlebih dahulu.
Saat Dulmuin mengambil foto kejadian, dia dibentak dan dipukuli petugas sub kontraktor, Tarli. Melihat kejadian itu, warga lain mencoba menghentikan,
Alih-alih berhenti, kata Domo, warga yang saat itu berada di lokasi, Tarli malah memiting leher seorang petani perempuan bernama Kanirah. Warga lain, Karyani, mencoba melepaskan Kanirah.
“Yang kami lihat dengan mata kepala kami sendiri Dulmuin tidak ada perlawanan, dan tidak ada sengaja anarkis. Tidak sengaja rusuh di lokasi itu,” kata Domo, warga Mekarsari juga bergiat di Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (Jatayu).
Malam hari, sekitar pukul 8.00, Dulmuin langsung visum ke Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu. Setelah visum dia melapor ke Polres Indramayu.
Saat bersamaan, pemukul Dulmuin juga melaporkan Dulmuin dan enam petani lain ke Polres. Sebulan berselang, Dulmuin dan kawan-kawan dipanggil polisi dimintai keterangan terkait kasus pengeroyokan.
“Sampai sekarang tak ada informasi ataupun penjelasan Polres soal laporan saya. Malahan saya dapat surat dari Kapolres karena laporan Tarli,” kata Dulmuin di Komnas HAM.
Kuatnya dugaan kriminalisasi kepada warga Desa Mekarsari ini dipicu beberapa kejanggalan dan simpang siur informasi.
Iwank mengatakan, kasus penghinaan lambang negara, setelah bendera dipasang pukul 4.00, sekitar pukul 8.00 pagi masih ada warga melihat bendera terpasang benar. Sekitar pukul 10.00, tiba-tiba bendera diturunkan.
Saat pemasangan bendera juga banyak warga menyaksikan, namun tak satupun warga menegur pemasang bendera karena pemasangan terbalik. Masyarakat punya foto-foto bendera yang terpasang dengan benar.
Kuasa hukum warga beberapa kali juga menanyakan siapa pelapor kasus. Mula-mula penyidik mengatakan dua warga bernama Darman dan Rohman, sebagai pelapor. Belakangan polisi bilang, kasus Sawin dkk tersangka ini, laporan Model A mengacu pada laporan yang dibuat anggota Polri yang mengetahui ada tindak pidana.
Kini, selain resah karena hampir setiap hari kedatangan aparat keamanan dan membuat warga tak bisa bekerja, mereka juga khawatir muncul tersangka baru karena penyidikan kedua kasus.
“Karena pertanyaan-pertanyaan pada kasus bendera terbalik sudah melebar kemana-mana, soal spanduk, soal siapa yang menyuruh memasang spanduk dan seterusnya,’ kata Iwank.
Warga meminta Komnas HAM segera menindaklanjuti dugaan kriminaliasi ini ke Polsek Patrol dan Polres Indramayu.
Menanggapi aduan ini, Hairansyah dan Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM berjanji segera memproses pengaduan warga Desa Mekarsari.
Komnas HAM membenarkan, banyak laporan serupa terkait konflik tanah berupa tekanan melalui proses hukum.
Hairansyah mengatakan, Pasal 66 UU No 32/2009 tak jalan. Dalam pasal ini dinyatakan, setiap orang yang memperjuangkan hak lingkungan hidup yang baik dan sehat tak dapat dipidana.
Hairasnyah menekanan, komisioner Komnas HAM periode 2017-2022 bertekad fokus pada isu agraria dan sengketa tanah, selain isu diskriminasi dan pelanggaran HAM berat.
Dampak lingkungan dan kesehatan
PLTU II Indramayu (2×1000 megawatt) merupakan PLTU ekspansi Indramayu I (3×330 megawatt). Proyek ini digarap langsung oleh PT. PLN dengan pendanaan Japan International Cooperation (JICA).
Berlokasi bersebelahan dengan PLTU Indramayu I , PLN telah membebaskan 279 hektar lahan. Lahan inilah sebelumnya dimanfaatkan petani penggarap untuk bercocok tanam, berjarak 148 meter dari pemukiman terdekat yakni Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Indramayu, Jawa Barat.
Dampak lingkungan dan kesehatan dengan operasi PLTU Indramayu I sejak 2011 sudah dirasakan warga, seperti tangkap ikan sulut dan tanaman tak subur. Warga khawatir jika ekspansi dampak makin besar.
“Dulu nelayan yang mencari nener (udang rebon) tiap hari lebih dari cukup. Lalu tanaman cabe, bawang, sayur subur. Padi bagus. Kelapa patrol yang terkenal itu dari desa saya. Sekarang, jangankan tanaman muda, kelapa kekar saja habis,” kata Domo.
Nelayan yang biasa setiap kali melaut cukup bermodal lima liter bahan bakar, kini harus melaut lebih jauh, minimal 20 liter dengan hasil tangkapan pas-pasan.
“Anak-anak kecil di Desa Ujung Gebang itu banyak sekali kena pilek, penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut-red).”
Sejalan dengan riset Walhi Jabar di dua desa, Desa Tegal Taman dan Ujung Gebang. “Hasil riset kami paparan polusi cenderung pada anak usia dua sampai tujuh tahun,” ucap Iwank.
Kondisi terburuk, udara pengap dirasakan paling rentan pada pukul 5.00-8.00 pagi dan 11.00-1.00 malam.
Meski ada putusan PTUN Bandung soal izin lingkungan PLTU Indramayu II batal, PT PLN tetap optimis melanjutkan pembangunan PLTU dengan mengurus perizinan ke pemerintah Jawa Barat.
Dwi Sawung, Juru kampanye Urban dan Energi Perkotaan Walhi, mengatakan, proses ini akan lebih rumit dan memakan waktu lama. “Mereka harus bikin amdal dari awal karena dari pemkab amdal dibuat sejak 2011 baru selesai 2016, tanpa sepengetahuan warga. Itu dengan kondisi belum ada PLTU I,” katanya.
Keterangan: foto utama adalah warga Mekarsari dan pendamping (Walhi) yang lapor ke Komnas HAM. dari kiri ke kanan, Muhammad Iwank (Walhi Jawa Barat) dan warga (Dulmuin, Sawin dan Domo). Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia