Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bakal menjatuhkan sanksi administratif kepada PT Pertamina (Persero) Tbk, atas kelalaian hingga terjadi tumpahan minyak mentah di Teluk Balikpapan yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Begitu paparan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Senin (16/4/18).
Dalam rapat kerja itu juga Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Elia Massa Manik, Direktur Utama PT Pertamina; bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dan penyidik Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Dalam rapat yang dipimpin Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR RI itu membahas mulai temuan di lapangan terkait penyebab tumpahan minyak hingga ganti rugi kepada masyarakat terdampak.
Siti mengatakan, temuan pengawasan lingkungan menunjukkan, antara lain dokumen lingkungan tak mencantumkan dampak penting alur pelayaran pipa dan kajian perawatan pipa, inspeksi pipa tak memadai hanya untuk kepentingan sertifikasi. Juga tak memiliki sistem pemantauan pipa otomatis dan tak memiliki sistem peringatan dini.
”Jika sistem baik, sebenarnya tak perlu menunggu lima sampai tujuh jam dan tak perlu sampai kebakaran,” katanya di sela-sela rapat.
KLHK pun menyiapkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah bakal terbit tujuh hari ke depan. Adapun sanksi itu, katanya, memberikan perintah kepada Pertamina untuk kajian risiko lingkungan dan audit lingkungan pada keamanan pipa penyalur minyak, dan kilang minyak. Juga mengecek semua instalansi pemipaan bawah laut yang menjadi areal kerjanya.
Pertamina pun diperintahkan memberikan rencana pemulihan untuk penanggulangan tumpahan minyak. Meski demikian, hingga kini KLHK masih mengkaji kerusakan dan sedang memperhitungkan kerugian terdampak.
Ekosistem mangrove, katanya, diperkirakan, terdampak paling besar. ”Sekitar 40-60% dari nilai kerusakan keseluruhan,” katanya.
Berdasarkan data lapangan, ekosistem mangrove rusak kurang lebih 34 hektar di Kelurahan Kariangau. Berdasarkan perhitungan overlay tutupan mangrove terdampak mencapai 270 hektar di Balikpapan dan Kabupaten Paser Utara.
Selain itu, tumpahan minyak itu berdampak pada lingkungan, ada pasir atau tanah terkontaminasi minyak 12.145 meter kubik di Kota Balikpapan dan 30.156 meter kubik di Penajam Paser Utara. Jejak minyak pun ditemukan di pasir pantai pada kedalaman bervariasi, mulai dari vegetasi pantai, muara sungai, biota, batu karang.
Area terdampak karena tumpahan minyak diperkirakan mencapai sekitar 7.000 hektar dengan panjang pantai terdampak di Kota Balikpapan dan Panajam Paser Utara sekitar 60 kilometer.
Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM tampak berupaya membela Pertamina. Dia mengatakan, pipa penyaluran milik Pertamina di Teluk Balikpapan sudah layak operasi dan sesuai standar Asme/ANSI B.31.4 dan spesifikasi teknis. ”Jadi, dalam keadaan layak operasi,” katanya.
Dia bilang, integritas instalansi migas tak hanya dipengaruhi oleh kesesuaian dan pemenuhan terhadap standar, juga faktor eksternal.
Agus H. Purnomo, Direktur Jenderal Perhubungan Laut mengatakan, penyebab pipa Pertamina patah masih dalam penyelidikan polda. Ada dugaan jangkar kapal pengangkut batubara berbendera Panama dengan ABK Tiongkok mengenai pipa Pertamina hingga putus.
”Dalam pelayaran ini, kapal ini diperkirakan jangkarnya lolos.”
Hingga kini, sudah ada 45 saksi dimintai keterangan oleh Polda Kaltim dalam tindak lanjut kasus tumpahan minyak. Penyidik pun sudah menyiapkan tujuh saksi ahli yang akan dimintai pendapat. Meski demikian, mereka masih mau memberikan keterangan setelah hasil uji laboratorium terkait sampel pencemaran minyak sudah keluar.
Kombes Pol Yustan Alpiani, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kaltim menyebutkan, akan lakukan pemotongan pipa putus dan membawa ke darat untuk diselidiki. ”Pemotongan ini untuk melihat ini benturan atau apa, supaya kasus ini jelas apakah pipa ini terseret jangkar atau ga,” katanya.
Arcandra berharap, proses penyelidikan Polda Kaltim dapat cepat selesai hingga pihak yang bertanggung jawab segera diketahui.
Soal temuan KLHK, Elia Massa pun berusaha membela diri.”Itu kan semua izin sudah lengkap, tapi ini dalam rangka pemulihan dan membuat sistem baru ke depan. Itu kan objek vital itu, Direktur Teknik dari ESDM akan datang ke kilang kita untuk investigasi. Kita gak bisa langsung nyimpulin.”
Sudah turun
Arcandra mengatakan, tim dari inspektor migas sudah ke lapangan untuk pengecekan dan pengawasan. “Contohnya, apakah dari sisi kedalaman pipa sudah tepat dan diberi pemberat? Iya sudah dilakukan. Pipa dilengkapi sarana bantu navigasi pelayaran, iya sudah. Pada alur pelayaran ada rambunya, iya,” katanya.
KESDM, katanya, melihat sudah ada kesesuaian terkait kewajiban pipa penyalur wajib memiliki pelindung atau pagar pengamanan. Begitu juga, terkait desain konstruksi klasifikasi lokasi, dan lain-lain sudah mengacu standar migas. Persyaratan inspeksi berkala, katanya, juga sudah sesuai dan program pengawasan pipa penyalur secara periodik ada sertifikasi.
“Prosedur keadaan darurat dan penanganan kecelakaan maupun kegagalan operasi juga sesuai, ada kelengkapannya. Prosedur pencegahan penanggulangan kebakaran dan pencemaran lingkungan juga menurut kelengkapan prosedur,” katanya memaparkan informasi sesuai laporan dokumen kelengkapan prosedur di KESDM.
Ganti rugi
Pertamina pun berupaya bertanggung jawab atas kasus tumpahan minyak di Balikpapan ini. Selain prioritas penanganan dan memulihkan lingkungan, Pertamina juga memberikan santunan dan berbagai alat kerja baru bagi nelayan yang mengalami dampak.
Setiap keluarga korban mendapatkan Rp200 juta, mengacu sejumlah aturan terkait, antara lain soal bantuan premi asuransi nelayan KKP. ”Selain santunan uang, kami juga beri modal usaha dan lapangan kerja bagi keluarga yang ditinggalkan,” kata Elia.
Mereka juga mengganti kapal terbakar dan mengakomodasi keluarga bekerja di lingkungan Pertamina.
Bagi warga yang kehilangan mata pencaharian karena tumpahan minyak, katanya, Pertamina melakukan penggantian jaring, kapal, keramba serta peralatan nelayan lain. Untuk nelayan yang belum bisa melaut dapat kompensasi Rp200.000 setiap hari dan penggantian bibit kepiting 800 kilogram.
Muhammad Nasir, anggota Komisi VII DPR dari Partai Demokrat berkomentar. ”Cukup aneh. Seharusnya 16 hari sudah cukup. Ini seperti pelemparan politik menurut saya, padahal publik menunggu. Hingga 16 hari setelah kejadian terputusnya pipa minyak belum seorang pun ditetapkan sebagai tersangka,” katanya.
“Padahal, pemilik pipa sudah diketahui. Begitu juga dengan kapal yang diduga membuang jangkar dan tersangkut pipa hingga pipa terseret dan putus.”
Kurtubi, juga anggota Komisi VII menyebutkan, kasus ini menunjukkan mekanisme pengawasan kondisi fisik migas di Indonesia masih lemah. ”Ke depan untuk keamanan dalam badan migas tak cukup bangun pipa lalu selesai, perlu ada mekanisme kontrol dan pengawasan lebih serius, tidak hanya Kalimantan Timur,” katanya. Dia pun meminta pihak berwenang menelusuri pemilik kapal MV Even Judger.
Mukhtar Tompo, anggota Komisi VII DPR menyesalkan kinerja penyelidikan kasus ini terkesan lambat. Hingga kini belum diketahui siapa pelaku. ”Obyek pidana tidak jelas, ini perlu menjadi perhatian semua.”
Desak langkah konkret
Setelah delapan jam berlangsung, Komisi VII DPR pun akhirnya menyimpulkan 10 poin harus ditindaklanjuti lebih cepat dan konkret. Pertamina diminta kongkret memberikan ganti rugi berupa santunan kepada masyarakat terdampak kebocoran minyak.
Komisi VII mendesak Menteri ESDM, Menteri LHK, dan Dirut Pertamina secepatnya menuntaskan persoalan tumpahan minyak di Teluk Balikpapan. ”Agar ada kepastian hukum bagi semua pihak, dan menyampaikan laporan tertulis paling lambat minggu ke empat April 2018,” kata Gus Irawan, pimpinan rapat Komisi VII.
Mereka juga diminta melaksanakan kegiatan antisipatif dan proaktif agar bencana tak terulang di masa mendatang. Komisi VII mendesak Menteri LHK menyiapkan sanksi administratif dan gugatan perdata kepada pihak yang mencemari atau merusak lingkungan.
”Mendesak KLHK mewajibkan penanggung jawab kawasan yang berisiko tinggi untuk membuat analisis risiko lingkungan sesuai ketentuan Pasal 47 UU Nomor 32 Tahun 2009,” katanya.
Komisi juga mendesak, KESDM kaji ulang menyeluruh atas obyek vital Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Begitu juga terkait penerapan pengawasan pipa bawah laut terutama di daerah terlarang sebagaimana diatur dalam perundangan. ”Serta pengawasan dengan menerapkan teknologi terkini secara periodik untuk memastikan ketentuan standar HSE (health, safety, environment-kesehatan, keselamatan dan lingkungan-red) jalan dengan benar.”
Pertamina pun didesak memperbarui sistem pengawasan obyek vital dengan menerapkan teknologi terkini berdasarkan ketentuan standar yang benar. Adapun, semua jawaban tertulis atas pertanyaan anggota Komisi VII harus disampaikan paling lambat 23 April 2018.
Foto utama: Air laut yang hitam karena tumpahan minyak. Foto: Facebook Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan