- Sejak Mei 2011, Pemerintah Indonesia menyetop sementara izin di hutan primer dan lahan gambut. Kebijakan periode dua tahun ini berlangsung hingga kni dengan evaluasi tiap enam bulan.
- Tahun ini, Pemerintah Indonesia, berencana menjadikan kebijakan setop izin di hutan primer dan gambut jadi permanen.
- Kalangan organisasi masyarakat sipil menyambut baik. Mereka masih khawatir, poin pengecualian yang bisa jadi celah pembukaan hutan primer dan gambut.
- Organisasi masyarakat sipil juga mengusulkan agar ada perluasan penghentian izin tak hanya di hutan primer dan gambut juga hutan sekunder dengan sebelumnya membuat peta jalan pemanfataan yang jelas.
Pemerintah Indonesia sejak Mei 2011, memberlakukan setop sementara (moratorium) izin di hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan berdurasi dua tahun ini evaluasi tiap enam bulan sekali dan sudah beberapa kali perpanjangan. Kini, pemerintah menyiapkan aturan permanen yang rencana rilis Juli 2019.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, perpanjangan Instruksi Presiden Nomor 6/2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, sedang finalisasi.
Baca juga: 6 Tahun Moratorium Hutan Belum Terlihat Perbaikan Tata Kelola, Berikut Masukan Koalisi
Pembahasan sudah pada tahap akhir dan sedang diparaf para menteri terkait. ”Dalam kebijakan itu, aturan akan dipermanenkan bukan lagi perpanjangan,” katanya kepada Mongabay melalui pesan singkat.
Sigit Hardwinarto, Direktur Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, langkah ini diambil berdasarkan pertimbangan hasil evaluasi perkembangan Inpres Moratorium 2011 sampai 2018 maupun SK Menteri terkait peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB) hingga revisi XV.
”Hasil evaluasi luas moratorium relatif stabil sekitar 65 juta hektar,” katanya.
Untuk itu, tahun ini, tak ada penundaan sementara tetap setop permanen dengan tetap memperhatikan peraturan perundangan terkait dan mempertimbangkan dinamika kepentingan pembangunan strategis.
”Seperti pembangunan nasional vital, restorasi ekosistem, pelaksanaan kegiatan terkait pertahanan dan keamanan, jalur evakuasi dan penampungan sementara korban bencana alam dan lain-lain,” katanya.
Masukkan hutan sekunder
Kalangan masyarakat sipil pun menyambut baik inisiatif KLHK. Ia akan jadi desakan awal. ”Iinisiatif ini perlu disambut baik dan perlu diapresiasi juga ada kekhawatiran ketika terbentur dengan UU sektoral dan ego sektoral kementerian dan lembaga,” kata Khalisah Khalid dari Walhi Nasional.
Baca juga: Belasan Juta Hektar Kawasan Moratorium Ternyata Tak Berhutan Lagi
Dia menggarisbawahi, KLHK menyebutkan pokok dari inpres dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan-undanga lain. ”Itu pernyataan seperti karet. Jika nanti ada penghentian, tetapi ada pengecualian. Mereka bilang tetapi tidak menyalahi UU. Masalahnya UU sektoral bagaimana?” kata Alin, sapaan akrabnya.
Tak hanya itu, inisiatif baik ini pula perlu dibarengi kepemimpinan kuat bagi seluruh pemangku kepentingan. Presiden pun, katanya, perlu tegas berkomitmen mengganti menteri kalau tidak sejalan yang diamanatkan. ”Jadi copot menteri bukan karena urusan ‘sandera’ politik partai tapi sejauh mana menerjemahkan dan menjalankan komitmen presiden.”
Meski demikian, aturan ini, mengintruksikan kepada para menteri sampai kepala daerah, dengan tak memasukkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. KESDM, katanya, penting masuk sebagai kementerian yang bertanggung jawab melindungi hutan.
Satu suara dengan Walhi, Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan bilang, rencana ini merupakan langkah baik untuk perlindungan hutan.
”Jika dipermanenkan, kami harap menambah ruang lingkupnya. Tidak hanya hutan primer dan lahan gambut, juga hutan sekunder yang saat ini terancam dibabat.”
Menurut dia, masih banyak hutan sekunder dengan tutupan bagus dan potensial diselamatkan. Terutama, katanya, hutan-hutan yang merupakan wilayah resapan dan cadangan air serta peyangga bagi keseimbangan ekologi sekitar.
Berdasarkan data pemerintah Indonesia dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018, kawasan hutan Indonesia seluas 93,9 juta hektar, terdiri atas hutan primer 46,1 juta hektar, hutan sekunder 43,1 juta hektar. Sedangkan, luas tutupan hutan tanaman 4,7 juta hektar. Pemerintah mengklasifikasi hutan tanaman sebagai kelas lahan hutan, luas tutupan hutan Indonesia.
Dari luasan hutan sekunder itu, 3,8 juta hektar hutan sekunder berstatus hutan produksi untuk konversi (HPK). Berarti, dapat dilepas dan ditebang untuk izin-izin non kehutanan seperti perkebunan dan lain-lain.
“Kami berharap Pemerintah Indonesia, periode ini benar-benar dapat mempermanenkan perlindungan hutan dengan cara mengakomodasi dengan landasan aturan perundang-undangan lebih kuat dan menuangkan dalam rencana tata ruang nasional,” kata Teguh.
Soal ada pengecualian untuk kepentingan pembangunan strategis, Teguh mendorong pemerintah membuat peta jalan hingga ada jalan tengah antara perlindungan hutan dan pembangunan masyarakat.
”Kita perlu membuat peta jalan menuju nol deforestasi. Nol deforestasi kan artinya bukan tidak boleh ada lahan dibuka tetapi ada kesepakatan mana lahan dibuka dan me-review lahan yang sudah dibuka.”
Melalui dokumen peta jalan, perlindungan hutan permanen itu jadi terlihat mana primer dan sekunder. Terlihat juga bagian mana untuk pembangunan infrastruktur atau pembangunan strategis.
Pemahaman definisi strategis, katanya, juga perlu kesepakatan bersama dan proses tranparan dengan melibatkan publik.
Dia contohkan, prasyarat apa yang boleh dan tidak boleh. Khusus hutan biodiversitas tinggi, kawasan masyarakat adat dan berkarbon tinggi tidak boleh.
”Peta jalan itu menjadi satu peta komprehensif, menyangkut seluruh aspek lingkungan, industri, infrastruktur dan lain-lain,” katanya.
Selama delapan tahun, status perlidungan hutan alam dan gambut masih moratorium. Madani juga khawatir, berbagai pengecualian seperti permohonan izin yang mendapat persetujuan prinsip sebelum Mei 2011, panas bumi, migas, dan ketenagalistrikan, ditambah produksi padi, tebu, jagung, sagu dan kedelai untuk kedaulatan pangan nasional.
“Ada 31,2 juta hektar lahan tak berhutan dalam kawasan hutan. Selayaknya pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan lahan tidak berhutan atau memanfaatkan lahan-lahan eks-perusahaan untuk mengamankan kedaulatan pangan, dengan demikian meminimalkan kerusakan hutan,” kata Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Madani.
Terbukti tekan deforestasi?
KLHK mengatakan, moratorium izin pada hutan primer dan gambut mampu menurunkan angka deforestasi dua tahun terakhir.
RA Belinda Arunawati Margono, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK menyebutkan, moratorium ini penting karena berkontribusi menekan laju deforestasi Indonesia. ”Dalam NDC (nationally determined contributions-red) Indonesia sudah dibatasi deforestasi tak boleh melebihi 450.000 hektar pada 2020 dan 325.000 hektar pada 2030. Kita bekerja untuk moratorium hutan ini juga sesuai komitmen NDC,” katanya.
Berdasarkan hasil pemantauan KLHK dengan Sistem Monitoring Kehutanan Nasional (Simontana), penurunan laju deforestasi Indonesia dari 0,48 juta hektar (2016-2017) jadi 0,44 juta hektar (2017-2018). Dia bilang, angka itu, deforestasi bersih tanpa memperhitungkan reforestasi pada 2017-2018 dalam kawasan hutan atau non hutan berada di angka sama, yakni 0,22 juta hektar. Pada 2016-2017, sekitar 0,30 juta hektar pada kawasan hutan dan 0,18 juta hektar di non-hutan.
“Tren pengurangan luas hutan Indonesia kini relatif rendah dan cenderung stabil.”
Berdasarkan data hasil pemantauan hutan Indonesia 2018 menunjukkan, luas lahan berhutan 93,9 juta hektar, sekitar 71,1 % atau 85,6 juta hektar dalam kawasan hutan. Deforestasi bersih 2017-2018, di dalam dan luar kawasan hutan 0,44 juta hektar, berasal dari angka deforestasi bruto (memperhitungkan reforestasi) sebesar 0,49 juta hektar, dikurangi reforestasi 0,05 juta hektar.
”Luas deforestasi tertinggi terjadi di hutan sekunder, yakni 0,3 juta hektar, 51,8% atau 0,16 juta hektar berada dalam kawasan hutan, sisanya 0,15 juta hektar luar kawasan hutan,” katanya.
Belinda bilang, angka itu karena ada deforestasi terencana dan tak terencana. Deforestasi terencana, misal, untuk pembangunan infrastruktur dan tak terencana seperti perambahan.
”Dari deforestasi 440.000 hektar ini boleh dikatakan masih ada tak terencana dan terencana.” Meski demikian, Belinda enggan menyebutkan detail angka itu karena masih dalam penghitungan.
Faktor pendorong penurunan deforestasi, katanya, juga karena ada pengendalian kebakaran hutan dan lahan, pengendalian kerusakan gambut, pengendalian perubahan iklim, pembatasan perubahan alokasi kawasan hutan (HPK) untuk sektor non kehutanan. Juga, penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH) maupun tanah untuk obyek reforma agraria, pengelolaan hutan lestari, perhutanan sosial dan rehabilitasi hutan dan lahan.
Pada tingkat global, pemantauan hutan dilakukan University of Maryland melalui Global Land Analysis and Discovery (GLAD) dan rilis Global Forest Watch serta dikutip WRI Indonesia.
Meski demikian, penurunan kehilangan hutan masih memiliki metode, sistem dan definisi berbeda dengan sistem KLHK (Simontana). Sistem yang dibangun KLHK bisa kompatibel atau secara subtansial sama dengan yang sudah ada.
GLAD pakai istilah tree cover loss alias tak hanya deforestasi atau kehilangan hutan alam, namun termasuk pemanenan hutan tanaman. Belinda, mengutip laporan WRI, angka primary forest loss 40% lebih rendah dibandingkan rata-rata tingkat kehilangan hutan tahunan pada periode 2002-2016.
Kalau dibandingkan negara hutan tropis terbesar, Indonesia jauh lebih rendah. Berdasarkan data WRI, deforestasi Brasil mencapai 1,3 juta hektar, Republik Demokratik Kongo 0,48 juta hektar, Indonesia 0,34 juta hektar, Kolumbia 0,18 juta hektar, dan Bolivia 0,15 juta hektar.
Indonesia, katanya, menurunkan deforestasi sekitar 63% dibandingkan 2016. Pada 2015-2016, terjadi karhutla masif di Sumatera, Kalimantan dan pulau lain.
Belinda berharap, kondisi ini terus ditingkatkan dan jadi contoh negara lain. Melalui pengelolaan hutan yang baik, katanya, pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat seiring dengan kelestarian hutan dan lingkungan.
Meskipun begitu, KLHK membenarkan capaian angka deforestasi masih di bawah target yang tercantum dalam dokumen NDC, masih belum nol deforestasi. ”Kkalau kita merujuk ke dokumen NDC, itu sebetulnya Indonesia belum berada pada situasi memberikan nol deforestasi.” Dia bilang, saat komunikasi tingkat nasional dan daerah masih banyak yang memerlukan pembangunan. “Deforestasi masih terjadi.”
Meski demikian, katanya, deforestasi di NDC, 0,45 juta hektar per tahun itu rencana terjadi dari 2020-2030, sesudah itu Indonesia menurunkan deforestasi hingga 0,325 juta hektar per tahun.
Penurunan angka deforestasi pun telah menghasilkan sejumlah manfaat, salah satu dalam hal keuangan. Pada Februari lalu, Norwegia mengumumkan akan memberikan kompensasi bagi Indonesia atas upaya pengurangan emisi terkait deforestasi, sebagai bagian dari komitmen kemitraan iklim dan hutan yang ditandatangani kedua negara itu pada 2010.
Teguh menilai, penguatan kebijakan hutan dan lahan gambut jadi permanen memperbesar peluang pencapaian komitmen iklim Indonesia.
Riset WRI pada 2017 menunjukkan, moratorium hutan adalah kebijakan mitigasi kehutanan dengan potensi penurunan emisi paling tinggi. Memperkuat kebijakan ini, dengan melindungi hutan sekunder dapat mengurangi emisi sebesar 437 MtCO2 pada 2030 hingga target iklim Indonesia bisa tercapai.
Komitmen jadikan permanen inipun, kata Teguh, bisa memberikan garansi hukum dan politik lebih besar dalam mencapai komitmen iklim dan meminimalkan konflik di masyarakat.
Di samping emisi dari sektor hutan dan lahan, katanya, pemerintah juga harus mewaspadai emisi sektor energi karena berpotensi jadi kuda hitam yang dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia. “Jika konsisten dengan inisiatif baik di dua sektor ini, Indonesia dapat membusungkan dada di perundingan iklim COP-25 di Chile Desember ini.”
Keterangan foto utama: Lahan gambut di Sepucuk, OKI, Sumsel, yang selama ini selalu terbakar, sekarang mengalami pembasahan. Semoga tidak kering saat kemarau tahun ini. Foto: Taufik Wijaya