- Kerajaan Adonara merupakan satu dari dua kerajaan besar di wilayah timur pulau Flores, Adonara, Solor, Lembata hingga Alor selain kerajaan Larantuka. Kerajaan ini diperkirakan berdiri tahun 1600.
- Bekas peninggalan kerajaan Islam Adonara terdapat di desa Adonara dan Sagu yang merupakan ibukota kekuasaan. Benteng, meriam kuno serta puing bangunan masih bisa dijumpai.
- Di Desa Adonara juga terkenal akan danau air tawar yang merupakan satu-satunya danau di pulau penuh kelapa ini berhutan mangrove yang diapit perbukitan dan pantai.
- Ikan bandeng di danau ini melimpah dan hanya dipanen setahun sekali saat pembukaan bulan puasa umat Islam. Kemarau yang berkepanjangan membuat air danau tampak mengering.
Pulau Adonara dan Solor merupakan dua buah pulau yang masuk wilayah kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Adonara awalnya terdiri atas 2 kecamatan yakni Adonara Barat dan Adonara Timur.
Semenjak pulau Lomblen atau Lembata menjadi kabupaten sendiri tahun 1999, terjadi pemekaran menjadi 8 kecamatan di pulau Adonara pada 2001 dan 2006.
Berdasar Perda Kabupaten Flores Timur No.2/2006 tentang Pembentukan Kecamatan Baru, maka kecamatan Adonara resmi berdiri dengan ibukota Sagu.
Kecamatan ini merupakan wilayah bersejarah sebab selain sebagai pusat kerajaan Adonara, di daerah ini pun terdapat satu-satunya danau di pulau Adonara, yaitu danau Kota Kaya.
baca : Menengok Waturaka, Desa Ekowisata Terbaik Nasional
Bekas Istana Raja
Cuaca tampak cerah, Minggu (15/9/2019) pagi. Sinar mentari terpapar jelas di rimbunan pohon kelapa desa Kiwang Ona kecamatan Adonara Timur. Adonara, pulau yang ditumbuhi jutaan pohon kelapa yang membentang sejak pesisir pantai hingga pegunungan.
Bersamaan dengan festival Nusa Tadon Lamaholot, Mongabay Indonesia menjelajahi jejak sejarah dan destinasi wisata di pulau eksotik ini. Dengan bersepeda motor melewati jalan aspal mulus menanjak dan meliuk-liuk di perbukitan ke arah utara. Selama perjalanan, kiri kanan jalan terhampar pepohonan kelapa.
“Nanti kita mengunjungi bekas kerajaan Adonara di desa Sagu di pesisir pantai baru ke perbukitan di desa Adonara yang jadi awal pusat kerajaan Adonara,” kata camat Adonara Ariston Kolot Ola saat ditemui di kantornya.
Bekas kerajaan Adonara yang berdiri sekitar 1600 ini berada di pesisir utara desa Sagu. Masih tersisa susunan batu-batu ceper setinggi satu meter. Susunan bebatuan yang difungsikan sebagai pagar ini mengelilingi areal seluas satu hektar.
Hanya tersisa dua buah bangunan rumah sederhana beratap seng yang mulai berkarat dan berdinding papan. Persis di sampingnya terdapat sebuah sumur tua yang masih digunakan.
“Dulunya sumur ini merupakan tempat permandian raja yang disampingnya dilengkapi dengan kolam. Namun kolam tersebut hanya tersisa puing-puing saja,” kata Hamka Muhammad Sarabiti (58) penjaga rumah.
baca juga : Menikmati Koja Doi, Desa Peraih Sustainable Tourism. Apa Keunikannya?
Selain bekas puing bangunan, terdapat sebuah masjid yang dibangun raja Arakian Kamba berdampingan dengan istana raja. Disini juga terdapat kuburannya.
Sisa bangunan bekas kerajaan mengalami kehancuran ketika gempa dahsyat disertai tsunami menguncang pulau Flores 12 Desember 1992.
Di bekas rumah raja, kata Arifin Nueng Ape (63) keturunan raja Adonara, masih tersimpan dua buah keris dan 5 buah peci kuno. Ruang tamu rumah sederhana ini juga dihiasi dua meja bundar dari marmer dengan penyangga kayu jati berukir.
“Meja ini dipesan raja dari Jepara saat beliau menjabat dan memindahkan ibukota kerajaan ke Sagu sekitar tahun 1783. Ini merupakan salah satu peninggalan yang masih tersisa,” kata Arifin.
Benteng dan Meriam
Perjalanan pun berlanjut ke desa Adonara, awal pusat kerajaan Adonara kurun 1600-1780. Wilayah ini berada di atas bukit karang, berhadapan dengan laut utara. Dari ketinggian kampung Adonara, pulau Flores terlihat di pelupuk mata.
Ujung jalan masuk, tak jauh dari kantor desa Adonara di bagian barat jalan terdapat sebuah bangunan tua dari bebatuan. Bangunan ini biasa dinamakan benteng Portugis.
“Bangunan ini memang disebut benteng Portugis dan sepertinya dibangun oleh orang Portugis. Dulunya benteng dibangun keliling kampung mengitari tebing yang berhadapan dengan laut,” kata Abdul Wahid, keturunan Raja Adonara, Ana Kotah.
menarik dibaca : Flores Itu Tak Hanya Pulau Komodo dan Danau Kelimutu
Di ujung utara tebing tersebut terdapat gua yang dulunya dipakai sebagai tempat bersembunyi saat berperang menghadapi musuh. Di sekeliling kampung juga ditanami pohon Kaktus sebagai pagar dan melindungi kampung.
Di dalam benteng setinggi lima meter itu terdapat sebuah lubang. Di ujung lubang ditaruh dua buah meriam yang moncongnya menghadap ke arah luar kampung.
Meriam tua berdiameter pangkal 30 cm banyak bertebaran di perkampungan Adonara ini. Meriam berbahan besi bertuliskan bahasa Portugis, sedangkan meriam berbahan kuningan bertuliskan huruf Arab.
Sayangnya, meriam-meriam tua banyak yang tidak terawat dan dibiarkan bertebaran dimana-mana. Bahkan benteng pun dibongkar masyarakat agar ada jalan keluar dari kampung tersebut.
“Kampung Adonara ini dulu nama sebenarnya Don Nara (Don artinya orang besar Nara artinya sekutu), kampungnya orang-orang besar yang bersekutu. Dulu di sekeliling bukit merupakan perkampungan,” terangnya.
Danau Unik
Di Desa terdapat sebuah danau. Menurut Abdul Wahid, danau tua itu masuk wilayah kekuasaan Demon. Tahun 1926 residen Timor datang sehingga terjadi pergeseran batas kekuasaan dan masuk wilayah kekuasaan Paji.
Dahulunya danau ini tidak bernama. Sekitar tahun 1960-an, mantan kepala desa Adonara, Almarhum Ahmad Bapala dan Nuen Ape, ayah Abdul Wahid memberikan nama danau itu Kota Kaya.
Danau Kota Kaya merupakan danau air tawar meskipun berada persis di dekat bibir pantai. Dahulu, kedalamannya 5 meter tapi karena sedimen maka mulai berkurang menjadi hanya sekitar dua meter.
“Bebek Asutralia dulu sering mengungsi ke sini saat musim dingin di Australia. Banyak juga bangau di danau yang penuh ikan bandeng ini,” tuturnya.
Pepohonan bakau terlihat tumbuh subur mengelilingi danau dan pesisir pantai. Sekitar tahun 1989 perusahaan ikan PT. Bali Raya ingin menjadikan danau ini sebagai pengembangbiakan ikan untuk umpan memancing kapal Huhate miliknya.
Bakau ditebang secara besar-besaran untuk budidaya bandeng. Perbukitan di selatan seakan memagari danau. Namun saat hujan, air dan lumpur mengalir dari lerengnya memenuhi danau.
“Perlu dilakukan pengerukan dasar danau yang dipenuhi lumpur. Pemukiman di dekatnya juga membuat luas danau berkurang akibat pembangunan rumah. Perlu ada aturan desa yang mengaturnya,” harap Abdul.
perlu dibaca : Demi Konservasi, Pulau Komodo tetap Dibuka dengan Pembatasan Wisatawan. Seperti Apa?
Andi Muhammad, warga Dusun 4, Desa Adonara bercerita, saban tahun dimusim kemarau air danau berkurang. Tapi debit air kembali meningkat saat musim hujan.
Kemarau tahun 2019 ini yang terparah. Awal Juli air danau mulai menyusut, menyisakan air berkedalaman satu meter di tengah danau.
Andi mengatakan ada seekor buaya di danau ini, tetapi tidak pernah memangsa manusia. Masyarakat pun tidak berani menangkap ikan secara besar-besaran di danau ini karena ada pantangan.
“Kalau buayanya ganas maka pasti kami warga yang bermukim di sekitar danau pasti terancam. Tapi belum pernah buaya tersebut memangsa manusia,” katanya.
Ikan bandengnya pun berukuran besar dan melimpah. Setiap awal bulan puasa, ikannya ditangkap untuk dibagi kepada masyarakat desa. Bahkan ada masyarakat yang menjualnya.
“Kalau pemerintah desa mau dijadikan tempat wisata kami masyarakat sekitar sepakat,” pungkasnya.