Mongabay.co.id

Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah

 

 

Kegiatan tidak ramah lingkungan yang terjadi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tidak hanya berdampak pada kehidupan manusia, tetapi juga merusak habitat satwa liar dilindungi.

Berdasarkan data penelitian Randi Syafutra, Hadi Sukadi Alikodra, dan Entang Iskandar yang diterbitkan dalam Asian Primates Journal 2019, dari 657.510 hektar tutupan hutan di Kepulauan Bangka Belitung [luasan ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Indonesia No. 357/Menhut-II/2004 tentang Kawasan Hutan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung], hanya 28 persen yang relatif tidak terganggu. Sisanya, 72 persen terdegradasi.

“Hutan di Bangka saat ini, banyak yang dikonversi menjadi tambang timah ilegal, perkebunan sawit, dan permukiman. Selain itu, aktivitas jual beli satwa juga berpengaruh terhadap berkurangnya sejumlah satwa langka di Bangka Belitung,” kata Randi Syafutra, peneliti satwa di Pulau Bangka, pekan pertama Februari 2020, di Pangkalpinang.

Baca: Madu Kelulut, Komitmen Warga Labuh Air Pandan Menjaga Alam

 

Kukang bangka [Nycticebus bancanus]. Foto: Randi Syafutra

 

Data SLHD [Satuan Lingkungan Hidup Daerah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2016, menunjukkan satwa seperti rusa sambar mulai sulit ditemui. Sementara mentilin [Cephalopachus bancanus bancanus] atau tarsius bangka yang merupakan fauna identitas Kepulauan Bangka Belitung kini berstatus Rentan [Vulnerable/VU] berdasarkan IUCN Red List.

Berikutnya, kukang [Nycticebus bancanus], trenggiling [Manis javanica], kijang [Muntiacus muntjak] dan binturong [Arctictis binturong], sedikit dari sekian banyak spesies satwa dilindungi, yang mulai susah ditemukan di hutan Kepulauan Bangka Belitung.

“Mentilin, kukang, dan binturong merupakan spesies kunci ekosistem karena pemakan buah dan serangga. Semakin berkurangnya tutupan hutan serta pakan alami yang sulit, membuat spesies ini terancam,” kata Randi.

Baca: Jejak Ekologi Bangka Hari Ini [Bagian 1]

 

Kukang [Nycticebus bancanus] yang berada di PPS Alobi, Kepualauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mentilin dan kukang mempunyai kemiripan, baik dari segi biodiversitas habitatnya seperti hutan dengan tutupan padat, yang kini banyak tersebar di hutan sekunder, serta peranan pentingnya dalam ekosistem hutan.

Mentilin adalah primata karnivora yang memangsa serangga [misalnya, kumbang, semut, belalang, jangkrik, kecoak, ngengat, kupu-kupu, dan jangkrik] dan vertebrata [misalnya, burung, kelelawar buah kecil, laba-laba, katak, kadal, dan tikus].

Baca juga: Jejak Ekologi Bangka Hari Ini [Bagian 2]

 

Binturong di PPS ALOBI, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Mentilin menjadi pengontrol populasi serangga. Tanpa atau hilangnya mentilin di Bangka, populasi serangga akan membludak dan menjadi hama di perkebunan, seperti perkebunan lada, dan tentunya menggangu ekosistem. Sedangkan kukang, umumnya sebagai penebar benih yang sama halnya dengan binturong,” jelas Randi.

“Jadi wajar, kalau mentilin jadi maskot Bangka Belitung karena perannya sangat penting bagi hutan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat,” katanya.

 

Rusa Sambar, satwa yang perlahan kehilangan tempat hidupnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Masih menurut Randi, sebaran populasi mentilin di Pulau Bangka berada di beberapa wilayah. Banyaknya distribusi, dipengaruhi semakin jauh jarak habitatnya ke permukiman.

“Sedangkan kukang, sering ada di hutan karet yang juga ditanami dengan pohon buahan seperti cempedak, nangka dan petai,” lanjut Randi.

 

Mentilin yang perlahan kehilangan habitat. Foto: Dok. FLORA FAUNA BANGKA [F2B]

 

“Bagi lingkungan dan manusia, sejumlah satwa ini berperan penting sebagai spesies indikator kesehatan ekosistem lingkungan. Tanpa mereka, ekosistem lingkungan di Bangka-Belitung akan collapse jika keberadaannya menurun apalagi punah,” jelasnya.

 

Mentilin adalah primata karnivora yang memangsa serangga dan vertebrata. Foto: Dok. FLORA FAUNA BANGKA [F2B]

 

PPS ALOBI, sebuah harapan

Melihat kian terdesaknya sejumlah satwa di Bangka-Belitung, Yayasan Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa [PPS] ALOBI [Animal Lover Bangka Island] Bangka Belitung didirikan pada November 2019. Awalnya, ini merupakan komunitas pencinta hewan.

Meskipun seumur jagung, PPS ALOBI menjadi satu dari lima PPS di Indonesia yang menerima serahan sejumlah satwa yang terluka ataupun terjebak konflik dengan manusia dari luar daerah seperti Lampung, Sumatera Selatan, dan Riau.

 

Mentilin yang nasibnya terancam punah. Foto: Randi Syafutra

 

“Dulu, kami sempat pelihara hewan. Namun, akhirnya kami sadar perbuatan itu salah dan kami bebaskan seluruhnya. Hingga saat ini, sekitar 6.400 individu hewan telah kami lepasliarkan di hutan,” kata Langka Sani, pendiri sekaligus Ketua PPS ALOBI Bangka Belitung, pekan pertama Februari 2020.

 

Pelepas liaran burung elang oleh PPS ALOBI di kawasan hutan lindung Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Dok. PPS ALOBI

 

Saat ini, PPS Alobi memiliki belasan anggota tetap dan mempunyai relawan hampir di seluruh Bangka dan Belitung. Kegiatannya di Air Jangkang, Dusun Sinar Rembulan, Desa Riding Panjang, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Lokasi ini berupa kawasan reklamasi PT. Timah. Di Pangkalpinang juga, terdapat penangkaran satwa sekaligus sekretariat PPS ALOBI yang menjadi rumah dan pusat rehabilitasi satwa.

“Kami aktif mengawal sejumlah kasus jual beli satwa, sosialisasi ke masyarakat, serta mendorong kepedulian Pemerintah Provinsi Bangka Belitung terhadap keberlangsungan satwa. Tahun ini, kami berhasil mendorong keluarnya SK [Surat Keputusan] pembentukan satuan tugas penyelamatan satwa serta imbauan pemerintah terkait perdagangan satwa,” lanjut Langka Sani, yang belajar konservasi satwa di Australia.

 

Ketika Bangka dan pulau-pulau sekitar dikeruk habis timahnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, kasus jual beli satwa ilegal sering terjadi di Bangka Belitung. Penyebabnya, kurangnya pemahaman masyarakat terkait satwa liar dilindungi.

“Masyarakat begitu awam. Itulah mengapa kami tengah menggencarkan sosialisasi ke tingkat tapak, karena warga setempat yang berpeluang menjadi kader konservasi. Mereka hidup dekat habitat satwa,” kata Adrian Valentino, Kepala Divisi Animal Rescue PPS ALOBI.

“Semoga, kesadaran masyarakat meningkat. Pemerintah juga harus berperan dalam hal penentuan kawasan khusus untuk kelangsungan hidup satwa liar yang aman dari gangguan manusia,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version