Mongabay.co.id

Rempah dan Jejak Peradaban Bahari di Kepulauan Bangka Belitung

Perkebunan lada merupakan perkebunan skala besar yang dikembangkan di era pemerintahan kesultanan dan kolonial Eropa, selain karet, yang masih bertahan di Bangka dan Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hampir sebulan saya melakukan kunjungan ke Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Ini merupakan kunjungan terlama saya, dibandingkan sebelumnya, di pulau yang terkenal akan lada dan timahnya. Kunjungan ini melahirkan pertanyaan yang membuat saya gelisah, mampukah Kepulauan Bangka Belitung bertahan dalam beberapa tahun ke depan?

Pertanyaan tersebut muncul setelah saya mengelilingi pulau yang luas daratannya hanya 1,191 juta hektar dengan penduduk sekitar 789.809 jiwa, selalu ditemukan penambangan timah rakyat dan perkebunan monokultur skala besar [sawit]. Dapat dikatakan, hampir setiap desa memiliki hubungan dengan aktivitas penambangan, baik di masa lalu maupun saat ini.

Hamparan pasir atau lubang eks tambang merupakan pemandangan biasa di Pulau Bangka. Bahkan, tidak sedikit kawasan hutan mangrove berubah menjadi pantai pasir yang dipenuhi ponton-ponton penambangan timah rakyat atau tambang inkonvensional [TI].

Selain itu, ancaman wilayah pesisir [mangrove] bukan hanya penambangan timah. Sejumlah pertambakan udang dan pariwisata juga memanfaatkan wilayah ini.

Baca: Jejak Ekologi Bangka Hari Ini [Bagian 1]

 

Perkebunan lada merupakan perkebunan skala besar yang masih bertahan di Bangka dan Belitung saat ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Peradaban Timah

Saya cukup terkejut membaca artikel berjudul “Masyarakat Bangka & Peradaban Timah” yang ditulis Dato Akhmad Elvian, budayawan dan sejarawan Bangka Belitung, secara bersambung di babelpos.co.

Keterkejutan saya ini karena kalimat “peradaban timah”. Sebab di balik “peradaban timah” melahirkan asumsi jika peradaban masyarakat Kepulauan Bangka Belitung saat ini dibangun oleh budaya ekstraktif.

Logikanya, timah merupakan mineral yang didapatkan dengan cara ditambang. Aktivitas menambang adalah kegiatan usaha ekstraktif yakni menggali, mengambil, dan mengolah sumber daya alam secara langsung. Kegiatan menambang akan menyingkirkan pohon, hewan, termasuk juga manusia yang hidup di atasnya [bentang alam].

Semua data dan informasi, seperti pembentukan kota atau permukiman, arsitektur, serta genealogi, mungkin ada benarnya terkait dengan masyarakat industri penambangan timah. Tapi, apakah benar telah melahirkan sebuah peradaban?

Saya rasa tidak. Sebab ada beberapa wilayah permukiman dan kebun di Kepulauan Bangka Belitung yang bebas dari penambangan timah. Misalnya, di wilayah yang telah dijaga secara “gaib” oleh para dukun. Yang membuat pasir timah tidak dapat ditambang di wilayah tersebut.

Tujuannya, agar tidak ada penambangan timah yang dinilai merusak kebun dan sawah.

Belum lagi masih ada kawasan hutan larangan, serta aktivitas ekonomi berkelanjutan, seperti lada dan buahan hutan [durian, petai, dan jering].

 

Inilah hutan yang masih bertahan di Bangka, hutan adat Rimba Keratung. Di masa Kedatuan Sriwijaya hutan difungsikan sebagai penyedia bahan baku pelabuhan dan perkapalan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Semua uraian Elvian tersebut dapat dikatakan membaca Bangka Belitung dari masa Kesultanan Palembang dan kolonial. Meskipun menyinggung masa Kedatuan Sriwijaya, tampaknya perlu perdebatan panjang kemungkinan timah sebagai andalan kerajaan maritim tersebut dari Kepulauan Bangka Belitung.

Elvian seolah melupakan tentang tradisi rempah-rempah, seperti lada, pinang, gaharu, kemenyan, yang juga melahirkan peradaban di Nusantara, termasuk di Kepulauan Bangka Belitung. Peradaban yang melahirkan bangsa bahari, jauh sebelum hadirnya Kesultanan Palembang dan bangsa kolonial yang membawa para pekerja, perajin dan pedagang timah dari Tiongkok, Semenanjung Malaya, Patani, Laos, Kamboja, Siam dan Vietnam di Kepulauan Bangka Belitung.

Sebagai bangsa bahari, tentunya hidup sebagai masyarakat amfibi [Ary Prihardhyanto Keim, Etnobiolog], yang memanfaatkan daratan dan air. Yang hidup di sekitar sungai [DAS] dan pesisir. Masyarakat multikultural. Memanfaatkan air dan memanfaatkan daratan.

Jadi, asumsi saya, jika membaca Kepulauan Bangka Belitung sebelum masa Kesultanan Palembang dan kolonial, tidak akan dikenal masyarakat daratan dan masyarakat laut yang dinarasikan bangasa kolonial tersebut. Masyarakat yang menetap di wilayah tinggi [perbukitan] tetap terhubung budayanya dengan masyarakat pesisir karena adanya sungai. Atau, keduanya sama-sama hidup di sekitar air [sungai dan laut].

Kuliner macam Lempah Kuning sebenarnya sudah mencerminkan hal tersebut. Bumbu dari tanaman yang tumbuh di darat, dan ikan yang hidup di air.

Baca: Jejak Ekologi Bangka Hari Ini [Bagian 2]

 

Ketika Bangka dan pulau-pulau sekitar dikeruk habis timahnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Korban revolusi industri

Penambangan timah secara besar-besaran di Kepulauan Bangka Belitung, menurut saya, sebagai dampak revolusi industri yang berlangsung di Eropa pada awal abad ke-18 [1760-1830], yang dimulai dari penemuan mesin uap oleh James Watt, seorang ilmuwan asal Skotlandia.

Kesultanan Palembang memanfaatkan kebutuhan akan timah dari perusahaan industri di Eropa, yang kemudian membangun hubungan bisnis dengan VOC. Timah banyak dihasilkan dari Kepulauan Bangka Belitung yang masuk dalam kekuasaan Kesultanan Palembang.

Inggris kemudian mencoba menggantikan peranan VOC dengan memecah kekuatan politik di Kesultanan Palembang. Upaya ini berhasil. Inggris sempat menikmati bisnis timah dengan Kesultanan Palembang. Namun setelah adanya Konvensi London [Perjanjian Inggris-Belanda] pada 1 Januari 1803, membuat Inggris mengembalikan Bangka [Kepulauan Bangka Belitung] kepada Belanda [setelah VOC dibubarkan pada 1799].

Setelah berhasil menaklukkan Kesultanan Palembang, Belanda kemudian membubarkan kesultanan tersebut pada 1825. Kepulauan Bangka Belitung pun turut dikuasai Belanda, setelah adanya perlawanan para pemimpin dan rakyat yang setia dengan Kesultanan Palembang.

Sejak itu timah di Kepulauan Bangka Belitung dieksploitasi Belanda, yang tidak hanya mempekerjakan para penambang sebelumnya, yang didatangkan Kesultanan Palembang dan Inggris dari Semenanjung Malaka, Tiongkok, Laos, Vietnam, Patani, Siam dan Kamboja, juga mendatangkan pekerja baru dari Tiongkok.

Setelah Indonesia merdeka, timah terus dieksploitasi dari Kepulauan Bangka Belitung, sebab Revolusi Industri telah melahirkan moderenisme yang sangat mengandalkan industri.

Baca: Kisah Kota Kapur, Tentang Timah yang Terus Digali

 

Pasir timah yang ditemukan di Bangka dan pulau-pulau lainnya, baik di darat maupun laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pasca-reformasi, eksploitasi timah kian bertambah kencang, yang dikarenakan bebasnya penambangan timah rakyat. Penambangan timah rakyat ini kemudian menghadirkan pendatang baru, seperti dari Sumatera Selatan [Tulungselapan, Cengal, Air Sugihan dan Sungsang], juga Lampung, dan Jawa.

Selama industri di dunia terus membutuhkan timah, maka timah di Kepulauan Bangka Belitung terus dikeruk. Dilahap.

Menambang di Kepulauan Bangka Belitung tampaknya sulit berhenti. Sebab, timah di sini mengandung rare earth atau logam tanah jarang. Rare earth merupakan hasil ekstrak tin atau timah, sebagai campuran kebutuhan pembuatan magnet, elektronik, hingga senjata.

Potensi ini disampaikan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Luhut berharap Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan agar memanfaatkan industri pertambangan, dikutip dari Detikom.

Sebelumnya, Erzaldi yang mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Sinomax, sebuah perusahaan dari China. Sinomax akan join dengan perusahaan lokal, agar nantinya ada produk hilirisasi dari timah.

Baca: Mangrove di Bangka Belitung, Beda Dulu dan Sekarang Perlakuannya

 

Limbah tambang timah yang mengandung unsur radioakif dapat memicu tumbuhnya sel kanker. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Peradaban Bahari

Aryandini Novita, arkeologi bawah laut dari Balai Arkeologi [Balar] Sumatera Selatan, mengatakan masyarakat asli di Kepulauan Bangka Belitung hidup dalam kebudayaan bahari. Mereka hidup tidak jauh dari sungai dan laut. Sungai merupakan penghubung mereka dengan daratan hingga ke wilayah tinggi.

Sebagai masyarakat bahari, mereka sangat arif dengan lingkungan. Baik hutan, mangrove, maupun laut. Sebab jika hutan, mangrove dan laut rusak, mereka akan kehilangan sumber kehidupan.

Bahkan, di masa lalu, dari masa sebelum Kedatuan Sriwijaya hingga masa kolonial, Kepulauan Bangka Belitung merupakan wilayah yang sangat aktif dengan perniagaan laut.

Buktinya, yakni banyak ditemukan bangkai kapal dari masa Kedatuan Sriwijaya hingga masa kolonial, termasuk keberadaan puluhan mercusuar berusia seratusan tahun yang dibuat bangsa kolonial. Bangkai kapal ini ditemukan pula berbagai artefak yang terkait dengan berbagai produk budaya di Nusantara maupun dari luar.

Di Kepulauan Bangka Belitung terdapat tiga “pintu masuk” pelayaran yakni Selat Bangka [berbatasan dengan Pulau Sumatera], yang merupakan pintu masuk pelayaran dari arah Selat Malaka menuju Jawa dan Indonesia Timur. Selat Karimata [berbatasan dengan Kalimantan] merupakan salah satu jalur pelayaran dari Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa, dan Selat Gelasa yakni penghubung Laut China Selatan, Selat Bangka, dan Laut Jawa.

Artinya, kapal-kapal niaga yang berasal dari arah barat maupun utara jika ingin singgah di pelabuhan Kedatuan Sriwijaya di Palembang, akan melintas di Selat Bangka. Sementara, jika tidak singgah di Kedatuan Sriwijaya, maka jalur yang dilalui adalah Selat Gelasa atau Selat Karimata.

Baca juga: Benda Berharga di Bawah Laut Itu Bukan Harta Karun, tapi Cagar Budaya

 

Lempah kuning, kuliner khas Bangka Belitung yang kaya rempah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bambang Budi Utomo, arkeolog dan peneliti Kedatuan Sriwijaya, menyebutkan saat Kedatuan Sriwijaya menguasai Bangka, mereka sudah mendapatkan masyarakat yang menetap di pulau tersebut. Mereka diyakini beragama Hindu. Bahkan wilayah yang ditaklukkan tersebut merupakan pelabuhan atau bandar yang berada di tepi Menduk, tidak jauh dari laut, yang kemudian disebut Kota Kapur pada masa Belanda.

Bukti itu menunjukan jika masyarakat Bangka, pada masa pra Sriwijaya, juga bangsa bahari seperti halnya berbagai bangsa lainnya di Nusantara.

 

Candi Kota Kapur yang berada di tengah perkebunan karet Kota Kapur di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Ary Prihardhyanto Keim, Etnobiolog, mengatakan leluhur Bangsa Indonesia adalah bangsa bahari, hidup mereka sangat bergantung dengan mangrove. Sementara Kepulauan Bangka Belitung merupakan kepulauan kaya hutan mangrove, meskipun saat ini luasannya terus berkurang karena aktivitas ekonomi ekstraktif.

Bahkan, di Pulau Bangka, juga ditemukan bukti kehidupan manusia purba, berupa gambar cadas [Rock Art] dengan gaya non figuratif di Bukit Batu Kepale, Bukit Nenek, Desa Gudang, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan.

Gambar cadas di batuan granit ini berwarna merah, merupakan temuan keempat tradisi gambar cadas Austronesia, setelah di Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat.

Gambar cadas berwarna merah ini hanya ada dua di Indonesia bagian barat, yakni di Gua Harimau, Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU], Sumatera Selatan, dan di Bukit Batu Kepale.

“Meskipun saat ini belum dipastikan usia lukisan manusia purba tersebut, tapi membuktikan sudah ada manusia purba di Pulau Bangka, yang tentunya menjadi cikal manusia masyarakat bahari,” kata Sigit Eko Prasetyo, arkeolog prasejarah dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan.

 

* Taufik Wijayajurnalis, penyair dan pekerja seni di komunitas Teater Potlot. Menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version