Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 15/PUU-XIX/2021 membawa angin segar bagi pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia. Mengapa? Putusan ini mengubah satu hal penting dalam UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu penjelasan Pasal 74.
Sebelum diubah, penjelasan Pasal 74 UU No. 8/2010 hanya izinkan penyidik dari enam lembaga (KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pajak, dan BNN) yang berwenang mengusut tindak pidana pencucian uang (TPPU). Berdasarkan putusan MK ini, bukan hanya penyidik dari enam lembaga itu yang boleh mengusut TPPU, juga dari instansi lain yang diberikan kewenangan oleh UU untuk penyidikan, salah satunya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (PPNS KKP).
Kejahatan perikanan di Indonesia merupakan musuh besar terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan. Sejak Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada 2014, genderang perang ditabuh keras, berbagai kebijakan keluar. Mulai moratorium kapal ikan eks-asing, pelarangan ABK asing, pelarangan transhipment di tengah laut, pelarangan alat tangkap tak ramah lingkungan, hingga sikap tegas menenggelamkan kapal pelaku penangkapan ikan ilegal.
Meski begitu, ada yang dirasa kurang dari pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia. Selama ini, pelaku yang ditangkap dan diadili terkait tindak pidana perikanan kebanyakan para aktor lapangan, seperti nahkoda atau bass (kepala kamar mesin). Mereka ditangkap karena melanggar UU Perikanan (UU No. 31 tahun 2004 Jo UU No.45 /2009). Pelanggarannya, seperti menangkap ikan dengan alat tangkap yang dilarang, tidak memiliki surat izin penangkapan ikan, menangkap ikan di wilayah tak sesuai izin, dan penangkapan ikan ilegal oleh kapal ikan asing. Bisa dibilang mereka yang ditangkap hanya bagian dari hilir atau eksekutor lapangan, bukan hulunya, para pemodal atau penyandang dana.
Selama ini, sulit menangkap pemodal atau yang mendanai karena PPNS KKP hanya “bersenjatakan” UU Perikanan. Di mana, UU itu memiliki keterbatasan dan tak dapat menelusuri uang yang berkaitan dengan pidana perikanan dan menangkap aktor pemodalnya.
Baca juga: Penyelundupan Lobster Marak di Masa Pandemi
Berburu aktor pemodal
Kewenangan baru bagi PPNS KKP dalam mengusut tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan pidana bidang kelautan dan perikanan (Pasal 2 Ayat 1 Huruf Y, UU No. 8/2010) akan jadi senjata baru dalam memburu para aktor pemodal. Mereka selama ini mendapatkan banyak keuntungan dari kejahatan perikanan dan tak tersentuh.
Perlu diingat pula pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia masih sarat oligarki, hanya segelintir orang menguasai dan memonopoli sumber daya itu.
Dengan ada oligarki membuat tindak pidana pencucian uang bidang kelautan dan perikanan sering terjadi.
Pada era globalisasi dan modern saat ini, kejahatan perikanan tidak bisa dipandang sempit, karena ada beberapa kejahatan lain yang seringkali menyertai. Seperti penyelundupan dan perdagangan manusia, perbudakan, dan penyelundupan barang-barang ilegal.
Pelakunya pun bukan hanya dari satu negara tetapi lintas negara dan terorganisasi rapi, bahkan resmi menggunakan bendera perusahaan atau yang disebut sebagai transnational organized crime. Contoh, perbudakan terhadap warga negara asing pada salah satu perusahaan perikanan di Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku yang terungkap pada 2015.
Kasus lain yang belakangan ini marak, penyelundupan benih lobster dari Indonesia ke luar negeri. Harga pasaran ekspor benih bening lobster 2020 per/benih berkisar antara Rp50.000 -Rp250.000 sesuai jenis dan kondisi. Berapa besar aliran uang mengalir dalam bisnis ini dengan sekali penyelundupan bisa puluhan ribu benih.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, selama 2021, sudah ada 52 kasus penyelundupan benih lobster yang digagalkan. Kondisi ini menunjukkan, jaringan penyelundupan benih lobster di Indonesia terbilang banyak. Uang yang berputar dalam bisnis ilegal ini tidak sedikit. Kejahatan yang melibatkan perputaran uang besar, tentu tersistematis dan melibatkan jaringan luas. Untuk menelusuri kemana uang-uang ini mengalir dan demi menangkap oknum pemodal perlu kewenangan menyidik tindak pidana pencucian uang.
Dalam Blue Paper : Organised Crime in the Fisheries Sector (2020) dijelaskan, kejahatan terorganisir dalam perikanan bentuknya sangat beragam, antara lain berkaitan keuangan adalah frauding, korupsi, kejahatan perpajakan, dan pencucian uang. Hal ini menguatkan bahwa kejahatan perikanan bersifat multi dimensi. Karena itu, keputusan MK dengan membolehkan penyidik dari KKP mengusut TPPU yang berkaitan dengan pidana perikanan dan kelautan adalah sangat tepat. Terlebih kerugian Indonesia karena kejahatan perikanan diperkirakan mencapai triliunan rupiah setiap tahun.
Dengan menelusuri aliran dana kejahatan perikanan sangat penting, bukan hanya untuk menjerat dan menangkap pemodal juga menelusuri apakah ada kejahatan lain yang menyertai. Selain itu, dengan mengusut dan mengungkap tindak pidana pencucian uang dari kejahatan perikanan akan memberikan potensi pemasukan uang bagi negara, walaupun itu bukan yang utama. Yang utama, mencegah kejahatan perikanan dari hulu (pemodal).
Kementerian Kelautan dan Perikanan harus bergerak cepat memberikan pelatihan teknis tambahan bagi penyidik dalam mempelajari tindak pidana pencucian uang bidang kelautan dan perikanan. Juga membangun kerja sama solid dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana dalam kasus-kasus kejahatan perikanan.
Baca juga : Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa
Penulis: Anta Maulana Nasution, Peneliti Bidang Kemaritiman Pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Tulisan ini merupakan opini penulis.
*****
Foto utama: Penyelundupan benih lobster. Selama ini pelaku yang tertangkap dalam aksi penyelundupan benih lobtr banyak pemain lapangan, seperti kurir atau pembawa. sedangkan penodal terputus. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia