- Harga keperluan pangan seperti cabai mahal, pada 2018. Kondisi ini mendorong para perempuan dari Dusun Embung Jago, Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menanam di pekarangan rumah. Tujuannya, penuhi pangan mandiri dan kolektif dengan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT).
- Kelompok perempuan ini bercocok tanam dengan cara organik. Hasil panen itu, ada yang sudah mencukupi kebutuhan keluarga masing-masing, bahkan ada yang bisa bagi-bagi ke tetangga terdekat. Di antara ibu-ibu anggota itu kadang saling tukar hasil panen.
- Para perempuan yang tergabung dalam KWT ini sebagian besar pernah jadi buruh migran atau keluarga buruh migran. Dari 18 anggota awal KWT, 15 mantan buruh migran. Hanya tiga yang tidak pernah jadi buruh migran, tetapi bagian dari keluarga buruh migran saja.
- Hayu Dyah Patria, peneliti dan ahli teknologi pangan dan pendamping masyarakat dari lembaga Mantasa menjelaskan, KWT di Jenggik Utara ini inisiatif sangat bagus dari kelompok perempuan. Ini contoh kemandirian pangan dari lingkup terkecil, yaitu rumah tangga dan komunitas. Kelompok tani perempuan ini juga sudah memberikan contoh bagaimana sistem pangan bertransformasi.
Harga cabai melambung tinggi, sampai Rp120.000 per kg. Mau makan cabai pun susah. Kondisi ini, mendorong para perempuan dari Dusun Embung Jago, Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menanam di pekarangan rumah pada 2018. Tujuannya, penuhi pangan mandiri dan kolektif dengan membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT).
“Ceritanya, ide membentuk KWT itu muncul ketika musim cabai mahal. Kami bingung. Bagaimana dapat memenuhi pangan untuk dimasak di dapur. Akhirnya, saat kumpul sama ibu-ibu sekitar, dapat ide bentuk KWT. Kebetulan saya dipercaya jadi ketuanya,” kata Baiq Zuhriyati, Ketua KWT saat ditemui Mongabay, belum lama ini.
Setelah terbentuk, Ibu-ibu ini bertahap menanam tanaman pangan seperti rempah dan sayur-mayur di pot, polybag atau ke tanah di halaman dan samping rumah masing-masing.
Awal mula bibit dan benih dengan cara urun benih dan uang sesama anggota.”Awal bentuk, anggota 18 orang. Pada 2020, melakukan penambahan anggota jadi 30 orang,” katanya.
Anggota bertambah saat ada penawaran benih melalui program pekarangan pangan lestari (P2L) dari Dinas Ketahanan Pangan dan diajak bergabung jadi binaan mereka.
Berdasarkan urun rembuk anggota, katanya, KWT menerima tawaran itu dan mengajukan proposal. Sampai Agustus 2022, belum ada informasi lanjutan.
“Kami sudah ajukan proposal. Tapi nggak ada kabar lagi. Pada 2021, pernah ada yang respon dan bilang mungkin 2022 bisa dapat. Nyatanya, sampai saat ini belum ada kabar.”
Mereka tak menunggu bantuan baru bergerak. Karena niat dari awal pangan mandiri, mereka pun terus menanam berbagai tanaman pangan dan benih dan bibit yang dibeli sendiri.
“Dibantu ya bersyukur, nggak dapat pun nggak papa. Saat ini, kelompok kami sedang melakukan peremajaan dan memulai penanaman.”
Mereka tanam tanaman secara organik. Antara lain, tanaman mereka jahe, kunyit dan serai. “Kebetulan, saya suka buat jamu berbahan jahe, kunyit, serai dan lain-lain,” kata Zuhriyati.
Hasil panen itu, ada yang sudah mencukupi kebutuhan keluarga masing-masing, bahkan ada yang bisa bagi-bagi ke tetangga terdekat. Di iantara ibu-ibu anggota itu kadang saling tukar hasil panen.
Desa buruh migran
Para perempuan yang tergabung dalam KWT ini sebagian besar pernah jadi buruh migran atau keluarga buruh migran.
“Dari 18 anggota awal KWT, 15 mantan buruh migran. Hanya tiga yang tidak pernah jadi buruh migran, tetapi bagian dari keluarga buruh migran saja.”
Zuhriyati, misal bukan buruh migran tetapi mantan suaminya buruh migran. Dia memilih bertahan di NTB jadi guru honorer.
Jenggik Utara, desa yang ditetapkan sebagai Desa TKI (tenaga kerja Indonesia)- sekarang PMI- dari sekian banyak desa di NTB.
Penyematan itu diresmikan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) disaksikan Kementerian Tenaga Kerja pada 26 Mei 2014.
Sejak 2017, BNP2TKI berubah jadi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) berdasarkan UU Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Disusul, Peraturan Presiden Nomor 90/2019 tentang Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Zuhriyati aktif mengadvokasi buruh migran, soal hak anak juga perkawinan anak sejak 2008, sejak tak jadi guru lagi.
Sebelumnya, dia mengajar di beberapa sekolah, dari taman kanak-kanak sampai sekolah dasar. Pada 2008, ada tuntutan kuliah karena guru harus S-1. Dia diuntut kuliah berarti meninggalkan anaknya, Minha, sementara waktu. Dia memilih berhenti jadi guru karena Minha masih kecil.
“Sejak saat itu, saya bersama beberapa orang mengadvokasi buruh migran di Advokasi Buruh Migran Indonesia Lombok Timur. Satu-satunya organisasi buruh migran di Lombok Timur.”
Aktivitas menanam dan pertemuan bersama KWT, dia lakukan di tengah-tengah jeda aktivitas menangani kasus-kasus buruh migran bersama ADBMI.
Minhatul Aula, anak Zuhriyati, merasakan sayur mayur dan bumbu-bumbu bisa mudah diperoleh dan tak perlu beli. “Ide KWT luar biasa. Dapat menikmati pangan mandiri dan gratis. Ibu-ibu dapat saling bagi hasil panen.”
Minha bilang, ibu-ibu KWT memanfaatkan kotoran ternak itu untuk pupuk organik tanaman. Kebetulan, di daerah mereka ada yang punya usaha peternakan ayam, pedaging maupun petelur.
Saat pandemic COVID-19 sedang parah, ibu-ibu di KWT semangat menanam. Mereka tidak hanya tanaman pangan, juga tanaman hias.
Fajar Bambang Hirawan, peneliti Ketahanan Pangan dari Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) merespon KWT di Jenggik Utara ini.
KWT, katanya, bentuk perwujudan kegiatan ekonomi inklusif. Penguatan ekosistem KWT dengan menanam secara organic ini perlu didukung pemangku kepentingan, mulai pemerintah daerah, swasta, sampai lembaga non pemerintah. Kalau KWT mendapat dukungan dari banyak pihak, katanya, akan lebih mudah, bukan hanya bertahan bahkan berkembang lebih luas lagi.
“Saya berharap ibu-ibu KWT, kaum perempuan terus bergerak maju untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi lebih inklusif. Perempuan lebih berperan dalam pembangunan dengan mengoptimalkan sumber daya domestik, tanpa harus pergi ke luar negeri sebagai buruh migran,” katanya.
Hayu Dyah Patria, peneliti dan ahli teknologi pangan dan pendamping masyarakat dari lembaga Mantasa menjelaskan, KWT di Jenggik Utara ini inisiatif sangat bagus dari kelompok perempuan.
“Ini contoh kemandirian pangan dari lingkup terkecil, yaitu rumah tangga dan komunitas. Kelompok tani perempuan ini juga sudah memberikan contoh bagaimana sistem pangan bertransformasi.”
Saat ini, bahasan ‘panas’ soal sistem pangan global sudah rusak dan tak seimbang hingga harus bertransformasi dan jadi sistem pangan lebih sehat dan inklusif.
Kelompok perempuan ini, ujar Hayu, dengan inisiatif mereka membagikan kelebihan hasil dan saling bertukar panen. Pola ini, katanya, membuktikan aspek inklusif, mereka merangkul warga untuk menikmati bahan pangan sehat, memastikan tak ada anggota kelompok kelaparan.
Inisiatif ini juga menjadi, katanya, kita bisa memangkas rantai pangan yang terlalu. Ketika rantai pangan lebih pendek, kata Hayu, makin bernutrisi pula bahan pangan mereka. “Ini inisiatif patut dipertahankan.”
Dia rekomendasikan, ibu-ibu Jenggik Utara ini mengubah nama kelompok agar tidak diasosiasikan dengan program buatan pemerintah. Hal ini juga menjaga agar kelompok mereka tidak dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin mengambil untung.
“Kebanyakan pemerintah suka mengklaim hasil kerja kelompok ketika kelompok itu sudah sukses, walau di awal-awal pembentukan mereka cuek atau memberikan bantuan setengah hati. Hal seperti yang sudah terjadi.” Dia usul misal, Kelompok Tani Perempuan atau semacam itu.
Dia juga sarankan, kelompok perempuan ini memperkuat sistem kelembagaan, termasuk kesolidan anggota dan membuat visi, misi maupun perencanaan matang bersama-sama. Dengan begitu, akan jadi acuan bagi mereka untuk menjalankan inisiatif dan tidak mudah beralih fokus.
Kemudian, tetap jeli dan berhati-hati dengan berbagai tawaran yang datang seperti benih dari pemerintah. “Kalau lihat politik pangan global, usaha pemerintah membuat petani tergantung pada benih buatan perusahaan. Benih bantuan mereka adalah benih hibrida, yang notabene benih mandul.”
Kemandirian pangan, katanya, harus diciptakan melalui kemandirian benih. “Gunakan hanya benih organik yang bisa terus dikembangbiakkan terus-menerus hingga kelompok tidak harus membeli benih setiap saat.”
Hayu bilang, Lombok kaya kacang-kacangan hingga tak perlu membeli benih. “Saya yakin masih banyak di rumah-rumah tangga menyimpan benih-benih lokal. Bahkan, di pasar Lombok saya mudah menemui penjual aneka jenis kacang-kacangan bisa jadi benih.”
*********