- Pembangunan infrastruktur Ibu Kota Negara Nusantara, mulai berjalan. Antara lain, proyek intake Sepaku atau normalisasi Sungai Sepaku. Lahan-lahan warga pun mulai terkena proyek ini. Masyarakat seperti Komunitas Adat Suku Balik, mulai merasakan dampaknya.
- Masyarakat Bulik khawatir ruang hidup mereka hilang. Kini, dengan proyek normalisasi sungai itu saja, pemakaman leluhur dan Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi, situs ritual bersejarah milik Masyarakat Suku Balik pun tinggal kenangan.
- Kekhawatiran atas kehadiran IKN Nusantara, yang mengancam ruang hidup Masyarakat Adat Suku Balik, mendorong terbentuknya Bolum Bawe Balik, ini sebuah perkumpulan perempuan adat dari Komunitas Balik.
- Bolum Bawe Balik, fokus mengadvokasi persoalan masyarakat adat Balik yang terancam kehilangan tempat tinggal oleh gencarnya pembangunan IKN Nusantara. Teranyar, mereka jadi motor penggerak warga untuk menggali situs-situs sejarah dan memetakan kembali batas-batas wilayah adat masyarakat Suku Balik yang meliputi Kampung Sepaku Lama, Mentawir, Pemaluan dan Maridan di Kecamatan Sepaku.
Becce, perempuan adat Balik, mengitari pekarangan belakang rumahnya di Kampung Sepaku Lama, sore itu. Dia melihat pembangunan Intake Sepaku Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang berjarak selemparan batu dari pekarangan rumahnya di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Becce menatap geliat proyek Intake Sepaku yang dirancang pemerintah untuk tempat pemasok air baku bagi masyarakat IKN Nusantara.
Lokasi pembangunan intake itu, katanya, dulu kawasan pemakaman para leluhur mereka, tempat puluhan jasad tetua Suku Balik disemayamkan.
“Di situ, puluhan makam keluarga hilang,” kata Becce menunjuk proyek intake.
Selain kompleks pemakaman, Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi, situs ritual bersejarah milik Masyarakat Suku Balik pun kini menyisakan kenangan.
Batu Badok merupakan batu yang berbentuk serupa badak, dipercaya sebagai tempat ritual untuk masyarakat membayar hajat. Sedang Batu Tukar Tondoi merupakan wadah untuk menaruh sesajen atau sesembahan. Ritual pada batu ini kerap dilakukan ketika ada anggota keluarga Suku Balik yang mengalami sakit.
“Semua hancur semenjak ada proyek itu,” ucap Becce.
Becce sudah menempati Kampung Sepaku Lama sejak lahir. Dia sedih melihat pemakaman dan sejumlah situs ritual Masyarakat Adat Balik hancur.
Sebenarnya Becce pernah merelakan sedikit lahan di belakang rumahnya untuk kepentingan proyek senilai Rp344 miliar itu. Kemudian, pikirannya berubah.
Becce berang karena merasa dikelabui pelaksana proyek, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, gegara luasan lahan yang dipatok tidak sesuai yang sebelumnya disepakati.
Dia jengkel karena tidak memberitahu terlebih dulu sebelum pengukuran dan pemasangan patok.
Patok yang terpasak pun dia cabut dengan berani pada 2022. “Ini bekas patok proyeknya. Kucabut memang. Kupindahkan. Ndak urus aku.”
Becce ingat sekali, aksi pencabutan patok yang dia lakukan berbuntut pemanggilan untuk menghadap pihak yang berwenang mengurusi Intake Sepaku. Becce tidak gentar ketika ditanya otoritas proyek soal alasan mencabut patok.
“Aku jawab saja ke mereka, itu rumahku, tanahku. Bapak yang datang ke sini. Aku hanya mempertahankan hak,” kata Becce menirukan dialog saat dipanggil pelaksana proyek.
Pembangunan intake ini bikin perubahan dan kerusakan lingkungan. Becce sudah rasakan dampaknya. Sebagai pembuat atap dari daun nipah dia jadi sulit dapatkan bahan baku.
Nipah kini kian sukar dicari. Selain karena banyak pohon ditebang untuk pembangunan, jarak juga lebih jauh.
Sejak Sungai Sepaku dibendung, aliran air di belakang rumahnya kering. Belum lagi dengan kekhawatiran ancaman serangan buaya yang kini makin sering meneror warga setelah banyak habitat rusak.
Becce yang dulu bisa melintasi sungai dengan perahu untuk mencari daun nipah, kini harus melewati jalur darat. Estimasi waktu yang mesti ditempuh sekitar 30 menit dengan sepeda motor.
“Sekarang, kalau pakai motor, hanya bisa membawa dua karung. Kalau dengan perahu, bisa bawa banyak, sampai 10 karung,” ceritanya.
Meski sulit, Becce akan terus bertahan. Sepaku Lama sangat bernilai bagi Becce dan warga Suku Balik lainnya, yakni sebagai tanah leluhur, tempat kelahiran, ruang mencari makan dan membangun hidup.
“Kita akan mempertahankan. Gak mau digusur, gak mau dipindah. Meskipun ganti rugi sesuai. Ndak akan mudah. Di tempat baru, akan susah untuk berusaha.”
Persoalan-persoalan yang dihadapi warga ini lantas mendorong Becce bergabung ke Bolum Bawe Balik, sebuah perkumpulan perempuan adat dari Komunitas Balik.
Boru Bawe Balik
Gerakan ini fokus mengadvokasi persoalan masyarakat adat Balik yang terancam kehilangan tempat tinggal oleh gencarnya pembangunan IKN Nusantara. Teranyar, mereka jadi motor penggerak warga untuk menggali situs-situs sejarah dan memetakan kembali batas-batas wilayah adat masyarakat Suku Balik yang meliputi Kampung Sepaku Lama, Mentawir, Pemaluan dan Maridan di Kecamatan Sepaku.
Sosok utama di balik Bolum Bawe Balik adalah Syamsiah. Perempuan Balik ini tinggal di Sepaku Lama, sekitar 300 meter dari rumah Becce.
Dalam satu tahun terakhir, dia sibuk mengorganisir gerakan dibantu Pandi, suaminya juga puluhan tetua adat Balik yang tinggal di kampung itu.
Syamsiah, keluarga dan warga lain was-was terusir dari tempat tinggal mereka karena proyek IKN Nusantara. Kediaman Syamsiah dan puluhan warga Sepaku Lama masuk dalam proyek penanganan banjir atau normalisasi Sungai Sepaku.
Proyek Balai Wilayah Sungai Kalimantan IV dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini bernilai Rp242 miliar dengan kontraktor PT Abipraya dan Prima KSO sejak 2023.
Proyek penanganan banjir atau normalisasi sungai ini terhubung dengan Intake Sungai Sepaku, yang sebelumnya sudah mengorbankan sebagian ruang hidup masyarakat di Sepaku.
“Rasanya, seperti mau dimatikan saja kita ini,” katanya.
Meski belum ada instruksi untuk pindah, dia khawatir melihat patok yang diduga untuk proyek pengentasan banjir itu telah terpasang di beberapa lahan warga di Sepaku Lama.
“Setau saya, di mana ada bendungan, ndak ada kehidupan.”
Warga Sepaku Lama juga sudah beberapa kali diajak bertemu dengan pemerintah. Dalam pertemuan awal sebelum pembangunan jalan, warga diberitahu kalau proyek akan jauh dari pemukiman, di perkebunan kayu atau hutan tanaman industri (HTI) dan lahan hak guna usaha (HGU).
Belakangan, proyek justru dibangun di Sepaku Lama, bersisian dengan pemukiman. “Artinya, cepat atau lambat warga harus meninggalkan tempatnya.”
Mayoritas warga keberatan dan memilih bertahan. Bagi mereka, nilai ganti rugi sangatlah kecil.
Rata-rata tanah di Sepaku Lama hanya berstatus segel, belum bersertifikat hak milik (SHM). Maka, warga dianggap berdiam di atas kawasan hutan negara. Oleh pemerintah, mereka hanya akan diberi ganti rugi senilai Rp250.000-Rp350.000 per m² untuk tiap rumah atau lahan yang terimbas proyek.
Dengan nominal itu, katanya warga yang tergusur tak akan mampu membeli tanah di wilayah lain, sekadar membangun tempat tinggal.
“Kalau punya tanah berhektar-hektar, ya ndak jadi masalah. Ini lho, cuma punya rumah kecil ini,” katanya.
Syamsiah memiliki sedikit lahan untuk berkebun, itu pun bersengketa, karena disebut masuk lahan HGU.
“Kami takut sekali diambil tanah kami. Di sini rumah kami, tempat turun-menurun kami, situs sejarah kami, kubur orang tua kami. Kalau kami pergi dari sini, itu semua situs sejarah dan kuburan orang tua pasti hancur. Pemerintah ndak akan mau tau,” katanya.
Pandi pun lantang menolak penggusuran. “Saya tidak mau meninggalkan sejarah untuk anak-cucu, jika orang tua mereka jadi sampah di tanah sendiri,” katanya.
Dengan alasan itu, Pandi akan tetap bertahan. Meski sebagian warga lain, ada yang sudah merelakan lahan untuk proyek.
Keluarganya bukan menentang pembangunan pemerintah. Mereka hanya ingin mempertahankan hak. “Silakan pekerjaan dilanjutkan, tapi jangan sentuh lahan kami.”
Lahan yang dimaksud Pandi, bukan saja rumah dan tanah untuk berladang, juga wilayah adat yang menjadi wilayah komunal Suku Balik.
Pertahankan ruang hidup
Syamsiah bersama para perempuan lain didampingi tetua dan warga Adat Balik aksi pemasangan spanduk penolakan penggusuran kampung 13 Maret lalu.
Spanduk-spanduk dipasang di depan rumah dan halaman warga serta beberapa titik yang dekat dengan fasilitas umum di RT 3 Kampung Sepaku Lama.
Mereka menolak penggusuran situs-situs sejarah, penggusuran kampung dan menolak relokasi.
Pemasangan spanduk-spanduk itu merupakan respons tandingan warga atas pemasangan patok-patok dan pengukuran tanah secara sepihak yang dilakukan oleh pihak pelaksana proyek.
Pemasangan spanduk ini juga merupakan tindak lanjut dari hasil rapat musyawarah adat pada 13 Februari 2023, yang dihadiri lebih 80 warga di Sepaku Lama dan Pamaluan.
Dari hasil rapat, warga menuntu delapan hal. Pertama, masyarakat adat Suku Balik di lokasi IKN terdampak menolak program penggusuran kampung. Kedua, Masyarakat Adat Sepaku tidak mau relokasi atau dipindahkan ke daerah lain oleh pemerintah.
Ketiga, masyarakat adat menolak penggusuran situs-situs sejarah leluhur, kuburan atau tempat-tempat tertentu yang diyakini masyarakat adat sebagai situs adat Suku Balik turun-temurun. Keempat, masyarakat adat Suku Balik menolak keras dipindahkan (relokasi) atau dipisahkan dari tanah leluhur mereka.
Kelima, Masyarakat Adat Suku Balik di Kecamatan Sepaku menolak perubahan nama kampung, nama-nama sungai, yang selama ini sudah kuasai turun menurun. Keenam, meminta pemerintah segera membuat kebijakan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat Suku Balik di Kecamatan Sepaku.
Tujuh, meminta pemerintah memperhatikan Suku Balik yang terdampak pembangunan IKN, baik lingkungan, maupun sosial. Kedelapan, menolak dan tidak bertanggungjawab kalau ada tokoh atau kelompok yang mengatasnamankan mewakili Suku Balik melakukan kesepakatan terkait kebijakan di IKN tanpa melibatkan langsung komunitas adat.
Sibukdin, Kepala Suku Balik, mendukung upaya-upaya Bolum Bawe Balik ini.
Masyarakat Suku Balik, katanya, telah ada sejak sebelum Indonesia berdaulat. Bahkan, nenek moyang mereka, diklaim turut berjuang untuk mengusir penjajah Jepang demi memerdekakan negara ini.
“Tapi, apa yang diberikan negara saat ini kepada kami? Diakui saja tidak,” katanya.
Tersingkirnya masyarakat Suku Balik tidak hanya terjadi ketika adanya pembangunan IKN. Berkali-kali sudah mereka merasakan kehilangan ruang hidup.
Di masa lampau, warga Suku Balik mendiami wilayah tepian di Teluk Balikpapan. Karena kondisi makin ramai, mayoritas orang-orang Balik yang dikenal lebih menyukai suasana sepi, memilih menepi dan mencari lahan penghidupan baru di tempat lain.
Mereka kemudian pergi dan menemukan tanah yang kondisi geografis cocok untuk tempat menyambung hidup, yakni daerah bantaran Sungai Sepaku, Sungai Mentawir dan Sungai Pemaluan yang masuk di Kecamatan Sepaku.
Kehidupan mereka pun terusik. Medio 1970-1990an, katanya, masyarakat dari luar pulau Kalimantanseperti dari Jawa, Makassar, Nusa Tenggara Timur, didatangkan ke Sepaku lewat program transmigrasi yang digagas pemerintah Orde Baru.
Sekitar 500an orang pendatang, pertama kali masuk ke Sepaku pada 1975. Gelombang kedatangan terus menerus tahun-tahun selajutnya, baru berakhir pada 1984.
Yang baru datang mendapatkan lahan legal untuk berladang dan membangun rumah. Lahan-lahan itu sebelumnya Suku Balik.
Kemudian menyusul hutan-hutan sekitar pemerintah berikan izin kepada perusahaan, yang kian menggerus ruang hidup Suku Balik.
“Setelah hutan dibantai, mereka juga kuasai tanahnya. Ditanami dengan tanaman industri, seperti sengon, eukaliptus dan akasia,” kata Sibukdin, perihal warga Suku Balik yang kian kehilangan lahan di wilayah tanah adatnya.
Berdasar kajian Forest Watch Indonesia dalam “Ibu Kota Baru Buat Siapa?” di kawasan IKN juga terdapat 158 konsesi tambang dan sawit yang terhubung dengan politikus dan pengusaha lokal dan nasional lainnya.
Antaranya Rheza Herwindo anak Setya Novanto, mantan Ketua Umum Partai Golkar, terpidana kasus korupsi E-KTP.
Kemudian, Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra yang tercatat memiliki saham, sekaligus menjabat komisaris utama di perusahaan tambang batubara, PT Mandiri Sejahtera Energindo Indonesia di Kecamatan Sepaku.
Sibukdin mengenang, dulu mereka sangat bergantung hutan dan sungai. Kalau perlu sesuatu untuk makan, alam sudah menyediakan.
Misal, kalau butuh daging, warga Suku Balik hanya perlu berburu di belakang rumah sekitar pinggir kebun. Begitu pula kalau ingin ikan, warga bisa memancing di sungai yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Dalam satu jam, mereka sudah bisa mendapatkan ikan baung atau kakap air tawar yang cukup untuk dimakan sampai dua hari ke depan.
“Sekarang mancing seharian, belum tentu bisa dapat,” katanya.
Kini, warga Suku Balik pun tidak ingin lagi tersingkir dari tanah mereka.
“Harus lari ke mana lagi kami? kalau warga pendatang, mungkin enak, jika digusur mereka pulang ke tanah kelahirannya. Kami? Tempat tinggal kami, rumah kami, tanah kami. Akan ke mana kami pulang?” katanya.
Warga Suku Balik, katanya, bukan menentang keinginan pemerintah membangun IKN di Sepaku.
“Ini bentuk perjuangan. Kami tidak ingin anak-cucu kami mengutuk kami karena orang tuanya gila harta, mereka malah hidup melarat di masa akan datang,” katanya.
Dia ingin pemerintah bersikap adil dengan tak menggusur ruang hidup mereka. Kemudian, memberikan pengakuan dan perlindungan secara hukum sebagai komunitas adat.
“Kami ingin rumah dan lahan-lahan kami dikunci, jangan disentuh. Agar kami tetap bisa mempertahankan eksistensi dan budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang kami.”
Antropolog Universitas Mulawarman, Sri Murlianti mengatakan, Suku Balik merupakan komunitas adat yang terus-menerus ditimpa kemalangan.
Kesenjangan sosial sudah dirasakan warga sejak pemerintah Orde Baru mendatangkan ribuan warga transmigran. Awal datang, warga transmigrant sudah dapat lahan di Sepaku, sampai sertifikat tanah gratis. Mereka juga lebih diprioritaskan untuk mendapat fasilitas pendidikan.
Hal itu berbanding terbalik dengan warga Suku Balik. Sebagai penduduk yang turun menurun di sana, mereka justru tidak mendapatkan pengakuan hukum atas tanah mereka.
“Warga Suku Balik seperti dibiarkan makin mundur ke pedalaman tanpa ada pendampingan pembangunan sama sekali,” kata dosen Program Studi Pembangunan Sosial itu.
Dampak budayanya, kata Sri, banyak Orang Balik malu mengaku sebagai Orang Balik. Bahkan, kalau bisa, mereka akan berupaya menikahi warga pendatang hingga bisa mengaku sebagai suku lain.
Pada waktu bersamaan, ruang hidup Suku Balik tergusur perusahaan-perusahaan yang menguasai lahan mereka.
Pertama, katanya, masuknya perusahaan PT ITCI-KU yang menghabisi pohon-pohon di hutan alam Sepaku. Lalu, perusahaan perkebunan monokultur raksasa, PT ITCI-HM juga 158 korporasi tambang dan sawit di wilayah yang ditetapkan menjadi IKN Nusantara.
Selain mempersempit ruang gerak Suku Balik untuk berladang, kehadiran perusahaan-perusahaan ini juga menyebabkan kerusakan alam parah.
Tak hanya pohon besar habis, hilang juga obat-obatan, sayur-mayur, hingga binatang yang kerap jadi buruan Suku Balik, seperti rusa.
Gundulnya hutan juga menyebabkan daya serap tanah berkurang. Akibatnya, tanah mudah tergerus. Gerusannya jatuh ke sungai dan menyebabkan sedimentasi atau pendangkalan. Selain surut, kualitas airnya pun juga makin menurun.
“Kini mereka (Suku Balik) kembali berhadapan dengan persoalan pembangunan IKN. Miris!” kata Sri.
Ironisnya, Sri menilai, negara masih mempunyai satu pun kebijakan yang secara spesifik berpihak terhadap warga Suku Balik.
“Seharusnya, setelah ditetapkan sebagai IKN, pemerintah segera mengeluarkan wilayah masyarakat adat di Sepaku,” katanya.
Dia mendorong pemerintah membuat konsultasi mendalam dengan komunitas adat di Sepaku, khusus warga Balik.
Seyogyanya, pemerintah juga tidak merelokasi sepihak, terlebih dengan cara-cara memaksa.
Kalau masyarakat menolak relokasi, pemerintah harus punya satu formula kebijakan khusus untuk merawat dan menghidupkan komunitas-komunitas adat di Sepaku. Dengan begitu, katanya, IKN menjadi wilayah atau satu ruang inklusif untuk hidup bersama-sama.
“Yang terjadi saat ini, masyarakat adat dibiarkan dalam kebingungan, tidak ada pilihan yang sedikit menguntungkan. Yang ada hanya pilihan menerima penggantian lahan yang ditentukan, atau mengurusnya ke pengadilan.”
Saiduani Nyuk, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Ada Nusantara (AMAN) Kaltim, mengkritik sikap pemerintah yang terkesan abai masyarakat adat.
Padahal, karena pembangunan proyek ambisius IKN Nusantara ini, yang paling terkena imbas adalah warga adat. Dia sebutkan, proyek intake dan normalisasi Sungai Sepaku, sedikit demi sedikit merampas ruang hidup masyarakat.
Berangkat dari sana, AMAN Kaltim, kata Saiduani, akan mendampingi warga untuk advokasi warga memperjuangkan hak-hak mereka.
AMAN Kaltim saat ini mendorong pemerintah menyusun payung hukum khusus masyarakat adat di Sepaku.
Menurut dia, AMAN Kaltim juga mengupayakan pemetaan wilayah adat Suku Balik dan meregistrasinya. “Proses sedang berjalan, kita upayakan agar negara bisa mengakui masyarakat adat di Sepaku.”
Sedangkan dari Otorita IKN berjanji memperhatikan dan memberdayakan masyarakat adat di Sepaku. Alimudin, Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, berujar, pemberdayaan masyarakat lokal adalah hal wajib.
“Generasi-generasi masyarakat lokal harus bisa mengisi pos-pos pekerjaan di IKN. Saya berpesan kepada masyarakat, siapkan sumber daya manusia yang maksimal, hingga tidak tergusur oleh orang-orang luar,” katanya saat upacara peringatan hari jadi Kabupaten Penajam Paser Utara, Maret lalu.
Keluhan warga Sepaku dengan ada IKN, kata Alimuddin hal wajar. “Semua orang harus mengubah mindset. Karena, kita akan melakukan transformasi besar,” ujar birokrat asal Penajam Paser Utara itu.
Alimuddin membagi, penduduk di IKN akan terbagi jadi tiga cluster. Pertama, orang luar yang masuk. Kedua, orang lokal. Ketiga, generasi muda yang masih berusia sekolah. “Yang berusia dini ini yang kita harap bisa dibina. Sebab, memiliki potensi besar. Kita siapkan.”
Dia juga berharap, masyarakat tak merasa atau memakai diksi ‘tergusur’. “Agak kurang pas. Mereka akan diberi ganti untung. Pembebasan lahan tidak sekadar dibayar uang. Kalau aturannya direlokasi, yang bersangkutan wajib mau,” katanya.
Pemerintah dan Otorita, katanya, IKN akan memastikan keberlangsungan hidup warga Suku balik. Kalau mereka ingin berusaha, pemerintah pun berjanji mempermudah.
Hamdan, Bupati Penajam Paser Utara, menepis anggapan jika masyarakat adat di Sepaku terpinggirkan.
“Dapat informasi dari mana? Siapa bilang? Ndak ada yang terpinggir,”
Dia bilang, semua persoalan masyarakat adat di Sepaku dalam proses penanganan. Namun, dia mengakui kalau soal Perda Pengakuan Masyarakat Adat, belum ada langkah ke sana.
“Perda belum disusun. Rencana (menyusun) ada. Tapi kan tidak mudah. Ada indikator yang perlu kajian mendalam.”
Janji-janji pemerintah untuk memperhatikan dan ‘memberdayakan’ masyarakat adat termasuk Suku Balik belum bisa mengusir rasa was-was apalagi belum ada kepastian nasib ruang hidup mereka.
Hidup Suku Balik, kata Syamsiah, bergantung erat terhadap alam dan sungai.
Hutan dan sungai, katanya, tempat penuhi kepeluan dari ekonomi, sosial, maupun budaya. Hutan dan sungai, merupakan ruang hidup mereka.
“Kalau alam hancur, hancur juga manusianya,” kata Syamsiah.
******
Liputan ini merupakan program “Environmental Citizen Journalism Program 2023” yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Forest Watch Indonesia [FWI].