- Indonesia merupakan produsen besar produk perikanan baik tangkap dan budi daya. Salah satunya perikanan Kakap Kerapu.
- Ikan berkualitas dan bernilai ekonomi tinggi lebih banyak diekspor. Di sisi lain konsumsi ikan di Indonesia masih kecil.
- Warga masih belum bisa menilai ikan segar karena yang tersedia di pasar kebanyakan kualitas rendah karena itu bisa dijual lebih murah.
- Saat ini makin sering dikampanyekan perikanan berkelanjutan, karena stok perikanan Indonesia menurun dan permintaan pasar global tentang perikanan bertanggungjawab makin tinggi. Sayangnya, prinsip perikanan berkelanjutan masih sulit dilaksanakan di Indonesia
Pasar lokal dinilai secara umum lebih banyak mengonsumsi ikan yang kurang segar dengan alasan harga lebih murah. Jenis ikan terbanyak adalah ikan pelagis kecil seperti Kembung, Layang, dan Teri.
Sedangkan ikan lebih mahal seperti Kakap dan Kerapu lebih banyak dikonsumsi di restoran, hotel, dan cafe. Di sisi lain hasil tangkapan jenis ikan ini makin berkurang karena prinsip perikanan berkelanjutan belum banyak diketahui. Salah satunya tentang ukuran ikan, lebih banyak ukuran piring (plate sized) artinya terlalu muda dan ikan belum sempat berkembang biak. Hal lain adalah alat tangkap yang ramah lingkungan dan ketelusurannya.
Sustainable Fisheries Partnership (SFP) bersama Bali Sustainable Seafood (BSS) memperkenalkan praktik perikanan Kerapu Kakap yang bertanggung jawab dengan menerapkan kriteria keberlanjutan pada para pelaku bisnis perikanan di Bali. Diikuti sejumlah chef atau koki restoran, pengelola usaha retail besar, dan pemasok (supplier) di Denpasar pada 30 Mei 2023.
Indonesia adalah produsen produk perikanan global besar dari perikanan tangkap dan akuakultur. Total produksi perikanan tangkap Indonesia pada 2016 sebesar 6,07 juta ton, dengan kontribusi terbesar dari pelagis kecil (1,93 juta ton), perikanan demersal (1,58 juta ton), dan pelagis besar (1,47 juta ton).
Diperkirakan hampir 80% produksi perikanan Indonesia dikonsumsi di dalam negeri. Konsumsi ikan tumbuh dari 32,25 kg per kapita per tahun pada 2011 menjadi 56,39 kg per kapita pada 2020. Jenis makanan laut yang paling umum dikonsumsi di Indonesia antara lain ikan Kembung, Cakalang, Kakap, Kerapu, Teri, Cumi-cumi, dan lainnya. Sekitar 73% ikan dikonsumsi dalam keadaan hidup, segar/dingin dan beku dan 27% dalam bentuk siap saji dan diawetkan.
Sedangkan untuk Kakap dan Kerapu, Indonesia pemasok utama. Berdasarkan data FAO tahun 2010-2013, Indonesia berkontribusi dalam penyediaan sekitar 48% dari pasokan ikan kakap yang diperdagangkan di dunia. Sedangkan pada perikanan kerapu, Indonesia merupakan negara penghasil ikan kerapu terbesar kedua di dunia dalam hal volume berkontribusi sebesar 26,5% dari total produksi ikan kerapu global. Disusul China.
baca : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan
Ikan Kerapu Kakap juga merupakan komoditas ekspor penting. Pada 2018, total ekspor ikan Kerapu Kakap mencapai nilai USD127 juta dengan volume 26.100 ton (BKIPM 2019) atau 90% dari total tangkapan. Karena bernilai jual tinggi, ikan Kerapu Kakap malah dominan diekspor dibanding konsumsi sendiri.
Selama periode 2014-2018, total produksi ikan kerapu kakap di Indonesia untuk baik pasar ekspor maupun domestik sekitar 195.380 ton/tahun, terdiri dari 131.270 ton kakap dan 64.111 ton ikan kerapu (Pusdatin KKP, 2019).
Dessy Anggraeni, Direktur Program SFP memaparkan pasar kini mensyaratkan perikanan bertanggungjawab dan berkelanjutan. Namun perikanan Kakap Kerapu menghadapi beberapa tantangan, antara lain kondisi stok ikan yang semakin menurun akibat tingkat penangkapan yang berlebihan, masih banyak digunakannya alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan kecenderungan pasar untuk menyukai ikan berukuran kecil. Bahkan di beberapa wilayah perikanan sudah termasuk over eksploitasi.
Terjadi penurunan penangkapan secara nasional pada 2017-2021. Misalnya ikan Kakap pada 2017 jumlahnya 434 ribu ton, lalu menurun menjadi 278 ribu ton pada 2019, naik lagi jadi 315 ribu ton pada 2021. Ada lebih dari 100 jenis ikan Kerapu Kakap, tapi yang bernilai ekonomi tinggi ada 7 jenis, terdiri dari 3 kakap dan 4 kerapu.
Konsumen dinilai lebih banyak makan ikan seukuran piring sekitar 300 gram, artinya ikan belum dewasa dan belum bertelur. Selain itu banyak nelayan penangkap belum terdaftar, padahal rantai pasok jenis ini cukup kompleks untuk pasar ekspor.
Kriteria berkelanjutan yang disosialisasikan mencakup kepatuhan terhadap aturan yang berlaku, ketertelusuran, tanggung jawab sosial, dan dukungan terhadap pengelolaan kolaboratif (co-management). “Kami tidak berharap perusahaan memenuhi keempat komponen. Ketelusuran tidak mudah karena ada perpindahan dari sejumlah nelayan,” lanjut Dessy.
baca juga : Populasi Kakap-Kerapu Menurun, Pemerintah Dorong Harvest Strategy
Terkait aspek tanggung jawab sosial, tujuannya adalah memastikan kesejahteraan nelayan. Mereka diharapkan memenuhi aspek legal misalnya kapal terdaftar jika ukuran di bawah 10 GT, sedangkan untuk kapal besar di atas 10 GT harus memiliki izin. Selain itu memiliki kartu pelaku usaha perikanan dan kelautan (Kusuka) dan nomor izin berusaha. Alat tangkapnya legal seperti jaring dan bottom longline. Ukuran minimal ikan jelang dewasa (Lm), tidak ditangkap di area konservasi, dan berkomitmen mengurangi jenis yang nontarget. “Untuk faktor ketelusuran sulit untuk nelayan kecil,” tambah Dessy.
Rendahnya konsumsi ikan Kakap Kerapu di Bali diakui Hema Sitorus, Founder dan Direktur BSS yang dinilai menjalankan praktik berkelanjutan. Pihaknya lebih banyak menyuplai pelagis kecil. Pihaknya bekerja sama dengan salah satu kelompok nelayan di Kelan, Badung. Untuk memastikan keberlanjutan, ia menyebut, BSS hanya menyediakan ikan Kakap Kerapu dewasa. Hema memulai BSS pada 2019 dan mendapat respon baik dari pelanggan. “Karena stok perikanan mulai menurun,” katanya.
Pari Baumann dari Bali Direct Store yang menjual aneka produk perikanan juga berminat pada prinsip berkelanjutan ini terutama untuk jenis seafood. Usaha ini dimulai 4 tahun lalu karena makin tingginya permintaan produk yang berkelanjutan.
Sedangkan Hanif Emmy Khonifah, Direktur Pemasaran Ditjen PDSPKP Kementerian Kelautan dan Perikanan mengakui upaya memenuhi prinsip berkelanjutan ini tak mudah. Di sisi lain konsumsi ikan di sejumlah daerah berbeda.
Pihaknya memberikan pendampingan dan dukungan kepada pasar domestik untuk meningkatkan komitmen dan dukungan terhadap produk perikanan dari sumber-sumber perikanan yang berkelanjutan.
Ia mengingatkan produk perikanan harus mengandung ikan minimal 30%. Karena itu kerupuk dan nugget yang lebih banyak tepungnya, bukan produk perikanan.
baca juga : Sinergi dan Kolaborasi untuk Perikanan Berkelanjutan di Sulsel
Sementara Putu Sumardiana, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali menambahkan di Bali banyak acara yang membutuhkan stok seafood, karena itu Bali jadi hub ekspor produk perikanan. Namun konsumsi ikan warga Bali masih di bawah nasional. “Suka makan ikan tapi harganya mahal, lebih banyak diekspor. Akhirnya membeli ikan kelas 2, sudah lembek tidak segar,” sebutnya. Karena itu ada kampanye gemar makan ikan.
Mongabay Indonesia pernah mengunjungi sebuah acara gemar makan ikan di Denpasar, namun tidak ada ikan segar. Para pelajar yang diundang hanya makan nugget, demikian juga penjual makanan olahan ikan yang dominan makanan olahan beku. Bukan ikan beku. Merespon hal ini, Sumardiana menduga karena alasan lebih praktis. Tidak mudah memastikan kesegaran ikan. Ia setuju untuk menambah edukasi soal ikan segar. (***)
Keterangan foto utama : Seekor ikan kakap melompat dari permukaan air laut untuk memakan umpan. Foto : shutterstock