- Bencana menghantui warga di Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Bencana pernah terjadi, seperti pada Maret 2021. Air bah tiba-tiba datang, menenggelamkan rumah. Hasil evaluasi dan peninjauan BPBD Sumbar terlihat beberapa titik tutupan hutan TNKS tepatnya di hulu Sungai Sako sudah terbuka. Dugaan awal, hutan sudah terbuka ini merupakan lahan bekas penebangan liar.
- Banjir tak hanya limpahan air tetapi turut membawa balok-balok kayu yang diduga dari hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Dugaan ini berdasarkan jenis kayu dan asal kedatangan kayu. Balok-balok kayu berjenis meranti dan surian ini menghantam beberapa rumah warga hingga rusak cukup parah.
- Saat mendatangi perbukitan di Nagari Gambir, Sungai Sako Tapan, Pesisir Selatan, pada Juni 2022, makin ke atas bukit, makin banyak tebangan pohon antara lain, kayu meranti, juga bonio.
- Ahmad Darwis, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah II Sumbar, mengatakan, banjir di Tapan beberapa waktu lalu, katanya, tidak serta merta terjadi. Pembukaan lahan besar-besaran di luar maupun dalam kawasan. Justru yang membuat banjir bandang ini pembukaan lahan secara besar-besaran.
Syafei, warga Kampung Tangah Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera, ini terkejut. Tiba-tiba air bah masuk ke dalam rumah padahal hujan hanya rintik-rintik. Saat air masuk penghuni rumah sontak lari ke dapur menyelamatkan beras dan gabah hasil panen beberapa lalu.
“Ada beberapa karung bisa diselamatkan, selebihnya rusak,” kata Syafei mengingat kejadian Maret 2021.
Saat sibuk memindahkan gabah, tiba-tiba kayu menghantam dapur. Dinding dapur ambruk disertai air bah masuk ke rumah. Beruntung tidak ada korban jiwa namun rumah Syafei rusak berat, sebagian besar harta benda terendam air.
“Banjir datang tiba-tiba hingga kami tak sempat menyelamatkan harta benda.”
Dia duga hujan deras di hulu hingga tiba-tiba air bah datang. Saat itu, banjir genangi rumah sekitar satu sampai dua meter. “Baju basah, beras tidak bisa diselamatkan karena tidak diduga air tiba. Sawah, ladang jagung terendam.”
Daerah yang alami banjir bah ini berbatasan langsung dangan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) tepatnya di Kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan dan Basa Ampek Balai Tapan, Pesisir Selatan.
Banjir tak hanya limpahan air tetapi turut membawa balok-balok kayu yang diduga dari hutan TNKS. Dugaan ini berdasarkan jenis kayu dan asal kedatangan kayu. Balok-balok kayu berjenis meranti dan surian ini menghantam beberapa rumah warga hingga rusak cukup parah.
Hasil evaluasi dan peninjauan BPBD Sumbar terlihat beberapa titik tutupan hutan TNKS tepatnya di hulu Sungai Sako sudah terbuka. Dugaan awal, hutan sudah terbuka ini merupakan lahan bekas penebangan liar.
***
Pada Juni 2022, Mongabay mendatangi perbukitan di Nagari Gambir, Sungai Sako Tapan, Pesisir Selatan. Ia tidak jauh dari jalan lintas Sako-Sungai Penuh, Jambi.
Udara terasa sejuk dan saat memasuki Sako. Sisi kiri jalan perbukitan menjulang tinggi. Sisi kanan sungai mengalir dengan arus deras.
Bukit yang diduga kena jarah pembalak liar berada di pinggir jalan. Kami menapaki perbukitan. Di awal tanjakan melalui paladangan warga. Ada pondok dengan dinding dan lantai dari kayu, beratap ijuk.
Di sekitar pondok banyak pohon buah seperti durian dan petai. Setelah itu baru memasuki perbukitan gundul, tidak ada pohon, hanya padang ilalang yang hitam keabu-abuan sisa pembakaran. Di beberapa titik masih terlihat kepulan asap putih membumbung ke langit.
“Ini ladang baru dibuka masyarakat untuk berkebun,” kata Ahmadi, warga setempat.
Kami terus melangkah lalu tiba di tanah liat licin dengan tegakan kayu cukup rapat. Di sini kami pertama menemukan kayu medang bekas tebangan, jenis ini cukup banyak di TNKS. Batang pohon dibiarkan menimpa tanaman lain karena belum dibelah jadi potongan kecil. Di sekitar banyak jejak jalan kayu atau bekas menarik kayu balok. Makin ke atas, makin banyak pohon bertumbangan.
Pada salah satu sisi bukit terlihat pohon meranti sudah ditebang dan dibelah jadi balok-balok kayu. Makin ke atas bukit makin terjal. Ada juga pohon borneo tumbang, diameter sekitar 1,5 meter setinggi 20 meter.
Di ujung pohon terlihat beberapa perkakas kayu dan botol oli yang ditinggalkan begitu saja, diduga para pembalak buru-buru meninggalkan lokasi karena kucing-kucingan dengan petugas taman nasional yang patroli.
Pohon Borneo penduduk setempat biasa sebut banio, bernilai ekonomi tinggi. Setelah jadi kayu, banio biasa dijual dengan Rp4 juta perkubik. Kayu banio biasa untuk kusen pintu dan jendela. Kalau kayu meranti, di pengolahan kayu (sarkel atau sawmil) biasa Rp2,3 juta per kubik. Kala cek GPS, titik koordinat masuk TNKS.
Kayu-kayu balok ilegal biasa keluar dengan cara ditarik pakai tali, sesampai di tepi jalan sudah menunggu mobil bak terbuka mengangkut kayu-kayu hasil curian ini. Aktivitas mengangkut kayu ini biasa pada sore hari menjelang matahari terbenam. Ada sekitar empat atau lima pekerja. Mereka tampak terang-terangan.
Kami kemudian pindah ke Sungai Batang Betung, Nagari Riak Danau, Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan. Sungai ini merupakan hilir atau logpond kayu-kayu balok yang dihanyutkan dari hulu.
Dari informasi warga, biasa kayu-kayu yang dihanyutkan dari hulu akan tiba di sungai ini mulai sore hingga malam hari. Lokasi sungai ini cukup jauh dari pemukiman penduduk, jalan sempit dan berbatu.
Sore itu, kami tidak menemukan balok-balok kayu yang sudah terikat jadi rakit di sungai itu. Biasa ada puluhan rakit kayu bermuara di sungai. Makin malamm jumlah makin banyak. Setelah rakit kayu menepi akan ada mobil bak terbuka mengangkutnya.
Sore itu, kami menemui satu rakit kayu meranti tertambat di pinggir sungai, diduga para pekerja baru memulai menghanyutkan kayu namun karena ada orang luar mereka setop beraktivitas.
,Kayu meranti diduga ilegal karena taka da surat atau kode batang warna kuning penanda asal kayu yang biasa terlihat pada kayu resmi. Tidak jauh dari rakit ditemukan bambu yang biasa dipakai mengarahkan laju kayu di sungai.
Saat kembali ke lokasi awal, kayu meranti yang tadi tertambat di pinggir sungai sudah tak ada.
Kayu pembalakan di TNKS kerap diangkut melalui Sungai Batang Betung. Kayu-kayu dipotong jadi balok dan digabungkan jadi rakit, kemudian dialirkan ke hilir. Saat kayu dialirkan, ada pekerja yang mengawal dengan berjalan menyusuri sungai hingga ke hilir.
Pu, seorang pembalak liar menceritakan, biasa bekerja dalam satu tim beranggotakan tiga hingga lima orang, tergantung banyak kayu yang diminta cukong. Kalau cukong minta kayu meranti 20 kubik, biasa pekerja ada empat atau lima orang. Satu orang bertugas membawa perbekalan dan peralatan seperti chainsaw (gergaji mesin) dan bahan bakar satu jeriken besar. Sisanya, menebang pohon dan menggiring balok kayu hingga ke lokasi logpond.
“Untuk membawa peralatan ini, porter biasa dibayar Rp200.000-Rp350.000 tergantung jauhnya lokasi tebangan,” kata Pu.
Para cukong biasa mengupah Pu untuk mengambil 10-20 kubik kayu meranti. Kalau 20 kubik kayu diminta berarti mereka harus menebang sekitar delapan pohon dengan waktu 10-14 hari di hutan.
Untuk menebang kayu, katanya, tidak perlu waktu lama. Mereka perlu waktu lama untuk memotong pohon jadi balok-balok kayu. Sekubik kayu meranti dari hutan dibeli cukong Rp1 juta. “Biasanya kami diberi modal awal Rp5 juta sama cukong untuk perbekalan dan membayar tukang angkat. Sisanya, baru dibayar setelah kayu sampai ke logpond.”
Kami pun mendatangi satu usaha pengolahan kayu. Dari informasi yang didapat dari Na, pemilik CV yang terletak di pinggir jalan lintas Padang-Tapan ini kayu-kayu yang diperlukan pembeli bisa mereka carikan, seperti meranti maupun banio. Kayu meranti Rp2,3 juta, kalau banio Rp3,5 juta per kubik.
Pemilik mengaku kalau dapatkan kayu dari mudiak aia (TNKS) yang dia pesan dari para pekerja ilegal.
Selain menjual langsung ke tangan konsumen, dia mengaku mengisi beberapa agen kayu di beberapa kecamatan di Pesisir Selatan seperti Surantih, Kambang dan daerah sekitar. “Kami juga mengisi para agen, atau mereka langsung jemput kesini,” katanya.
Berbicara soal agen kayu, biasa para agen mengambil untung Rp300.000-Rp600.000 per kubik. Untuk kayu meranti Rp2,3 juta per kubik biasa dijual agen Rp2,6- Rp2,7 juta.
“Besar juga untungnya ya, saya mau juga jadi agen kayu di Padang,” kata saya.
Dia tertawa. “Jual kayu tidak semudah jual buah sawit, nanti dikejar polisi, barang ko kan ilegal logging.” Dia merendahkan volume suara saat menyebutkan kayu dari illegal logging.
***
Ahmad Darwis, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah II Sumbar, mengatakan, luas wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) mencapai 1,5 juta hektar. Ia meliputi empat provinsi, yakni, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Bengkulu.
Untuk Sumatera Barat seluas 358.000 hektar tersebar di empat kabupaten, Pesisir Selatan, Solok Selatan, Solok, Dharmasraya.
“Dari hasil identifikasi ternyata ada beberapa masyarakat yang sudah melakukan keterlanjuran aktivitas di dalam kawasan. Kalau kita tangkap, mereka hanya mempertahankan hidup, tetapi ketika mereka menggarap untuk memperjualbelikan akan saya proses,” katanya.
Dia contohkan, pada 2021, tim gabungan menangkap empat perambah hutan yang membuka kawasan besar-besaran. Lokasi perusakan hutan di jalur pendakian Gunung Kerinci via Solok Selatan yang diresmikan Pemerintah Solok Selatan.
“Begitupun di Pesisir Selatan, tim gabungan pada 2021 juga menangkap pelaku illegal logging di TNKS.”
Darwis melanjutkan, ketika ia baru masuk di Sumatera Barat, saat itu banjir bandang melanda dua kabupaten yang berbatasan langsung dengan TNKS.
TNKS berbatasan langsung dengan hutan produksi terbatas (HPT) dan areal penggunaan lain (APL).
Di HPT, katanya, terjadi perubahan sangat signifikan, awalnya hutan jadi sawah dan perkebunan.
“Banjir ini akumulasi dari kegiatan lama (perambahan hutan), bukan datang tiba-tiba. Illegal logging di TNKS memang tidak menutup kemungkinan, tapi itu hanya sekian persen, tidak menimbulkan perubahan signifikan di kawasan, tegakan masih bagus, ” kata Darwis.
Dia bilang, kalau mau bersinergi antar instansi, perlu pendataan lagi berapa banyak sebaran industri pengolahan kayu di luar TNKS. “Beberapa banyak pula kayu dari luar TNKS. Nanti sama-sama bisa lihat data dari citra satelit. Bagaimana kondisi TNKS dan kondisi kawasan luar TNKS.”
Banjir di Tapan beberapa waktu lalu, katanya, tidak serta merta terjadi. Pembukaan lahan besar-besaran di luar maupun dalam kawasan. “Justru yang membuat banjir bandang ini pembukaan lahan secara besar-besaran.”
Pembukaan lahan di TNKS itu kejadian sekitar 5-7 tahun ke belakang. “Tidak ada pembukaan baru, kalaupun pembukaan baru itu kecil, itupun sedang kita data hanya nol sekian persen. Kalau sudah besar akan kita proses, jadi memang kita harus melihat, kayu itu berasal darimana?
Sebelum ke TNKS melalui HPT terlebih dulu. “Dan itu wewenang Dinas Kehutanan provinsi.”
Saat ditanya asal-muasal kayu-kayu balok yang berserakan saat banjir, dia bilang bukan dari TNKS.
“Hasil penelusuran petugas Resort Lunang I, kayu-kayu bukan dari dalam kawasan. Kita sudah telusuri bukan dalam kawasan, kalau memang dari kawasan, akan kelihatan bekas tebangan baru. Itu tidak ada.”
Meskipun begitu, ketika mereka patroli, katanya, memang masih ada pembalakan liar tetapi skala kecil. Jadi, ketika mereka ada tangkapan saat patroli lalu lakukan pembinaan kepada masyarakat.
“Sesuai arahan dari presiden juga, karena yang kita lihat itu hanya sebatang dua batang untuk konsumsi rumah tangga. Langkah selanjutnya kita edukasi.”
Ada juga ketika mereka akan lakukan patroli pelaku sudah lari. Mereka hanya bertemu barang bukti berupa gergaji potong kayu. Terakhir penangkapan, pada 2021 bersama Balai Penegakan Hukum.
“Kita sudah koordinasi dengan Gakkum supaya pemetaan terkait kasus-kasus di dalam kawasan, ada beberapa kali Gakkum juga turun.”
Ke depan, katanya, juga akan minta dari Dinas Kehutanan Sumbar untuk mengendalikan mesin-mesin pengolah kayu, maupun gudang kayu.
“Harus ada pengecekan kayu mereka itu dari mana.”
Pasca banjir, TNKS nyatakan sudah mendata lahan-lahan garapan masyarakat di dalam kawasan. Setelah pendataan, kalau ada kerusakan akan ada penanaman tanaman produktif di zona-zona pemanfaatan.
Begitupula kalau lokasi masyarakat berada di zona rehabilitasi, akan penanaman, misal, kalau tanam kopi, tetap bisa dengan syarat jarak 10 meter ada tanaman berkayu. Begitupun, kalau tanam palawija, diselingi tanaman keras seperti petai, jengkol, kemiri, dan lain-lain.
“Ini teman-teman sedang turun ke lapangan untuk mengidentifikasi, kemudian kita akan pendekatan budaya untuk direkrut menjadi mitra konservasi, tujuan apa? Supaya bersama-sama antara TNKS dan masyarakat menjaga kawasan.”
Dengan catatan, katanya, setelah jadi mitra tak boleh lagi ada perluasan pemanfataan kawasan.
Dia bilang, untuk pengamanan kawasan, mereka melakukan beberapa hal, pertama, patroli rutin tiap bulan antara petugas resort dengan masyarakat mitra Polhut.
“Kita patroli sinergiritas bersama instansi terkait dengan teman-teman di kepolisian maupun koramil,” katanya.
Kedua, sosialisasi hukum terkait pengelolaan taman nasional. Ketiga, mitra konservasi bagi masyarakat yang sudah tinggal di kawasan. Tujuannya, pemulihan ekosistem dengan bisa menanam lahan dengan tanaman bernilai ekonomi tetapi tetap ada tanaman kayu termasuk jenis endemik.
******
*Laporan ini atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) bekerjasama dengan Pulitzer Center.