- Masyarakat Adat Paser dan Balik di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, hidup berdampingan dengan hutan. Hutan jadi tempat beragam keperluan, dari ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Proyek pembangunan Ibukota Negara Nusantara, bikin masyarakat adat was-was. Tak hanya ruang hidup yang tergerus, juga ancaman kehilangan budaya dan tradisi seperti ritual adat bersoyong.
- Bersoyong, merupakan ritual minta izin ketika awal akan buka lahan. Ritual ini berisi sesajian yang terdiri dari telur, beras kuning, tepung tawar, air, ayam, pisang dan lain-lain. Semua jenis tumbuhan maupun ayam dan telur untuk sesajian itu hasil dari lahan adat mereka. Isi sesajian mesti diambil dari tanah tempat mereka hidup.
- Kekhawatiran Masyarakat Adat Balik maupun Paser kehilangan lahan termasuk tradisi budaya sangat beralasan karena perlindungan pemerintah minim. Hingga kini, tak ada pengakuan dan perlindungan termasuk terhadap wilayah adat mereka.
- Sri Murlianti , sosiolog sekaligus pengajar Prodi Pembangunan Sosial Universitas Mulawarman mengatakan, perlu cari cara agar tradisi-tradisi adat ini tidak punah. Pengetahuan lokal seperti ritual-ritual itu, katanya, harus dihidupkan kembali dan diajarkan kepada generasi muda Suku Balik.
Masyarakat Adat Paser dan Balik di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, hidup berdampingan dengan hutan. Hutan jadi tempat beragam keperluan, dari ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Proyek pembangunan Ibukota Negara Nusantara, bikin masyarakat adat was-was. Tak hanya ruang hidup yang tergerus, juga ancaman kehilangan budaya dan tradisi seperti ritual adat bersoyong.
Syarak, Kepala Adat Paser dari Desa Bumi Harapan, mengatakan, Suku Paser hidup dari berkebun ataupun bertani di hutan. Masyarakat Paser punya tradisi ketika akan mengelola kebun di hutan yakni, tradisi bersoyong. Bersoyong, katanya, merupakan ritual minta izin ketika awal akan buka lahan.
Ritual ini, kata lelaki 60 tahun ini dipercaya sebagai sarana menyampaikan maksud dan tujuan atau niat hajat warga terhadap para leluhur. Mereka meminta keselamatan dan perlindungan saat menanfaatkan ruang-ruang dii hutan. Bersoyong juga media pengobatan.
Dia bilang, para leluhur dahulu bersoyong sebagai pengobatan guna meredam pengaruh buruk jin.
Ritual bersoyong ini berisi sesajian yang terdiri dari telur, beras kuning, tepung tawar, air, ayam, pisang dan lain-lain. Semua jenis tumbuhan maupun ayam dan telur untuk sesajian itu hasil dari lahan adat mereka. Isi sesajian mesti diambil dari tanah tempat mereka hidup.
Dalam ritual ini ada doa tersendiri dalam bahasa Paser, ada tetua adat yang disebut mulung (sesepuh adat) untuk menjalankan proses ritual ini.
“Setiap ada kegiatan besar maupun kecil, sudah kewajiban kami untuk melaksanakan bersoyong,” katanya.
Syarak bilang, zaman dahulu ritual ini jadi agenda wajib tahunan. Belakangan ritual jadi wadah untuk mempertahankan lahan masyarakat adat. “Dalam artian, ketika bersoyong dilestarikan dan bahan-bahan pokok kebutuhan harus dari hutan adat, berarti harus ada wilayah adat yang dipertahankan,” katanya.
Kini, wilayah mereka ‘kedatangan’ proyek besar, ibukota negara (IKN) Indonesia, yang diberi nama IKN Nusantara. Kehadiran IKN ini bikin dia khawatir karena pemerintah hanya berfokus pada pembangunan tanpa memperhatikan nasib masyarakat adat dan kearifan lokalnya.
Dia meminta, pemerintah menaruh perhatian untuk melestarikan ritual bersoyong ini. Terlebih, ada anggapan atau stigma dari sebagian orang kalau ritual ini musyrik. Syarak berusaha mempertahankan tradisi ini dan melawan stigma itu.
“Para leluhur jadikan ritual bersoyong ini untuk menghindarkan malapetaka di lingkungan kami.”
Syarak takut kearifan bersoyong kian hari akan memudar, apalagi akan ada migrasi besar dengan latar belakang orang beragam masuk ke wilayah mereka ketika ada IKN.
Tak hanya di Desa Bumi Harapan, bersoyong juga ada di Suku Balik, Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Suku Balik masih satu sub etnis dari Suku Paser dan memiliki budaya mirip.
Jubain, Kepala Adat Suku Balik Kelurahan Pemaluan juga bercerita mengenai ritual bersoyong. Bersoyong Suku Balik, katanya, dilakukan untuk ritual membuka lahan ketika ingin berladang. Tujuannya meminta keselamatan, maupun hasil panen yang baik.
“Istilahnya untuk tabe-tabe (permisi) sama penguasa hutan,” katanya.
Ada satu elemen penting dalam ritual bersoyong Suku Balik, yaitu, membakar kayu hutan atau krembulu sebutan bagi Masyarakat Balik terhadap kayu yang beraroma khas mirip kemenyan itu.
Jubain bilang, ritual ini bukan wajib tahunan, namun dilaksanakan jika ada acara khusus atau ingin membuka lahan ketika berkebun saat musim tanam.
Persiapan dalam ritual bersoyong ini biasa harus mencari hari yang baik, memantau lokasi proses ritual untuk melihat kondisi kebun apakah bagus untuk berkebun atau tidak. Dia bilang, ada pantangan harus dihindari seperti lokasi tidak boleh ditumbuhi beberapa pohon tertentu. Ritual bersoyong mulai sore dengan membersihkan kebun sebagai tahap permulaan.
Uniknya, di Suku Balik, bersoyong juga untuk keperluan lain, seperti saat perempuan Suku Balik hendak melahirkan. Tiga hari sebelum persalinan, akan dibuat seperti jernang atau keranjang dari daun kelapa, diisi pisang yang berjumlah ganjil, rokok, dan uang kemudian dihanyutkan di sungai.
“Ini boleh dikatakan kebiasaan atau adat istiadat karena ritual ini diharuskan. Ketika tidak dilaksanakan, si ibu sakit dan anaknya rewel,” kata Jubain.
Semua bahan-bahan dalam ritual bersoyong ini diambil dari hasil hutan Masyarakat Balik.
Pelaksanaan ritual ini juga tidak bisa sembarangan. Terutama pada saat bersoyong untuk keluarga yang hendak melahirkan, seperti bidan yang membantu persalinan harus dari kampung dan berkenan untuk ritual bersoyong.
Untuk bersoyong pembukaan lahan perkebunan, harus dilaksanakan pemilik lahan langsung. Dalam ritual ini, dilaksanakan dengan beberapa rapalan doa tergantung dari jenis ritual yang dilaksanakan, baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Balik agar doa sampai kepada leluhur yang ingin dituju.
Jubain juga khawatir ketika pembangunan IKN Nusantara perlahan mulai rampung dan banyak masyarakat luar bermukim di daerahnya, budaya atau kearifan lokal Balik perlahan sirna.
“Mau kami, dari pemerintah perlu menata pemukiman adat kami, orang-orang kami dibina. Karena menurut kami penting pendidikan dan kesehatan.”
Senada dikatakan Asmin, pemangku Suku Balik dari Kelurahan Pemaluan. Dia juga was-was pola hidup masyarakat adat berubah setelah ada IKN. Dia khawatir, ruang hidup tergerus, dan tradisi seperti bersoyong hilang.
Ketika pemerintah hendak membangun IKN, katanya, Masyarakat Balik perlu terlibat termasuk saat adakan ritual bersoyong. “Kami lihat tiba-tiba kok ada cadangan istana presiden, kapan bersoyongnya sama penunggu di sini?”
Belum ada perlindungan
Kekhawatiran Masyarakat Adat Balik maupun Paser kehilangan lahan termasuk tradisi budaya sangat beralasan karena perlindungan pemerintah minim. Hingga kini, tak ada pengakuan dan perlindungan termasuk terhadap wilayah adat mereka.
Syarak contohkan, di Desa Bumi Harapan, banyak lahan masyarakat adat diambil alih oleh pemerintah demi mega proyek IKN Nusantara.
Dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, IKN dibagi menjadi tiga kawasan yaitu, kawasan IKN seluas 49.859 hektar, kawasan inti pusat pemerintahan 6.925 hektar, dan kawasan perluasan IKN, 197.420 hektar. Dengan luas total sekitar 252.204 hektar itu, ada di wilayah adat 235.667 hektar.
Rumah yang Syarak bangun dan tinggali kini pun masuk area steril bagian dari Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). “Mungkin sebentar lagi saya pindah dari sini karena masuk dalam koordinat itu,” katanya pelan.
Dia sudah meminta kejelasan lahan pengganti andai harus pindah. Namun, kata Syarak, belum ada tanggapan apapun. Dia sudah beberapa kali berdiskusi, pemerintah hanya bisa mengganti uang.
Luas lahannya yang diambil alih untuk proyek ibukota ini sekitar dua hektar yang kini jadi rumah dan kebunnya. Dia bingung bisa hidup di tempat yang layak atau tidak kalau nanti terpaksa pindah.
Masyarakat Paser dan Balik hidup di sana turun-temurun. Hingga kini, belum ada pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka, termasuk soal lahan. Pada peta indikatif sebaran wilayah adat yang disusun Forest Watch Indonesia (FWI), hampir 50% area berpotensi merupakan wilayah adat. Catatan AMAN menyebut, ada 21 komunitas adat di wilayah rencana pembangunan IKN.
Solusinya?
Sri Murlianti , sosiolog sekaligus pengajar Prodi Pembangunan Sosial Universitas Mulawarman mengatakan, banyak hal yang membuat masyarakat Balik belakangan jarang melakukan ritual bersoyong. Pertama, pengaruh masuknya Islam, yang menganggap ritual-ritual adat ini bertentangan dengan syariat Islam.
Kedua, perlengkapan ritual yang sebagian besar bahan baku merupakan tumbuh-tumbuhan hutan makin sulit diperoleh.
“Tidak seperti zaman dulu, ketika kebun-kebun dan ladang mereka belum di-clearing perusahaan dan diubah jadi hutan monokultur. Dulu tumbuh-tumbuhan perlengkapan ritual mudah didapat dan tak jauh dari pemukiman penduduk,” katanya.
Ketiga, rasa minder yang terbentuk dari perjumpaan dengan budaya-budaya pendatang, baik para transmigran maupun orang-orang perusahaan yang membuat mereka malu melakukan ritual-ritual ini.
Menurut Sri, fatalnya tidak ada keberpihakan dan pembinaan serius dari pemerintah setempat di dalam melestarikan adat budaya Suku Balik ini.
Perempuan yang mendalami social safeguard dalam pembangunan berbasis lahan dan mitigasi sosial masyarakat adat dalam pembangunan berbasis lahan turut ini bilang, perlu cari cara agar tradisi-tradisi adat ini tidak punah.
Pengetahuan lokal seperti ritual-ritual itu, katanya, harus dihidupkan kembali dan diajarkan kepada generasi muda Balik.
Memang tak mudah, kata Sri, karena Masyarakat Adat Balik hidup di bawah tekanan budaya dominan yang menganggap ritual-ritual lama ini syirik.
“Harus dibangkitkan kembali pengetahuan-pengetahuan ritual lama yang sebenarnya merupakan kearifan lokal sebagai pola hidup berdampingan dengan alam. Ini ritual adiluhung yang harus dibanggakan.”
“Kita bisa merasakan jelas perasaan frustasi, marah, namun juga takut dan tak berdaya. Karena sebagai minoritas kekuatan mereka sangat lemah, bahkan asing di tanah leluhur mereka sendiri,” katanya.
Christian N S, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) PPU membenarkan, kalau ritual bersoyong tergerus dari peradaban, salah satu penyebabnya minim minat remaja. Ada pula soal pergeseran nilai kepercayaan.
“Ada upaya dari kita (Disbudpar) ini bukan dilihat dari unsur ritual maupun mistik kesukuan, tetapi bersoyong in bagian dari pengembangan seni budaya.”
Dia mengklaim mendukung pelestarian bersoyong. Dia bilang, mereka sudah adakan bersoyong dalam skala kabupaten. Namun, dia tak punya kuasa lebih karena seni kultur dan budaya bersoyong itu muncul dari niat dan tujuan, apalagi Paser dan Balik memiliki budaya tersendiri.
“Memang kita merevitalisasi untuk melestarikan kebudayaan Paser ini masih bertahap. Memang seperti yang terlihat, masih di sekitar Suku Paser Pematang atau yang lainnya, tidak menyentuh ke mereka (Paser Balik). Upaya itu akan terus berkelanjutan apalagi mereka akan menjadi pilar di IKN nanti ke depan,” katanya.
Christian bilang, kalau Masyarakat Adat Balik punya niat ritual bersoyong, Disbudpar dengan tangan terbuka menyambut baik untuk mendukung kegiatan itu.
“Mungkin kami nanti akan komunikasi lebih lanjut lagi serta bisa terbuka ke Badan Otorita IKN Nusantara.” Presiden Joko Widodo, katanya, menyatakan harus ada perhatian kepada suku adat sebagai pemilik IKN.
Dengan segala keterbatasan, Masyarakat Adat Paser dan Balik, seperti Syarak, Jubain dan yang lain, bertekad terus melestarikan budaya dan tradisi mereka.
“Jika pemerintah melestarikan budaya bersoyong kami, alangkah bahagianya masyarakat di sini,” kata Syarak.
*Liputan Muhammad Razil Fauzan ini merupakan kegiatan “Environmental Citizen Journalism Program 2023” yang diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) bekerjasama dengan Mongabay Indonesia.