Kebijakan pemerintah ‘memutihkan’ kebun sawit ilegal di dalam kawasan hutan merupakan preseden buruk yang membuka potensi pelanggaran lebih besar di masa mendatang. Juga mengesampingkan upaya pemulihan lingkungan yang rusak. Juni lalu, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengumumkan rencana pemutihan kebun. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menemukan 3,3 juta hektar lahan sawit berada di dalam kawasan hutan.
Pemutihan kebun sawit ini dijalankan berdasarkan ketentuan Pasal 110A dan 110B Undang-undang Cipta Kerja. Berkat kedua pasal itulah, kebun yang terlanjur berada di kawasan hutan dapat dilegalkan. Dua ‘pasal keterlanjuran’ itu menyasar dua kategori berbeda. Pertama, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-undang dan belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 2 November 2023.
Kalau tidak, sanksi yang dikenakan berupa, a, pembayaran denda administratif, dan/atau b, pencabutan perizinan berusaha.
Kedua, untuk kegiatan usaha yang belum memiliki perizinan berusaha sebelum 2 November 2020, dikenai sanksi administratif, berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif dan/atau paksaan pemerintah.
Kedua pasal ini menerapkan asas “ultimum remedium” bagi pelaku deforestasi dengan hanya mewajibkan perusahaan untuk membayar provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) serta denda administratif. Padahal, sebelum UU Cipta Kerja disahkan, Pasal 80 UU Kehutanan juncto Pasal 18 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur bahwa perusahaan yang melanggar perizinan di kawasan hutan harus dievaluasi, kena pencabutan izin, hingga penjatuhan sanksi bagi perusahaan. Penjatuhan sanksi ini termasuk sanksi administrasi berupa pembayaran denda dan pemulihan hutan rusak, dan sanksi pidana. Artinya, negara seyogyanya menjalankan tugas untuk mencabut izin usaha sekaligus memaksa perusahaan untuk merestorasi hutan yang dirusak, termasuk, jika merujuk kalimat Luhut, “mencabuti seluruh batang pohon sawit.”
Kebijakan proteksionis yang tercermin dalam UU Kehutanan dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan benar-benar dikangkangi UU Cipta Kerja, semata-mata untuk mempermudah segala hal yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi.
Dalam hal ini, 3,3 juta hektar hutan di-branding sebagai upaya “penyelesaian sengkarut tata kelola industri sawit.” Padahal, berkaca dari kelangkaan minyak goreng pada Maret 2022, masalah utama sengkarut tata kelola industri sawit ada pada ketiadaan pengawasan yang menyebabkan kekuatan oligopoli menguasai pasar crude palm oil (CPO).
Tak transparan
Anthony Ogus (2004) dalam bukunya yang berjudul “Regulation Legal Form and Economic Theory” menawarkan tiga model regulasi yang dapat diterapkan dalam mengatur kehidupan bernegara dengan derajat intervensi negara yang berbeda-beda. Pertama, kewajiban memberikan informasi, merupakan bentuk regulasi dengan derajat intervensi rendah.
Kedua, penentuan standar tertentu terhadap sebuah komoditas, merupakan bentuk regulasi dengan derajat intervensi moderat. Ketiga, tingkat intervensi paling tinggi dari negara dalam sebuah peraturan dapat ditemui dalam bentuk suatu persetujuan atas sebuah tindakan alias memberikan izin.
Oleh karena sifat intervensinya yang paling tinggi maka perizinan sudah semestinya syarat-syarat ketat disematkan sebagai bagian dari kewajiban negara memberikan pelindungan bagi hak asasi manusia dan lingkungan. Rasionalitas ini semestinya terwujud dalam pengaturan izin lokasi, izin usaha perkebunan, hak guna usaha, dan pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu agar menjamin legalitas kebun sawit.
Instrumen ini dibuat untuk memagari agar perubahan bentang alam pasca kebun sawit seminimal mungkin menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan yang berdampak pada kehidupan manusia, bahkan menjangkau generasi mendatang.
Membangun kebun sawit dilarang di dalam kawasan hutan. Larangan demikianlah yang menurut Kiss dan Shelton merupakan teknik pembatasan dan larangan yang disebut sebagai land-use restrictions. Teknik ini menentukan distribusi kegiatan yang dianggap berbahaya bagi lingkungan (Wibisana, 2017). Misal, pengaturan tata ruang untuk perkebunan, pemukiman, perindustrian, dan lain-lain atau sebaliknya bahwa sebuah usaha tertentu hanya bisa diberikan izin apabila dilakukan di wilayah spesifik.
Land-use restrictions ini bertujuan menjamin wilayah-wilayah penting seperti hutan, cagar alam, wilayah konservasi dapat tetap terjaga.
Keterlanjuran penanaman sawit seluas 3,3 juta hektar di dalam kawasan hutan tidak mungkin terjadi tanpa ada kontribusi dari negara selaku pemegang otoritas dalam penerbit izin, penyusun tata ruang, serta pihak yang bertanggung jawab atas kelestarian dan perlindungan lingkungan. Pemutihan kebun sawit di dalam kawasan hutan tanpa penindakan sedikitpun, baik terhadap penyelenggara negara maupun kepada korporasi yang melakukan pelanggaran, hanyalah nama lain dari pemaafan terhadap tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan secara sistematis selama bertahun-tahun.
Siapa sebetulnya pihak-pihak yang diuntungkan dari kebijakan ini?
Menurut Menteri Luhut, pelaku budidaya sawit di dalam kawasan hutan itu banyak yang berasal dari golongan small medium enterprises, namun data berbeda dimiliki Greenpeace Indonesia. Berdasarkan analisis Greenpeace Indonesia dan The TreeMap pada akhir 2019, terdapat total 3,12 juta hektar sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan Indonesia.
Dari jumlah itu, 1,55 juta hektar atau sekitar separuhnya merupakan perusahaan perkebunan. Laporan ini menemukan setidaknya 600 perusahaan perkebunan dengan luas perkebunan di atas 10 hektar di dalam kawasan hutan (Greenpeace, 2021). Jadi, argumentasi yang berupaya memaklumi small medium enterprises menjadi makin mengada-ada.
BPKP harus membuka seluruh hasil audit kebun sawit ke publik agar menjadi terang pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Hal ini penting sebagai pijakan dasar dalam upaya pembenahan tata kelola kelapa sawit di Indonesia. Kebijakan pemutihan yang diambil pemerintah dapat bermuara pada potensi terjadinya impunitas lingkungan. Impunitas lingkungan (environmental impunity) didefinisikan melalui pendekatan yang bernuansa kriminologi hijau (green criminology) dan merujuk pada kurangnya investigasi, penuntutan, penghukuman, dan pemulihan kerusakan atas kejahatan yang dilakukan terhadap lingkungan; ketidakpatuhan terhadap tujuan kebijakan lingkungan atau iklim; dan tidak adanya strategi dan program kebijakan antargenerasi (Juan Antonio Le Clercq dan Celeste Cedillo, 2021).
Bebas dari deforestasi
Persoalan lain yang patut menjadi perhatian adalah regulasi Uni Eropa tentang produk bebas deforestasi–atau dikenal sebagai European Union Deforestation Regulation (EUDR)–yang mulai berlaku 29 Juni 2023. Regulasi terobosan ini untuk mengatasi deforestasi global dan degradasi hutan yang didorong konsumsi di negara-negara anggota Uni Eropa. Sawit, termasuk komoditas di dalamnya selain kedelai, kopi, kakao, daging sapi dan lain-lain.
EUDR ini merupakan contoh perluasan teritorial (territorial extension) hukum Uni Eropa yang mengatur domain kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan dan perubahan iklim. Praktik perluasan teritorial memungkinkan Uni Eropa untuk mengatur kegiatan yang tak berpusat pada kawasan Uni Eropa yang bertujuan membentuk fokus dan konten hukum negara ketiga dan hukum internasional.
Perluasan ini tidak terlepas dari keberhasilan Uni Eropa menggunakan akses pasar sebagai instrumen untuk meningkatkan migrasi norma-norma untuk diterapkan di luar kawasan. Uni Eropa dikatakan terlibat dalam globalisasi pengaturan unilateral (unilateral regulatory globalization) yang lebih dikenal dengan sebagai “Efek Brussel” (Joanne Scott, 2014).
EUDR memberikan definisi tentang deforestasi dan degradasi. Merujuk ketentuan, deforestasi berarti konversi hutan untuk penggunaan pertanian. Sementara degradasi berarti perubahan struktural pada tutupan hutan, yang berupa konversi hutan primer atau hutan yang tumbuh alami menjadi hutan perkebunan atau lahan berkayu lain dan konversi hutan primer menjadi hutan tanam.
Alih-alih berupaya mengikuti segala persyaratan yang diatur dalam EUDR itu, Indonesia bersama Malaysia malah memprotes keberadaan EUDR yang dianggap sebagai kebijakan diskriminatif dan dapat memukul industri sawit di Indonesia. Protes itu disampaikan saat kunjungan diplomatik ke Brussels dan negara-negara Uni Eropa lain pada akhir Mei 2023.
Ketentuan UU Cipta Kerja dan kebijakan pemutihan kebun sawit di dalam kawasan hutan yang disampaikan Menko Luhut justru makin mengonfirmasi deforestasi yang terjadi dan mengampuninya.
Kalau diteropong dari EUDR, apabila di area pemutihan itu masih ada hutan dan kemudian ditebang, maka pengertian deforestasi akan sesuai praktik itu. Apabila sawit tertanam saja yang diputihkan, maka otomatis lolos dari ilegal menjadi legal. Pilihan kebijakan ini akan sangat mungkin justru menjadi hal yang akan diperhatikan bagi implementasi EUDR yang akan memulai proses benchmarking.
Meski pada pokoknya, penilaian risiko akan dilakukan dengan mendasarkan pada tiga kriteria, yakni: laju deforestasi, laju perluasan pertanian dan tren produksi. Di luar itu, juga mencakup komitmen iklim suatu negara atau wilayah, tingkat transparansi, dan kepatuhan terhadap peraturan yang melindungi hak asasi manusia dan hak tenurial adat.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini tampaknya makin jauh dari upaya melawan deforestasi sebagai komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim dan upaya menyelesaikan hambatan ekspor sawit. Berbagai kebijakan keluar semata demi kepentingan sempit investasi dengan dalih mewujudkan kemudahan berusaha, tetapi mengabaikan aspek lingkungan.
- Penulis: Andi Muttaqien adalah Direktur Eksekutif Satya Bumi. Satya Bumi adalah organisasi kampanye lingkungan yang mengambil langkah advokasi untuk melindungi hutan Indonesia dan ekosistem alam yang vital dengan mendorong penghormatan dan perlindungan HAM. Tulisan ini merupakan opini penulis.
*******