- Kapal ikan asing (KIA) berbendera Malaysia ditangkap di perairan Selat Malaka, Indonesia beberapa bulan lalu. Mereka kedapatan mencuri ikan menggunakan alat tangkap trawl.
- Meskipun berbendera Malaysia, kapten dan ABK kapal semuanya berkewarganegaraan Myanmar. Mereka juga ikut diamankan bersama barang bukti lainnya.
- Kepada Mongabay Indonesia, ABK ini bercerita, mereka terpaksa masuk secara ilegal ke Malaysia melalui calo. Kemudian menjadi ABK di kapal Malaysia, hingga ditangkap aparat Indonesia.
- Sampai saat ini mereka masih berada di PSDKP Batam. Nasib mereka tidak menentu. Mereka berharap bisa kembali ke Myanmar bertemu dengan istri dan anak-anak mereka.
Hla Win (41 tahun) perlahan menyapu bedak warna kuning ke wajahnya. Aktivitas itu rutin dilakukan nelayan asal Myanmar ini pada siang hari. Bedak yang digunakannya bukanlah bedak biasa. Bedak itu khas dari Myanmar yang disebut ‘thanakha’ yang terbuat dari kulit kayu itu untuk menghindari sengatan matahari.
“Kalau melaut saya menggunakan ini (thanakha), biar tidak terlalu panas terkena sinar matahari,” ujar Hla Win membuka cerita dalam bahasa Myanmar, akhir Mei 2023 lalu. Hla Win merupakan ABK kapal Malaysia KM. PKFB 350 yang ditangkap melakukan illegal fishing di perairan Selat Malaka.
Saat ini Hla Win bersama empat orang ABK lainnya tinggal di rumah penampungan sementara awak kapal tindak pidana perikanan Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kota Batam. Nelayan Myanmar ini bercerita kepada Mongabay Indonesia. Bagaimana ia kabur dari konflik negaranya, kemudian menjadi ABK ilegal di Malaysia, hingga ditangkap di perairan Indonesia mencuri ikan.
Korban Konflik
ABK asal Myanmar tidak punya pilihan lain. Mereka terpaksa harus bekerja ke Malaysia untuk mencari pekerjaan yang layak. Bagi mereka negaranya sedang tidak baik-baik saja, apalagi konflik disana semakin meruncing belakangan ini.
Pria asal Yan Goon Myanmar makin yakin setelah diajak temannya bekerja di Malaysia, dengan dipertemukan kepada calo secara ilegal, tanpa tanda pengenal diri, apalagi paspor.
Masih jelas dalam ingatan Hla Win dua tahun lalu ketika masuk ke Malaysia naik bus, bahkan melintasi Thailand secara diam-diam. “Kami masuk melalui jalur tikus, naik bus berhari-hari,” katanya bercerita.
baca : Riset: ASEAN Belum Melindungi ABK di Kapal Penangkap Ikan
Meskipun masuk secara ilegal, ia harus mengeluarkan duit Rp40 juta untuk sampai Malaysia. Sebagian besar uang yang diperlukannya itu berasal dari calo pekerja asing yang menyalurkannya. “Saya punya uang sedikit, kekurangan itulah dipinjamkan oleh calo,” katanya.
Sesampai di Malaysia, katanya, pekerjaan nelayan yang sangat memungkinkan, pasalnya jadi ABK tidak perlu dokumen identitas diri ataupun persyaratan lainnya.
“Begitu juga dengan surat perjanjian kerjasama antara ABK dan pihak pemilik kapal di Malaysia juga tidak ada, kami langsung bekerja,” katanya.
Senada juga dengan Ko Ko Win (38 tahun) nelayan lainnya. Sebelum menjadi nelayan ia pernah bekerja sebagai tukang bangunan di darat. Namun, karena terkendala bahasa membuatnya harus mencari pekerjaan lain.
Ko ko Win juga mengaku tidak bisa bekerja di Myanmar, dirinya takut dengan adanya perang. Ia tidak bisa bekerja dengan nyaman di negaranya sendiri. “Makanya saya cari nafkah ke Malaysia, kirim duit ke keluarga,” katanya.
Sedangkan nelayan lainnya Soe Hla (29 tahun) mengatakan, Myanmar adalah negara susah, mereka ingin punya hidup lebih baik dan nyaman. “Jadi banyak dari kami bergantung kepada negara lain, kalau sudah keluar dari Myanmar, kami berharap hidup kami lebih baik,” kata Soe yang mulai paham bahasa Melayu.
baca juga : Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok
Dengan tidak ada perjanjian kerja, mereka bekerja mengoperasikan jaring trawl dari pagi hingga malam setiap hari di atas kapal Malaysia. “Di atas kapal kami bekerja seperti ABK biasa, bangun pagi, setelah itu menunggu perintah tekong menurunkan jaring trawl, begitu juga menariknya, setelah ditarik, ABK juga memilih ikan yang didapatkan,” kata Hla Win.
Dalam sehari, mereka bisa menurunkan tiga kali jaring trawl, tergantung perintah dari kapten kapal. “Satu bulan kami digaji 1.800 ringgit Malaysia (Rp5 juta), cukup tidak cukup harus dicukupkan,” kata Soe.
Tidak jarang, ABK ini mendapatkan perlakuan kasar dari kapten kapal. Seperti yang dialami Ko Ko Win. Beberapa kali ia mendapatkan pukulan karena tidak melaksanakan perintah yang diberikan kapten.
“Layak tidak layak (pekerjaan ini), kerja ini harus saya jalani, untuk mengumpulkan uang, melunasi hutang dan bunga calo tadi, supaya bisa pulang ke negara,” sambung Hal Win.
Gunakan Trawl yang Merusak
Aktivitas melaut mereka di perairan Selat Malaka pada Maret 2023 lalu dipergoki kapal patroli laut Indonesia. Mereka tidak bisa melarikan diri karena jaring trawl yang sedang dipakai saat itu rusak tidak bisa ditarik kembali ke kapal. “Jadi tak bisa lari lagi, disitulah kena tangkap,” kata Soe.
Kapal Malaysia kebanyakan melaut menggunakan alat tangkap trawl belakang. Alat ini dilarang di Indonesia karena merusak. Para ABK Myanmar ini mengakui trawl tidak ramah lingkungan.
Tidak hanya menyapu dasar laut, alat ini juga menangkap semua ukuran ikan, baik yang besar maupun kecil. “Trawl ini merusak laut, karena anak-anak ikan semua kena, ikan kecil dan ikan besar diangkut,” kata Soe.
Soe tidak bisa memastikan jumlah ikan yang bisa diangkut mereka karena tergantung kondisi ikan di laut. “Kami hanya ABK, kalau banyak ikan yang diangkut itu tekong yang tahu,” kata Soe. Saat ini tekong kapal sedang ditahan di rutan Batam ia mengikuti sidang sebagai tersangka illegal fishing.
baca juga : Laut Natuna Utara Tetap Jadi Favorit Lokasi Pencurian Ikan
Soe Hla, Hla Win dan tiga ABK lainnya saat ini masih berada di Penampungan PSDKP. Para ABK ini beraktivitas seperti biasa, tidur, mencuci, masak, olahraga dan lainnya. Termasuk menguras air yang masuk ke kapal yang mereka gunakan mencuri ikan di laut Indonesia.
Mereka juga mengisi kesibukan dengan cara membuat kerajinan anyaman. Bahannya diambil dari jaring trawl bekas milik kapal asing. Terlihat juga ABK Myanmar ini berbaur dengan ABK Vietnam yang juga ditangkap karena melakukan illegal fishing.
Soe mengatakan, setelah ditangkap pada Maret 2023 lalu, pemilik kapal tidak pernah menghubungi mereka lagi. Tentu semenjak ditahan mereka tidak lagi memiliki penghasilan untuk dikirim ke keluarga mereka di Myanmar. Bahkan sebagian dari mereka tidak mengetahui pasti nasib keluarganya di tengah konflik yang terjadi di Myanmar.
Sampai saat ini kondisi ABK kapal ini tidak menentu. Mereka tidak memiliki biaya cukup kembali ke negara asal atau kembali ke Malaysia. “Kalau saya pasti ke Malaysia lagi, kerja lagi, karena harus bayar hutang yang belum lunas,” kata Soe.