- Perguruan tinggi yang ada di Bali, NTB, dan NTT perlu berkolaborasi untuk melakukan pemetaan seluruh kawasan mangrove di Lesser Sunda
- Potensi mangrove di Lesser Sunda sangat besar, tapi masih kurang data yang bisa dijadikan rujukan untuk pengembangan
- Perguruan tinggi bisa melakukan pendidikan dan penelitian secara rutin, termasuk juga program pengabdian masyarakat diarahkan ke kawasan mangrove
- Salah satu kawasan mangrove di Lesser Sunda yaitu Desa Cendi Manik, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat NTB berkembang berkat dukungan perguruan tinggi, pemerintah, swasta, media, dan komunitas.
Kawasan mangrove di Lesser Sunda yang meliputi kepulauan di Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi pengembangan pariwisata. Sebagai daerah tujuan utama pariwisata, kawasan mangrove bisa menjadi alternatif destinasi wisata di samping destinasi utama yang sudah dikenal. Karena itulah penting segera dilakukan pemetaan kawasan mangrove yang dikenal dengan kawasan Sunda Kecil ini.
“Perguruan tinggi bisa melakukan ekspedisi Lesser Sunda khusus untuk pemetaan mangrove,’’ kata Profesor Rahmawaty, kepala program studi magister dan doktor pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU) dalam webinar Potensi Pengembangan Mangrove di Kawasan Lesser Sunda yang diselanggarakan oleh Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Mataram, Sabtu (26/8/2023).
Dalam ekspedisi ini, tim bisa melakukan berbagai program yang mengacu pada tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Di bidang pendidikan, kawasan mangrove Lesser Sunda bisa menjadi laboratorium program studi terkait.
Guru besar ilmu kehutanan ini mencontohkan USU termasuk dirinya, sudah banyak melakukan kegiatan pendidikan dan penelitian di kawasan mangrove sebagai kewajiban dosen dan mahasiswa. Langkah serupa juga bisa dilakukan oleh perguruan tinggi di Lesser Sunda, khususnya Universitas Mataram.
“Peran perguruan tinggi melakukan penelitian ilmiah, seminar, lokakarya, konferensi, publikasi nasional dan internasional, menjadi tenaga ahli di beberapa instansi,’’ katanya menjelaskan pihaknya juga aktif bekerjasama dengan instansi pemerintah.
baca : Berkat Mangrove, Desa Lembar Selatan Dapat Penghargaan Pariwisata
Program pengabdian masyarakat juga menjadi penting karena potensi mangrove bisa dioptimalkan dengan dukungan perguruan tinggi. Pemanfaatan buah mangrove untuk diolah menjadi sirup, kopi, olahan kue bisa dibantu oleh kegiatan pengabdian masyarakat. Bisa melalui program pendampingan khusus, kuliah karya nyata (KKN) dan magang. Selain riset produk dari mangrove, perguruan tinggi bisa membantu dalam pemasaran.
Menurutnya, tiga peran perguruan tinggi ini bisa menyelamatkan mangrove yang ada saat itu. Melalui riset, bisa menjadi dasar pembuatan kebijakan pengembangan Kawasan mangrove. Melalui pemberdayaan masyarakat, manfaat ekonomi mangrove bisa dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di kawasan mangrove. Ketika mereka menerima manfaat ekonomi dengan keberadaan mangrove itu, masyarakat akan menjaga kelestariannya.
Manfaat Hutan Mangrove
Secara umum Profesor Rahmawaty membagi tiga fungsi hutan mangrove. Pertama, fungsi fisik yaitu menjaga garis pantai dari erosi dan abrasi, termasuk potensi bahaya tsunami, menahan badai atau angin kencang dari laut. Dalam beberapa riset, hutan mangrove terbukti menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar.
Fungsi kedua adalah fungsi biologi, dimana hutan mangrove berperan penting dalam rantai makanan dengan menyediakan nutrisi bagi plankton dari bahan pelapukan. Hutan mangrove menjadi biota bagi ikan-ikan, kerang, kepiting dan udang untuk memijah, berkembang biak dan bersarang. Termasuk juga sumber plasma nutfah dan sumber genetik.
Fungsi ketiga yaitu fungsi ekonomi sebagai penghasil kayu bakar, arang, bahan bangunan, juga sebagai penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola tambak silvofishery.
“Ini yang potensi besar juga sebagai tempat wisata, penelitian dan pendidikan,’’ katanya.
Selain itu, kawasan mangrove Lesser Sunda dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, berperan ekologis penting, sebagai penangkapan karbon dan kawasan konservasi. “Potensi ekowisata juga harus dikembangkan secara berkelanjutan,’’ pungkasnya.
baca juga : Kala Hutan Mangrove jadi Penyelamat Lingkungan dan Ekonomi Warga Paremas
Praktik Baik dari Cendi Manik
Muhammad Barmawi dari Balai Pengeloaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Wilayah Kerja NTB dalam diskusi yang diikuti mahasiswa dan dosen dari ilmu lingkungan, Fakultas Kehutanan, Fakultas Kelautan dan Perikanan di Sumatera Utara dan NTB itu membagikan contoh pemanfaatan potensi mangrove di Desa Cendi Manik, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.
Desa ini dibantu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai dari penyiapan bibit, penanaman, hingga kini pemanfaatan untuk ekowisata. Hingga saat ini masyarakat di Desa Cendi Manik sudah menanam sekitar 120.000 bibit mangrove dan pembangunan nursery mangrove dengan stok 500.000 bibit.
“Kalau sekadar penanaman mangrove sudah menjadi rutinitas, karena itulah disusun berbagai program,’’ kata Barmawi.
Di Desa Cendi Manik terdapat kelompok masyarakat pengelola kawasan wisata mangrove, yang menyediakan paket bermain kano menelusuri hutan mangrove, camping ground, dan kuliner seafood. Salah satu program unggulannya ekowisata pendidikan bagi pelajar dan mahasiswa.
Pengelola aktif mempromosikan ekowisata mangrove di Desa Cendi Manik melalui media sosial, termasuk promosi oleh pengunjung sendiri, sehingga makin terkenal. Dulunya desa biasa jadi tempat usaha garam dan tambak, bahkan mengambil kayu mangrove. Sekarang menjadi salah satu desa percontohan untuk pengembangan kawasan mangrove.
“Tantangan besar kami di sini sumber daya manusia. Ada yang berhenti di tengah jalan, ada yang kurang aktif, ada juga yang aktif,’’ katanya.
baca juga : Kala Abrasi Gili Matra Makin Parah
Menurut Barmawi peran perguruan tinggi sangat penting dalam pengembangan kawasan mangrove di Desa Cendi Manik dan desa-desa lainnya di NTB. Saat ini, di kawasan mangrove Desa Cendi Manik kerap menjadi lokasi praktik dan magang mahasiswa dari jurusan kelautan dan lingkungan. Riset yang mereka lakukan, termasuk program pendampingan ke masyarakat membantu BPSPL Denpasar Wilker NTB dalam mengembangkan ekowisata mangrove.
“Tentu saja dukungan dari perguruan tinggi, komunitas, bisnis, pemerintah, dan media mendukung pengembangan potensi mangrove,’’ katanya. (***)