- Hampir separuh perkebunan sawit di Provinsi Riau (47%) adalah ilegal, menurut laporan terbaru Koalisi LSM Eyes on the Forest (EoF). Perkebunan ilegal ini mencakup lahan seluas 2,52 juta hektar
- Lebih dari separuh perkebunan kelapa sawit ilegal di Indonesia berada di Riau, yang merupakan provinsi pemasok sawit besar di Indonesia.
- EoF telah meminta pemerintah untuk memfokuskan transparansi pada program amnestinya untuk menghindarkan praktik korupsi.
- Dalam program serupa di masa lalu, banyak perusahaan yang tidak ikut berpartisipasi.
Laporan yang diterbitkan oleh koalisi LSM, Eyes on the Forest (EoF) menyebutkan bahwa hampir separuh perkebunan sawit (47%) yang ada di Riau ilegal.
Temuan yang didasarkan pada analisis spasial peta pemerintah tahun 2020 yang disusun oleh WWF, menjumpai 2,52 juta hektar lahan sawit (dari total 5,41 juta hektar) berada di kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 seharustnya dilarang untuk kegiatan budidaya sawit dan pertambangan.
Mayoritas perkebunan ilegal tersebut, yaitu 91,3%, didirikan di kawasan hutan yang dikategorikan sebagai hutan produksi, sedangkan sisanya berada di kawasan konservasi dan lindung. Sebelumnya, Pemerintah telah mengidentifikasi 3,37 juta hektar, -atau seperempat pulau Jawa, total perkebunan sawit ilegal di Indonesia.
Temuan baru ini menjadikan Riau sebagai rumah bagi perkebunan sawit ilegal terbesar di Indonesia. Upaya penyelesaian di Riau dengan demikian, bisa jadi prioritas.
“Kalau di Riau bisa diselesaikan, maka permasalahan yang sama di provinsi lain bisa dengan mudah diselesaikan,” jelas Koordinator EoF, Nursamsu kepada Mongabay.
Pemerintah berencana untuk melegalkan perkebunan ilegal di bawah program amnesti menyeluruh yang diperkenalkan melalui Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law). Dalam skema ini diberikan masa tenggang tiga tahun kepada para operator perkebunan ilegal untuk memperoleh izin yang sesuai, menata ulang zona operasional, serta membayar denda yang diperlukan.
Sebaliknya, EoF dan para aktivis menyerukan transparansi dan pelibatan masyarakat dalam proses perkebunan ilegal, guna mencegah korupsi mengingat waktu tiga tahun bagi perusahaan untuk mendapatkan amnesti bukanlah waktu yang panjang.
Laporan ini menyebut bahwa terdapat 46 perkebunan sawit ilegal yang ada di dalam kawasan hutan di Riau. Setengahnya sudah berusia antara 10-35 tahun. Beberapa diantaranya terafiliasi dengan perusahaan besar seperti Sinarmas, Darmex, Surya Dumai, dan First Resources.
Jika pada akhirnya perkebunan ini mendapatkan amnesti dari pemerintah, pemiliknya harus melakukan rehabilitasi bagian-bagian konsesi mereka yang terdegradasi, sebut EoF.
“Pemulihan ekosistem di lanskap sawit di dalam kawasan hutan akan membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi,” sebut Boy Even Sembiring, Direktur WALHI Riau.
Dua Jenis Model Izin Perkebunan Ilegal
Dalam program ini, ada dua jenis perkebunan yang memenuhi syarat untuk dikecualikan: perkebunan yang memiliki izin terkait dari otoritas lokal namun tidak dari pemerintah pusat, yang dikenal dalam program ini sebagai pemohon 110a; dan mereka yang tidak memiliki izin baik dari pemerintah daerah maupun nasional, yang dikenal sebagai 110b.
Perkebunan 110a dapat memperoleh legalisasi permanen dengan membayar denda dan mengajukan permohonan serta mendapatkan izin rezonasi, yang juga dikenal sebagai surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Untuk dapat dikategorikan sebagai pemohon 110a, perusahaan harus memiliki konsesi yang berlokasi di wilayah yang dikategorikan sebagai perkebunan dalam rencana tata ruang setempat, serta memiliki izin yang diperlukan dari pemerintah daerah.
Jenis perusahaan 110a juga harus membayar denda dan hanya dapat terus beroperasi untuk satu siklus panen lagi, atau maksimum 15 tahun. Sedangkan perkebunan yang berada di kawasan hutan lindung atau konservasi tidak dapat diberikan amnesti dan lahannya akan segera diambil alih oleh kementerian.
Nursamsu dari EoF mengatakan kemungkinan besar perusahaan akan lebih memilih untuk dikategorikan sebagai 110a, dibandingkan 110b, karena ini berarti legalisasi permanen. Persoalannya adalah di identifikasinya. Kurangnya transparasi membuka peluang publik tidak mengetahui apakah suatu perusahaan yang seharusnya masuk sebagai kategori 110b dilegalkan berdasarkan peraturan 110a.
Laporan EoF menemukan 32.138 hektar dari 46 perkebunan yang diselidiki berlokasi di wilayah yang tidak dikategorikan untuk perkebunan berdasarkan rencana tata ruang provinsi Riau.
“Perkebunan itu tidak boleh diproses sebagai pemohon 110a,” kata Nursamsu. “Seharusnya publik diberi akses [terhadap informasi] sehingga kami tahu perusahaan mana saja yang berada di kawasan hutan. Dengan begitu, masyarakat bisa menilai perusahaan mana yang harus diproses menjadi pelamar 110a, dan mana yang menjadi pelamar 110b.”
Untuk memastikan pemilik perkebunan ilegal diproses sebagaimana mestinya, pemerintah perlu mengungkapkan informasi rinci tentang perkebunan ilegal dan pemiliknya kepada publik, tambahnya.
Batas Waktu
Batas waktu bagi operator perkebunan untuk mengajukan program amnesti adalah tanggal 2 November 2023. Pada awal tahun 2023, total 237.511 hektar perkebunan telah efektif dilegalkan melalui program ini.
Pada akhir tahun 2022, pemerintah juga telah mengidentifikasi pemilik perkebunan ilegal seluas 543.411 hektar, termasuk 616 perusahaan kelapa sawit.
Meskipun program amnesti memberikan peluang pelegalan perkebunan mereka, tidak banyak perusahaan yang terburu-buru untuk mendapatkan pengampunan, jelas Hariadi. Kartodihardjo , Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University.
“Kami pikir [akan ada permintaan yang lebih besar untuk] program amnesti, namun mereka bahkan tidak mau mendapatkan pengampunan,” katanya kepada Mongabay.
Ini seperti mengulang program serupa yang pernah diluncurkan di tahun-tahun sebelumnya, diantara tahun 2012-2020.
Hariadi mengatakan, meski diberi peluang di masa lalu, perusahaan tidak memanfaatkannya. Hal ini mungkin terjadi karena perusahaan pemilik perkebunan ilegal percaya bahwa tidak akan penegakan hukum dan dampak buruk jika mereka terus beroperasi ilegal.
“[Sudah rahasia umum] perkebunan besar mana yang tidak didukung oleh militer dan pejabat tinggi,” kata Hariadi. “Jadi, banyak perusahaan yang mengandalkan dukungan ini dibandingkan mengikuti aturan.”
Tulisan asli: Report: Half of plantations in Indonesia’s palm oil heartland are ilegal. Artikel ini diterjemahkan oleh Ridzki R Sigit.
***
Foto utama: Pembukaan kebun sawit yang terjadi di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia