- Komunitas Gebetan merupakan Komunitas Muda Mudi Tapobali Ujung Kampung di Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, NTT, yang peduli dengan lingkungan.
- Komunitas ini membuka lahan sorgum di kebun mete milik warga. Panjang lahan 90 meter, lebar 56 meter, dengan total produksi 350 kilogram.
- Gebetan juga berinisiatif memproduksi kopi sorgum. Pemasarannya selain di sekitar desa, juga di beberapa wilayah Indonesia.
- Hasil penjualan kopi sorgum dipergunakan untuk penanaman bambu dan kegiatan konservasi lingkungan di Desa Tapobali.
Baca sebelumnya: Krisis Iklim yang Berdampak pada Pangan Lokal di Lembata
**
Sejumlah tanaman pertanian terlihat jelas di Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, NTT.
“Petani di sini biasa menanam padi, jagung, dan sorgum saat musim hujan untuk dikonsumsi sendiri,” ujar Hendrikus Bua Kilok, pemuda Tapobali, awal November 2023.
Hendrikus merupakan pelopor pemberdayaan anak muda Topobali. Lelaki kelahiran Kunak, 21 Januari 1997 ini, sepulang merantau dari Malaysia 2018, mengajak para pemuda untuk bertani.
Masuknya Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka [Yaspensel] pada 2018 disambut baik oleh 10 pemuda di sini, termasuk Hendrikus.
“Sorgum cocok ditanam di tempat kami. Produksinya stabil dan jarang gagal panen,” sebutnya.
Pada 13 Februari 2021, Hendrikus mengajak anak muda untuk membentuk komunitas Gebetan [Gerep Blamu Tapobali Wolowutun], yang artinya Muda Mudi Tapobali Ujung Kampung.
Gebetan membuka lahan sorgum di kebun mete milik warga. Panjang lahan 90 meter, lebar 56 meter, dengan total produksi 350 kilogram.
“Tahun 2021 ada badai Seroja, tanaman sorgum rusak dan berjamur. Kami mengalami gagal panen. Biasanya setahun bisa panen sampai dua kali,” ucapnya.
Baca: Mewujudkan Kedaulatan Pangan dengan Pangan Lokal, Seperti Apa?
Gebetan juga berinisiatif memproduksi kopi sorgum. Campurannya 3:1 yaitu 3 kg sorgum dan 1 kg kopi. Kopi dibeli dari petani di Boto, Kecamatan Nagawutung.
Ambrosia Ero [42], anggota Gebetan, mengatakan harga jual kemasan kopi sorgum ukuran 250 gr [Rp10 ribu], 500 gr [Rp15 ribu], dan 1 kg [Rp25 ribu]. Pemasarannya selain di sekitar desa, juga di beberapa wilayah Indonesia.
Kendalanya, sebut Ambrosia, adalah kapasitas mesin hanya 2,5-5 kg sekali produksi. Sebulan hanya 5 kali produksi. Selain itu, kelompoknya tidak memiliki mesin perontok dan mesin sosoh.
Perontok dilakukan manual. Sorgum dijemur kering tiga hari lalu dimasukkan ke karung plastik dan dipukul menggunakan botol kaca atau kayu bulat. Untuk mesin sosoh harus ke kota Larantuka.
“Pesanan meningkat tapi kami kewalahan untuk produksi, sebab mesinnya tidak bisa menghasilkan banyak. Kita juga harus keluar biaya transportasi dan membeli kopi di Boto sehingga keuntungannya sedikit,” terangnya.
Baca: Jejak Sorgum di NTT dan Penanaman kembali oleh Petani
Konservasi mata air
Komunitas Gebetan juga melakukan aksi bersih pantai di Tapobali dan menaman bambu demi terjaganya mata air.
Mereka membuat bibit 500 anakan bambu aur [Bambusa vulgaris] Juni 2022 dan pada Februari 2023 menanamnya di mata air Kmelafai
“Satu rumpun bambu bisa menampung 5 ribu liter air dalam satu musim sehingga sangat baik ditanam,” ucap Hendrikus.
Mata air Kmelafai bisa dikatakan bersejarah. Sebelum ada sumber air ini, warga mengonsumsi air payau yang ada di sela batu di pesisir pantai [Air Kongga].
“Mata air ini berada di bawah tebing. Sementara, bagian atasnya telah dibuka sebagai kebun karena itu harus dijaga debitnya,” paparnya.
Baca juga: Tantangan di ‘Provinsi Sorgum’, Pemerintah Harus Pro-Aktif Sediakan Bibit Lokal
Apresiasi
Sekertaris Desa Tapobali, Benediktus Sole menerangkan, saat ini air yang dikonsumi warga berasal dari mata air Horoladun yang berada di atas mata air Kmelafai.
“Kami berkeinginan lahan tersebut dijadikan areal konservasi dan ditamai pepohonan agar debit mata air terjaga.”
Benediktus mengapresiasi kerja komunitas Gebetan sehingga warga kembali menanam sorgum setelah puluhan tahun pangan lokal ini hilang.
“Warga mulai menanam sorgum dan tidak menebang pohon sembarangan. Kami juga membeli benih untuk dibagikan ke petani,” ucapnya.
Hendrikus menambahkan, hasil penjualan kopi sorgum dipergunakan untuk penanaman bambu dan kegiatan konservasi lingkungan.
“Kami akan terus menanam pohon di pesisir pantai dan sekitar mata air,” pungkasnya.