- Hutan Sanggabuana di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, memiliki keanekaragaman hayati luar biasa. Ada 123 jenis tumbuhan dari 43 Famili dan amfibi sekitar 16 spesies serta 31 spesies reptil.
- Di hutan dengan status produksi seluas 400 hektar ini juga ditemukan fauna berlabel jawa: macan tutul jawa, kucing hutan jawa, elang jawa, owa jawa, dan surili jawa.
- Ular naga jawa [Xenodermus javanicu] yang berada di Sanggabuana, sangat menarik untuk diteliti.
- Wisata bird watching memang berpotensi dikembangkan di Sanggabuana, mengingat di sini merupakan rumah terakhir bagi 116 spesies burung.
Baca sebelumnya: Jejak Meong Congkok di Hutan Sanggabuana
**
Umar Ahmad [20] basah kuyup setelah menerabas hujan deras sore itu, di awal Desember 2023. Dari kediamannya di Jakarta, dia bersama Muhammad Azka [19] tancap gas skuter matic-nya ke base camp Sanggabuana Conservation Foundation [SCF], di Desa Cintalaksana, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Umar dan Azka tercatat sebagai mahasiswa Biologi di Universitas Negeri Jakarta. Mereka datang dengan misi pengabdian. Semacam bikin riset mandiri untuk referensi bekal di akhir studi.
“Saya baru pertama kali ke sini, jadi mohon maaf atas keterlambatannya bang,” kata Umar menjelaskan.
“Kami juga sudah kontak dengan mas Bernard, untuk sedianya berkenan dibantu dan didampingi selama berkegiatan dua hari nanti,” timpal Azaka.
“Nanti kita coba bantu kebutuhannya,” jawab Deby Sugiri [31], anggota Sanggabuana Wildlife Ranger [SWR], salah satu unit dari SCF.
Umar bilang, ketertarikan melakukan riset mandiri berawal dari informasi penemuan beberapa spesies endemik di Sanggabuana. Awalnya Umar skeptis. Sebab, tak cukup tahu bila di wilayah dekat Jakarta masih ditemukan biodiversitas yang belum banyak dieksplorasi.
Umar bersyukur. Tak mesti menguras kantong dalam-dalam demi pengetahuan baru itu. Bersama 40 mahasiswa lain, mereka hanya menyiapkan akomodasi Rp100 ribu per orang.
“Kami senang bila diberi kesempatan untuk melakukan riset ekologi disini,” tutur Umar lagi.
Sebagai mahasiswa jurusan biologi murni, mereka butuh hutan sebagai bahan ajar. Termasuk, Umar dan Azka memang tertarik dunia reptil. Keduanya butuh ruang observasi untuk menyesap teori akademik yang selalu membuat pusing.
Apalagi penemuan ular naga jawa [Xenodermus javanicu] di Sanggabuana menjadi jalan untuk mengenal reptil endemik. Sebab, ular ini cukup sensitif terhadap perubahan lingkungan.
“Bang, kami akan dibagi ke beberapa kelompok sesuai bidang studinya masing-masing. Ada riset vegetasi, serangga, dan satwa bertulang belakang,” ucap Umar meyakinkan Deby.
Keragaman hayati
Meski terbilang baru, SCF mampu berbicara banyak. Bukti pemetaan kawasan selama tiga tahun, mematahkan anggapan bahwa keanekaragaman hayati tidak melulu ada di kawasan konservasi. Di hutan dengan status produksi pun mereka menemukan fauna berlabel jawa: macan tutul jawa, kucing hutan jawa, elang jawa, owa jawa, dan surili jawa.
Satwa-satwa tersebut berumah di Sanggabuana. Namun, statusnya masuk daftar merah Lembaga Konservasi Dunia [IUCN]. Artinya, nasib satwa endemik berada di tubir kepunahan.
Adapun flora, mereka mengidentifikasi 123 jenis tumbuhan dari 43 Famili. Jumlah itu sepertiga dari temuan flora di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang jaraknya sekitar 50 kilometer.
Salah satunya adalah burahol atau Stelechocarpus burahol. Tumbuhan ini berstatus ningrat, dulu digemari putri-putri keraton karena khasiat buahnya yang membikin tubuh wangi sepanjang hari.
Pohon itu juga dinilai memiliki filosofi penting bagi keraton. Tersirat makna “Adiluhung” dan “manunggaling sedya kaliyan gegayuhan” yang berarti kesungguhan meraih sesuatu yang mulia. Namun, karena identik dengan keraton, warga biasa menjadi segan menanam. Alhasil burahol menjadi sulit dicari.
Masih ada tanaman lain, semisal ficus. Tanaman tropis ini dikenal sebagai pioneer atau perintis yang digunakan sebagai indikator proses terjadinya suksesi hutan. Setidaknya ada 800 jenis ficus yang tersebar di seluruh dunia. Dan sebagian besar berada di daerah tropis.
Menariknya, SCF sudah mendata 23 jenis ficus. Hanya saja baru 8 jenis berhasil diidentifikasi: Loa [Ficus racemosa], Loa Gunung [Ficus hispida], Beringin [Ficus benjamina], Iprik [Ficus retusa], Ki Ampelas [Ficus ampelas], Kimeng [Ficus microcarpa], Awar-awar [Ficus septica], dan Bunut [Ficus glauca].
Koordinator SCF, Bernard T Wahyu Wiryanta, menyadari masih sedikitnya spesies yang diketahui dan tercatat. Meski sudah menginventarisir sekitar 16 ribu hektare, nyaris seluas Taman Nasional Gunung Ciremai.
Berdasarkan Informasi yang dihimpun, Sanggabuana terbentang sepanjang 269 kilometer atau 29.400 hektar. Artinya baru separuh yang terpetakan dari total kawasan tersebut.
Akan tetapi, pada lembah hutan Bernard dan kawan-kawan berhasil menemukan populasi amfibi sekitar 16 spesies dan reptil 31 spesies. Temuan ini dapat mendorong konservasi amfibi dan reptil yang masih terabaikan. Kajian herpetologi pun belum banyak dilakukan.
Begitu juga dengan penemuan spesies kunci paling penting. Kupu-kupu raja helena atau Troides helena yang hidupnya butuh perhatian.
Kupu-kupu ini termasuk satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, serta masuk Appendix II dalam Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna [CITES].
Orang mungkin hanya melihat kupu-kupu sebagai serangga. Padahal, dari kupu-kupu, seorang ahli matematika dan meteorologi pada 1961, Edward Norton Lorenz, menemukan Teori butterfly effect atau efek kupu-kupu.
Teori ini menggambarkan perubahan kecil yang memberikan dampak besar dalam jangka panjang untuk suatu peristiwa.
Jika dianalogikan, itu mirip satu kepakan sayap kupu-kupu di salah satu kawasan. Jika terjadi, akan berimplikasi pada perubahan unsur kehidupan di kawasan lain.
Sebagai contoh, ketiadaan kupu-kupu di suatu kawasan menandakan diversitas spesiesnya rendah. Itu saja hilang, bakal mengundang perubahan pola curah hujan, bencana alam ekstrem, dan anomali cuaca yang ujungnya mengganggu atau memengaruhi sirkulasi ekonomi.
Bernard membuktikan hal itu. Melalui ekspedisi Tjitaroem Twee Rivier Biodiversiteit, mereka menyasar sumber mata air di salah satu curug atau air terjun Cigentis.
Selama pendakian, ditemukan 95 mata air yang menambah debit air Sungai Cigentis hingga bermuara pada Sungai Cibeet. Sebelumnya, tercatat ada 339 titik mata air pada daerah aliran sungai [DAS] Citarum.
Ternyata, kawasan Sanggabuana turut berperan strategis menjaga suplai air baku bagi Jakarta melalui waduk Jatiluhur. Dari waduk yang sudah berusia 52 tahun itu, kebutuhan pangan negara juga diproduksi lewat aliran irigasi seluas 242 ribu hektar, termasuk bagi Karawang.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Karawang, luasan padi mencapai 95 ribu hektar. Panen dilakukan selama 2-3 musim itu, menargetkan produktivitas panen hingga 1,35 juta ton gabah kering panen [GKP] di tahun 2023.
Jika gabah kering dihargai Rp5.000 per kilogram, kebermanfaatan itu mampu menghasil potensi ekonomi setara Rp 6.1 triliun tiap tahun. Tak hanya itu, ada 77 ribu keluarga tani Karawang punya harapan hidup lebih panjang dengan ketersediaan air.
Belum lagi jasa lingkungan dari Gunung Sanggabuana, yang batas administrasinya terbagi 4 wilayah: Karawang, Bogor, Cianjur dan Purwakarta. Keberadaannya menjaga iklim mikro dan oksigen yang dihembus-hirupkan dari sepoi pepohonan.
Dan, perubahan itu mulai tampak. Di perbatasan hutan Sanggabuana terdapat pertambangan skala besar. Bernard menuturkan, perusahaan tersebut memang beroperasi dengan izin resmi.
Dedikasi
Sekalipun dibelit keterbatasan sarana, SCF coba memutar roda kegiatan. Mereka punya unit SWR, beranggotakan pemuda dan warga lokal, yang diberdayakan untuk patroli.
Mereka tak digaji. Tapi tetap perlu penghasilan.
Sebagai alternatif, mereka dilatih melakukan pengamatan burung. Seperti pada momen migrasi elang dari wilayah utara Bumi.
Dari sejumlah jenis elang, tiga jenis di antaranya diketahui sering singgah. Adalah elang-alap nipon [Accipiter gularis], elang-alap china [Accipiter soloensis], dan sikep-madu asia [Pernis ptilorhynchus].
“Kami sadar potensi seperti ini perlu dimanfaatkan sebagai bentuk kampanye. Bahwa tanpa merusak alam, kita mampu menghadirkan ekonomi berkelanjutan,” ujar Bernard.
Wisata bird watching memang berpotensi dikembangkan. Mengingat Sanggabuana merupakan rumah terakhir bagi 116 spesies burung.
Tiga jenisnya merupakan rangkong yang sudah sulit temui di hutan Jawa. Kangkareng perut putih [Anthracoceros albirostris], julang emas [Rhyticeros undulatus], dan rangkong badak atau enggang cula spesifik Jawa [Buceros rhinoceros].
Burung dengan suara kepakan sayap yang khas itu penyuka buah ficus. Dan burung ini termasuk frugivora yang memiliki sistem pencernaan tidak merusak biji sehingga membantu meregenerasi hutan secara alami.
Kini, titik terang datang. Ketika Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) memberi atensi melalui “pesan” pelepasliaran elang jawa di dekat tempat latihan militer.
Satwa itu berhabitat di Sanggabuana dan warga yang menangkap, dengan cemas menyerahkannya. Bernard senang. Katanya, keberpihakan tentara ibarat tameng dalam perlindungan kawasan. Apa boleh buat. Sirkulasi manusia ke hutan kadung marak dan cenderung merusak.
Jangan sampai efek kupu-kupu ditransmisikan lebih cepat. Menciptakan generasi penerus yang kelimbungan karena kehilangan hutan dan sumber pengetahuan.