- Film pendek “Climate Witness” Koaksi Indonesia terkait dampak perubahan iklim menampilkan seorang tokoh perempuan di Kota Kupang, NTT.
- Namanya Yasinta Adoe. Dia bersama warga menolak pembangunan jogging track di pesisir pantai Pasir Panjang, tak jauh dari rumahnya. Alasannya, dampak pembangunan ini membuat masyarakat sulit mengakses pantai.
- Aksi penolakan warga pada 2015 tersebut meluas, melibatkan tokoh adat, pihak gereja, mahasiswa, LSM serta, masyarakat yang tergabung dalam berbagai aliansi.
- Hasil penelitian “Tingkat Pencemaran Perairan Laut di Pesisir Teluk Kupang, NTT” menunjukkan, tingginya aktivitas yang dilakukan di wilayah pesisir Kota Kupang, berkontribusi terhadap menurunnya kualitas perairan.
Film pendek “Climate Witness” Koaksi Indonesia terkait dampak perubahan iklim menampilkan seorang tokoh perempuan di Kota Kupang, NTT.
Namanya Yasinta Adoe. Dia bersama warga menolak pembangunan jogging track di pesisir Pantai Pasir Panjang, Kota Kupang, tidak jauh dari rumahnya. Alasannya, dampak pembangunan ini membuat masyarakat sulit mengakses pantai.
“Perahu nelayan sulit ditarik ke darat saat musim angin kencang dan gelombang tinggi. Selain itu, jogging track dengan tanggul membuat sampah susah diangkut,” terangnya, November 2023.
Aksi penolakan warga pada 2015 tersebut meluas, melibatkan tokoh adat, pihak gereja, mahasiswa, LSM serta, masyarakat yang tergabung dalam berbagai aliansi.
“Kemungkinan pembangunannya masih berlanjut, sebab aktivitas penimbunan batu masih terjadi,” ungkapnya.
Dikutip dari kupangtribunnews, Pejabat Pembuat Komitmen [PPK] Kegiatan Sungai dan Pantai I, Satker PJSA SDA Nusa Tenggara II Provinsi NTT, Pahlawan mengatakan, pembangunan jogging track di Pantai Pasir Panjang, dengan anggaran Rp9 miliar tidak dihentikan.
“Waktu sosialisasi kepada warga, kami sudah sampaikan mengenai proyek penahan gelombang termasuk fasilitas jogging track. Ada sarana juga untuk tambatan perahu di ujung track,” ungkapnya waktu itu, pada 2015 lalu.
Baca: Begini Cara Nelayan NTT Hadapi Dampak Perubahan Iklim
Hasil penelitian “Tingkat Pencemaran Perairan Laut di Pesisir Teluk Kupang, NTT” oleh Yulita Hellen Fernandez, Lumban Nauli Lumban Toruan, dan Lady Cindy Soewarlan, dari Universitas Nusa Cendana menunjukkan, tingginya aktivitas yang dilakukan di wilayah pesisir Kota Kupang, berkontribusi terhadap menurunnya kualitas perairan.
Penelitian yang dilakukan pada Agustus 2021 itu menjelaskan, tingkat pencemaran tertinggi saat pasang ditemukan pada perairan Pelabuhan Tenau dengan nilai indeks pencemar 6,68 dan terendah pada perairan Lasiana dengan nilai indeks pencemar 3,19.
“Secara keseluruhan, perairan pesisir Kota Kupang saat pasang dan surut tergolong tercemar sedang,” jelas riset tersebut.
Baca: Kegigihan Mariam, Perempuan Nelayan di Teluk Kupang
Aksi peduli
Ridwan Arif, ketua penyelenggara Pesta Raya Flobamoratas [PRF] 2023 mengatakan, Koaksi Indonesia telah melakukan riset sederhana melalui Youtube tentang cerita solusi iklim lokal, termasuk di NTT.
Yasinta Adoe dipilih sebagai sosok anak muda serta tokoh perempuan yang terlibat aktif dan gencar mengajak masyarakat untuk peduli lingkungan.
“Rata-rata video pendek terkait perubahan iklim di Indonesia, dibungkus dengan gaya cenderung kelam dan negatif, karena fokus pada dampak buruk saja. Lebih banyak lagi yang terlalu berbasis sains sehingga sulit dipahami publik, terutama mereka yang belum paham perubahan iklim,” jelasnya.
Menurut Ridwan, perlu ada cerita dengan pesan akhir yang optimis dan terkoneksi dengan audiens.
“Kondisi ini mendorong kami mendokumentasikan cerita solusi iklim lokal sebagai upaya adaptasi dan menanggulangi perubahan iklim,” jelasnya.
Baca juga: Kisah Dewa, Nelayan Inspiratif di Kota Kupang
Drektur Eksekutif Yayasan Pikul Indonesia Torry Kuswardono menyebutkan, ada empat krisis yang terjadi saat ini yaitu krisis iklim, biodiversitas, pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta ketimpangan ekonomi terkait akses terhadap sumber daya alam.
Krisis ini, selalu diawali dengan kerusakan lingkungan, perampasan tanah, serta pengabaian HAM dan demokrasi. Local champion berhadapan dengan krisis ini. Problem pesisir yang dialami Yasinta Adoe tidak akan efektif apabila ekosistem pesisir di sekelilingnya tidak terjaga.
“Kita butuh banyak local champion, tapi mereka tidak bisa mengatasi krisis kalau tidak ada gerakan lebih besar untuk merubah sistemnya,” ucapnya.
Torry menyatakan, kampanye atau apa yang dilakukan anak muda harus sampai kepada para pembuat kebijakan.
“Optimisme itu harus selalu ada, dengan membuat banyak strategi agar semakin banyak orang yang berjuang menghadapi perubahan iklim,” tegasnya.