- Massa aksi yang tergabung koalisi pilih pulih menyerukan agar masyarakat kritis memilih pemimpin dengan melihat rekam jejaknya dan partai pendukungnya.
- Aksi damai yang berlangsung di Jakarta itu selain dimeriahkan rombongan marching band, juga menghadirkan boneka raksasa yang menyerupai boneka pinokio yang menggambarkan pemimpin yang saat kampanye banyak mengumbar janji.
- Selain krisis iklim, aktivis juga menyerukan kepada masyarakat agar memilih pemimpin yang peduli lingkungan, termasuk kondisi sungai, dan perhatian isu perlindungan awak kapal perikanan (AKP)
- Gabungan aksi dari puluhan lembaga masyarakat sipil dan komunitas muda, pelajar, dan mahasiswa ini dimulai dari Stasiun Sudirman berakhir sampai bundaran air mancur Monas.
Sebuah boneka berketinggian lima meter yang terbuat dari besi dilapisi dengan bahan matras diarak dari Stasiun Sudirman hingga bundaran air mancur Monas, Jakarta Pusat. Boneka itu didandani rapi, menggunakan setelan jas hitam dan berpeci.
Pandangannya lurus, mulutnya sedikit tersenyum. Sedangkan hidungnya dibuat panjang menyerupai boneka pinokio dalam cerita fiksi karangan Carlo Collodi.
Sementara, di depan boneka yang di-setting di muka mobil dan digerakkan sekitar delapan orang itu terpampang sebuah tulisan berwarna hitam membawa pesan kepada khalayak ramai “Jangan Pilih Boneka Oligarki”.
“Boneka giant marioonette yang kami arak ini menggambarkan pemimpin yang saat kampanye banyak mengumbar janji. Namun, begitu terpilih ternyata janji itu gagal ditepati. Seperti pinokio, kalau dia berbohong hidungnya langsung memanjang,” ujar Belgis Habiba, salah satu peserta Aksi Koalisi Pilih, Rabu (07/02/2024).
baca : Jelang Pemilu, Desak Calon Pemimpin Peduli Krisis Iklim
Untuk itu, melalui aksi gabungan dari puluhan lembaga masyarakat sipil dan komunitas muda, pelajar, dan mahasiswa ini Belgis berharap agar calon-calon pemilih mampu melihat rekam jejak para calon pemimpin yang akan dipilih nantinya.
Bukan hanya calon pemimpin, namun juga melihat rekam jejak partai-partai pendukung dan orang-orang yang ada dibelakangnya. Sebab, kepentingan oligarki dengan kekuatannya bisa mengancam kesejahteraan masyarakat.
“Karena itu akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik yang akan diambil,” imbuh perempuan yang juga Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia ini seraya menyerukan kalimat “salah pilih susah pulih”.
Belgis menyarankan, sebaiknya masyarakat itu memilih pasangan capres-cawapres yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu krisis iklim yang sedang melanda bumi, juga mempunyai komitmen untuk menyelesaikan persoalan lingkungan.
Sungai Dibiarkan Tercemar
Dalam kesempatan itu, Thara Bening Sandrina, Koordinator River Warrior Indonesia mengaku prihatin melihat sikap Presiden yang mendekati pemilu 2024 justru lebih mengutamakan pemberian bantuan sosial secara rapel dan masif.
Menurut dia, sikap itu semakin menunjukkan bahwa pemimpin kian tidak peduli terhadap isu krisis iklim dan isu-isu lingkungan, terutama isu pencemaran sungai.
Padahal, Indonesia merupakan negara yang kaya akan sungai. Tercatat Indonesia memiliki 70.000 ribu sungai yang membentang dari Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua.
Namun sayangnya sungai-sungai yang ada justru dibiarkan rusak oleh sampah plastik dan limbah industri.
baca juga : Anak Muda Tuntut Prioritaskan Darurat Krisis Iklim pada Pemilu 2024
Hal itu terbukti sebagian besar masyarakat dan industri hingga kini masih menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah, seperti di sungai Brantas, Bengawan Solo, Ciliwung, Cisadane, Musi, Kapuas, dan Batang Hari.
Berdasarkan riset yang telah dilakukan, saat ini sebanyak 68 sungai strategis nasional yang kondisinya sudah tercemar mikroplastik. Potongan plastik yang sangat kecil itu dinilai bisa menyebabkan kerusakan hormon karena mengandung bahan kimia endocrin disrupting chemical.
Untuk itu, mikroplastik menjadi ancaman nyata bagi kesehatan manusia. Bahkan, mematikan. Parahnya lagi, katanya, Indonesia saat ini masih berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton. Ini menjadi bukti bahwa pemerintah masih belum becus dalam menjalankan tugasnya mewujudkan aturan yang melindungi sungai dari sampah.
“Kami sedih, kami khawatir. Apakah di masa depan masih ada harapan kita menikmati sungai bersih dan sehat? Apa bisa ikan-ikan kita tidak punah karena terjerat plastik? Kami tidak ingin dimasa depan pemerintah abai dan lalai dalam menjaga sungai,” teriak Thara.
Untuk itu, seharusnya Presiden menggelontorkan Rp500 triliun untuk merawat dan menjaga kualitas sungai-sungai di Indonesia. Karena sungai perlu dikasih bansos untuk memulihkan kesehatannya.
Thara juga berharap kepada siapapun presiden yang terpilih nantinya mampu melayani pengelolaan sampah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, juga mengurangi produksi dan penggunaan plastik, menetapkan regulasi pelarangan plastik sekali pakai secara Nasional, serta mendorong sistem guna ulang.
baca juga : Pemilu 2024: Orang Muda Desak Komitmen dan Aksi Nyata untuk Iklim
Perlindungan AKP Minim Perhatian
Sementara itu Imam Trihatmadja, Koordinator Program Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyerukan kepada calon pemilih agar mampu memilah dan memilih calon pemimpin yang juga peduli terhadap isu kelautan dan perikanan, terutama terkait perlindungan pekerja di sektor tersebut.
Karena DFW Indonesia sendiri menyoroti, hingga debat terakhir, ketiga pasangan calon pemimpin itu sama sekali tidak menyinggung upaya yang akan dilakukan untuk perlindungan pekerja disektor perikanan dan kelautan.
Padahal, dengan pekerjaan mereka yang berat semestinya para pekerja ini bisa menjadi perhatian publik maupun stakeholder, juga mampu mendapatkan hak-haknyanya. “Sehingga bagi kami isu ini penting untuk terus diperjuangkan,” tegasnya.
Disisi lain, lanjutnya, krisis iklim saat ini sudah menjadi ancaman yang nyata bagi nelayan dan masyarakat pesisir maupun pulau-pulau kecil. Dampak iklim ini membuat tangkapan nelayan menjadi berkurang, sehingga berpengaruh terhadap penghasilan mereka.
Kondisi ini, diperburuk dengan sikap para pengusaha-pengusaha kapal perikanan yang tidak peduli upah awak kapal perikanan (AKP), justru malah dipotong. Parahnya lagi beberapa kasus yang terjadi mereka justru mengalami penelantaran.
“Dengan berbagai persoalan itu, kami berharap pemerintah maupun calon pemimpin nanti mulai memasukkan unsur perlindungan ketenagakerjaan, khususnya kepada para pekerja sektor perikanan dari setiap regulasi-regulasi yang dibuat,” tandasnya.
Karena ketentuan hukum yang berlaku dinilai masih lemah. Hal itu terlihat hingga sekarang AKP asal Indonesia semakin banyak yang menjadi korban baik itu di dalam maupun di luar negeri.
Dari catatan National Fisher Center Indonesia, sepanjang 2020 sampai 2023 sudah ada 121 aduan dengan jumlah 341 AKP yang menjadi korban praktik kerja paksa dan perdagangan orang. (***)