- Puluhan orang relawan citizen science mengikuti kegiatan bertajuk “Eksplor Banten 2024” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia.
- Banten memiliki jenis burung endemis hutan dataran rendah dan garis pantai yang panjang, cocok untuk pengamatan burung air penetap atau migran.
- Pelibatan masyarakat dalam pengamatan burung diperlukan untuk meningkatkan kepedulian terhadap keanekaragaman hayati.
- Citizen science merupakan partisipasi dan kolaborasi publik dalam penelitian ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan ilmiah yang diharapkan mendukung keseimbangan keanekaragaman hayati.
Senter yang menemani puluhan orang relawan citizen science menyusuri gelap-gulitanya Taman Hutan Raya (Tahura) Banten itu dinyalakan hanya sesekali untuk menerangi jalan..
Mereka nampak patuh mengikuti instruksi pemandu wisata profesional lokal yang menemani mereka untuk melihat keberadaan burung hantu jenis punggok cokelat (Ninox scutulata) di dalam hutan yang terletak di Desa Sukarame, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Dengan diiringi suara-suara kicauan burung, tonggeret, dan jangkrik di dalam hutan seluas 1.595 hektare malam itu, mereka juga diajak mencari keberadaan burung paruh kodok jawa (Batrachostomus javensis) yang bertengger di atas ranting pohon.
Citizen science merupakan partisipasi dan kolaborasi publik dalam melakukan penelitian ilmiah yang bertujuan agar pengetahuan ilmiah mampu meningkat.
Sambil menyorotkan lampu senter dari ranting satu ke ranting yang lain, mereka terus menyisiri pepohonan yang rindang diantara kerlap-kerlipnya bintang di tengah hutan.
Untuk memastikan keberadaan dua jenis hewan nokturnal tersebut, sesekali langkah para rombongan yang tergabung dalam kegiatan bertema “Eksplor Banten 2024” itu terhenti.
Namun, sayangnya kurang lebih hingga tujuh kilometer rombongan itu berjalan, mereka tak jua menjumpai kedua burung yang menjadi primadona di barat Pulau Jawa itu.
baca : Cerita Anak Muda Melawan Kepunahan Burung
Pucuk Dicinta Ulam Pun Tiba
Raut muka kecewa terlihat di sebagian besar wajah mereka begitu sang pemandu mengajak untuk berbalik arah, termasuk Octavianti Shanna Puspita (26). Perempuan yang berprofesi sebagai pegawai bank ini mengaku berkecil hati tidak bisa menjumpai burung paruh kodok frogmouth di alam liar.
Padahal secara pribadi ia sudah lama menunggu-nunggu bisa menjumpai burung pemakan serangga itu di habitat aslinya.
Penasarannya bertambah sebab sebelum mengikuti kegiatan ia melihat burung yang mirip dari Amerika yaitu burung great potoo sedang viral di media sosial.
“Berharap banget bisa ketemu burung frogmouth, apalagi malam-malam pas dia lagi aktif. Ada rasa sedikit kecewa tak bisa jumpa, tapi setelah dipikir-pikir beruntung juga aku bisa dengar dan tahu suaranya langsung,” ujarnya disela-sela mengikuti rangkaian kegiatan pengamatan burung yang diselenggarakan oleh Burung Indonesia itu, Minggu (19/02/2024).
Apalagi yang bersuara tidak hanya satu, sehingga menurut dia itu bisa menjadi bukti kalau si paruh kodok ini masih ada, aktif, sehat, dan punya teman di hutan.
Merasa tidak putus asa, pemandu kemudian mengajak para rombongan untuk melakukan pengamatan di tempat dimana mereka menginap.
Ibarat kata pucuk dicinta ulam pun tiba, setelah berjam-jam berjalan dan menunggu kepastian, akhirnya burung yang mereka cari-cari hingga larut malam itu pun terlihat bertengger di pohon yang ada di dalam kawasan pondokan di dekat pantai tersebut.
baca juga : Spesies Burung Hantu Ini Jadi Pahlawan Petani
Karena tutupan pohon di penginapan tidak lebat membuat para peserta bisa dengan mudah dan leluasa mengamati burung yang aktivitasnya banyak dilakukan pada malam hari itu, bahkan tidak sedikit yang berhasil mengabadikannya.
Begitu juga dengan Michael Gunawan (25), lewat kamera profesionalnya, penghobi fotografi yang ingin memfokuskan diri memotret satwa liar jenis burung ini mengaku bersemangat bisa mengabadikan burung hantu jenis kukuk seloputo (Strix seloputro).
Meskipun kukuk seloputro bukan burung yang berhasil ia potret pertama kali, namun bisa memotret burung hantu pada malam hari merupakan pengalaman perdananya.
“Jadi, selain bisa memotret burung di malam hari aku juga bisa belajar banyak sih dari segi setting kamera. Awalnya hasilnya tidak jelas, tapi setelah nanya-nanya ke fotografer lain akhirnya bisa mendapatkan gambar yang lumayan,” tandas Senior Software Development Engineer iOS di Dana Indonesia ini.
Rutin Diadakan
Pemilihan Banten sebagai lokasi pengamatan burung yang melibatkan citizen science dari latar belakang yang berbeda tersebut bukan tanpa alasan.
Jihad, Senior Biodiversity Officer Burung Indonesia mengatakan, sebagai daerah yang masih memiliki hutan yang cukup baik, Provinsi Banten masih cocok digunakan untuk pengamatan jenis-jenis burung endemis.
Selain burung pungguk coklat dan paruh kodok, burung endemis lain seperti burung paok pancawarna (Hydronis guajana), maupun raja udang mentiting (Alcedo meninting) dan pelanduk semak (Malacocincla sepiaria) juga dapat dijumpai di dalam hutan dataran rendah yang ada di barat Pulau Jawa tersebut.
“Wilayah ini juga memiliki garis pantai yang cukup panjang. Sehingga sangat potensial untuk pengamatan jenis burung air penetap maupun migran,” jelasnya.
perlu dibaca : Burungnesia, Data Digital Spesies Burung Liar Berbasis Warga
Melalui pengamatan dalam gelaran Asian Waterbird Cencus (AWC) yang dilakukan selama dua hari itu, Burung Indonesia bersama relawan citizen science selain berhasil menjumpai beberapa burung endemis hutan juga berhasil mencatat burung air sekitar sembilan jenis di garis pantai Kharisma.
Diantaranya yaitu burung cerek krenyut (Pluvialis fulva) berjumlah 350 ekor, kedidi putih (Calidris alba) 30 ekor, cerek jawa (Charadrius javanicus) 80 ekor, cerek tibet 50 ekor, gajahan eurasia (Numenius arquata) dua ekor, trinil pantai (Actitis hypoleucos) 10 ekor, kowak malam kelabu (Nycticorax nycticorax) 2 ekor, kokoan laut (Butorides striata) 4 ekor, cerek pasir besar (Charadrius ieschenaultii) satu ekor.
“Harapan kami kegiatan seperti ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja, namun penting juga untuk melibatkan masyarakat supaya semakin banyak yang eware terhadap keanekaragaman hayati,” terangnya.
Lebih-lebih, hal itu juga sejalan dengan kebijakan nasional maupun kebijakan global, dimana nilai-nilai keanekaragaman hayati merupakan aset penting bagi keseimbangan di bumi.
Sementara itu, Akia Kevin, peserta lain menyayangkan kondisi pantai yang kotor karena sampah baik itu sampah plastik maupun sampah jenis kayu yang berserakan.
Sebelumnya, dari hasil inventarisasi dan groundchek lapangan yang dilakukan oleh Tim Tahura Banten ditemukan sebanyak 32 spesies burung dan beberapa diantaranya merupakan spesies endemik. Dari 32 spesies burung yang ada di Tahuran Banten, burung yang sering dijumpai yaitu cipoh kacat (Aegithina tiphia), madu kelapa (Anthreptes malacensis), pijantung (Arachnothera longirostra), paok pancawarna (Pitta guajana), takur tulung tumpuk (Megalaima javensis) dan elang jawa (Nisaetus bartelsi). (***)