- Kejaksaan Agung [Kejagung] telah menetapkan para tersangka kasus dugaan korupsi tata niaga pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung periode 2015-2022.
- Korupsi yang terjadi pada tata niaga pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung, dikarenakan negara memberikan kewenangan akses dan pemanfaatan kepada PT. Timah dan mitranya [pengusaha].
- Kerugian akibat dampak aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung akan melampaui Rp271 triliun, jika dihitung dari aktivitas penambangan timah di laut.
- Ditangkapnya para tersangka korupsi penambangan timah bukan berarti persoalan dampak penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung selesai. Pemerintah harus memulihkan bentang alam dan kondisi masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.
Kejaksaan Agung [Kejagung] telah menetapkan para tersangka kasus dugaan korupsi tata niaga pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung periode 2015-2022. Apakah kerusakan bentang alam sebagai dampak aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung akan segera pulih?
Kejagung sejak awal Februari 2024, telah menetapkan beberapa tersangka kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan [IUP] PT. Timah Tbk periode 2015-2022.
Para tersangka ini bukan hanya pengusaha yang cukup dikenal di Kepulauan Bangka Belitung, juga mantan pejabat di PT. Timah. Para pengusaha yang menjadi tersangka antara lain Tamron alias Aon, Suwito Gunawan alias Awi, Gunawan alias MBG, Hasan Tjhie alias Asin, kemudian mantan pejabat PT. Timah, seperti Mochtar Riza Pahlevi [mantan Direktur Utama 2016-2021], Emil Ermindra alias Emil [mantan Direktur Keuangan 2017-2018]. Tersangka lainnya, Achmad Albani, Kwang Yung alias Buyung, dan Robert Indarto.
Berapa kerugian negara atas perbuatan para tersangka tersebut?
Baca: Setelah Puluhan Tahun Beroperasi, Mengapa PT. Timah Dituntut Pemerintah Bangka Belitung dan Nelayan?
Kejagung melalui tim ahli dari Institut Pertanian Bogor [IPB], yang diwakili Bambang Hero Suharjo, memperkirakan kerugian ekonomi dari perbuatan para tersangka tersebut mencapai Rp271,06 triliun. Hitungan kerugian ini berdasarkan Permen LH No.7 Tahun 2004.
Kerugian di kawasan hutan, yakni kerugian lingkungan [ekologis] sebesar Rp157,8 triliun, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp60,2 triliun, serta kerugian biaya pemulihan lingkungan senilai Rp5,2 triliun. “Totalnya Rp223.366.246.027.050,” kata Bambang di Kejagung, Jakarta, Senin [19/2/2024].
Kerugian di kawasan non-hutan, yakni kerugian lingkungan [ekologis] sebesar Rp25,8 triliun, kerugian ekonomi lingkungan senilai Rp15,2 triliun, serta kerugian biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp6,6 triliun. Totalnya, Rp47,7 triliun.
Dijelaskan Bambang, angka tersebut didapat dari penghitungan kerusakan lingkungan sebagai dampak dari aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung. Berdasarkan IUP [Izin Usaha Pertambangan] luas penambangan timah di darat seluas 349,65 ribu hektare. Dari luasan tersebut, yang sudah digali atau ditambang seluas 170,36 ribu hektare.
Dari luasan tersebut sekitar 88,9 ribu hektare di kawasan memiliki IUP. Sekitar 81,46 ribu hektare di kawasan tanpa IUP.
Penambangan timah di kawasan hutan seluas 75,35 ribu hektare. Penambangan bukan hanya di hutan produksi, juga di kawasan konservasi. Misalnya di kawasan Hutan Lindung [HL] seluas 13,87 ribu hektare, Taman Hutan Raya [Tahura] seluas 1,238 ribu hektare, serta di kawasan Taman Nasional [TN Gunung Maras] seluas 306,456 hektare. Sementara kawasan non-hutan yang sudah ditambang seluas 95,017 ribu hektare.
“Berdasarkan hitungan kami, tambang di darat dan laut yang sudah dibuka sudah hampir satu juta hektare [915,8 ribu hektare],” kata Bambang. Luasan tambang di darat seluas 349,6 ribu hektare, dan di laut seluas 566,2 ribu hektare.
Baca: Konflik Penambang Timah Ilegal dengan Masyarakat Kembali Terjadi di Bangka Belitung
Dr. Fitri Ramdhani Harahap, dari Fisip Universitas Bangka Belitung [UBB], menilai korupsi yang terjadi pada tata niaga pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung, dikarenakan negara memberikan kewenangan akses dan pemanfaatan kepada PT. Timah dan mitranya [pengusaha].
“Kewenangan untuk mengakses dan memanfaatkan tersebut merupakan sebuah sistem, yang dikatakan Garret Hardin sebagai mekanisme masuk akal untuk mendapatkan kesejahteraan dalam hal ini keuntungan.”
Garret Hardin [1968] menulis artikel yang berjudul “Tragedy of The Common”. Artikel tersebut menggambarkan bagaimana sumber daya alam yang diakses dan dimanfaatkan manusia tidak memiliki aturan yang jelas dan menghasilkan tragedi.
“Intinya, korupsi tersebut terjadi dikarenakan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberi peluang timah dapat ditambang bukan hanya oleh PT. Timah,” katanya.
Dasar hukumnya, dimulai dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemudian Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung menerbitkan Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum.
Selanjutnya, Perda Nomor 20 Tahun 2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan Barang Strategis, Perda Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya, serta Perda Nomor 10 Tahun 2002 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kolong.
Mungkin jauh lebih besar
Jessix Amundian dari Tumbek for Earth mengatakan, kita mengapresiasi apa yang sudah dilakukan Kejagung. “Semoga penegakan hukum ini membuat kejahatan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung dapat dihentikan.”
Tetapi, lanjutnya, penghitungan kerugian ekologis yang dihitung Bambang Hero Suharjo dan kawan-kawan, mungkin belum dihitung secara menyeluruh. Sebab, aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung menyebabkan berbagai bencana ekologis dan sosial. Dimulai dari konflik antara penambang timah dengan masyarakat lokal [adat]. Sekitar 480 ribu masyarakat adat di wilayah pesisir, pendapatannya dari mencari ikan menurun atau hilang.
“Misalnya, kerugian ekologis dari penambangan timah di laut yang mungkin jauh lebih besar dibandingkan di darat. Ini terlihat dari kerusakan terumbu karang, kematian atau hilangnya beragam biota dan mamalia laut, rusaknya mangrove, menurunnya daratan pulau-pulau kecil, serangan berbagai penyakit seperti malaria, hingga hilangnya ruang hidup masyarakat pesisir di Kepulauan Bangka Belitung yang menetap di 160 desa,” kata Jessix.
Terumbu karang yang sebelumnya seluas 82.259,84 hektar, tersisa 12.474,54 hektar. Kawasan mangrove, yang sebelumnya seluas 273.692,81 hektar, tersisa 33.224,83 hektar.
Selanjutnya, masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung berulang kali terdampak banjir, intrusi air laut, abrasi, serta kerusakan rumah akibat puting beliung.
“Belum lagi banyak anak-anak yang putus sekolah, serta serangan berbagai penyakit yang mematikan,” tegasnya.
Bambang Hero kepada Mongabay Indonesia membenarkan perhitungan kerugian belum termasuk dari dampak aktivitas penambangan timah di laut. “Kerugian Rp271 triliun belum masuk kerugian lingkungan hidup dari galian pasir timah di laut,” katanya.
Segera pulihkan
Dijelaskan Jessix, ditangkapnya para tersangka korupsi penambangan timah bukan berarti persoalan dampak penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung selesai.
“Pemerintah harus menyelesaikan berbagai persoalan yang ditinggalkannya. Mulai dari pemulihan bentang alam yang rusak, serta pemulihan kondisi masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung yang hidup miskin, kehilangan ruang hidup, serta terganggu kesehatannya. Bahkan berbagai komunitas adat juga terancam kehilangan identitasnya dikarenakan ruang hidupnya yang terampas.”
“Jika hal tersebut tidak segera diatasi, tampaknya sulit meredam lahirnya para penjahat baru terkait penambangan timah. Sebab, selama belasan tahun kejahatan tersebut secara tidak langsung melibatkan sebagian masyarakat dalam melakukan penambangan timah ilegal. Baik masyarakat lokal maupun pendatang dari luar Kepulauan Bangka Belitung,” jelas Jessix.
Guna mencegah tindak korupsi tata niaga komoditas timah terulang, maka harus diperjelas dan ditegakkan aturannya.
“Dalam hal ini, aturan mengenai tata kelola dalam akses dan pemanfaatan komoditas pertambangan timah,” papar Fitri.
Tambang Timah yang “Melubangi” Jejak Rempah Nusantara di Pulau Bangka